Pembakaran Buku dalam Sejarah Islam
Akhir-akhir ini, media sosial digemparkan oleh kasus pembakaran buku karya wartawan ternama, Najwa Shihab. Pro kontra, cibiran, dan cacian ramai memenuhi berbagai platform.
Menurut berita yang beredar, insiden ini bermula saat proses pelantikan presiden dan wakil presiden, di mana kepulangan Jokowi sebagai presiden demisioner diantar oleh TNI AU. Menyaksikan hal tersebut, Najwa Shihab melontarkan komentar yang menyebut Jokowi “nebeng” pesawat TNI AU. Komentar ini memicu berbagai protes dan kritik hingga berujung pada pembakaran bukunya.
Terlepas dari berita simpang siur, kita bisa kembali melihat sejarah peradaban Islam yang pernah mengalami kejadian serupa dalam pembakaran buku atau kitab.
Membakar Buku/kitab; Menghilangkan Gagasan
Membakar buku atau kitab adalah salah satu bentuk pemusnahan, protes, kritik, dan autokritik terhadap gagasan, pemikiran, dan pendapat seseorang. Dalam peradaban Islam, terdapat beberapa cara untuk mengekspresikan protes terhadap gagasan dalam sebuah karya, termasuk pembakaran, penenggelaman, penguburan, dan perobekan. Keterangan ini sebagaimana ditulis oleh Nashir al-Hazimi dalam kitab Harqul Kutub fit Turats al-‘Arabi (Jerman, Muntasyirat Darul Jamal, 2002: 27).
Khalid as-Said juga dalam Harqul Kutub: Tarikh Itlafil Kutub wal Maktabat (Saudi, Dar Atsrin, 2018: 16-17), memberikan penjelasan dan contoh untuk masing-masing metode ini.
Pertama, pembakaran, yang sering dilakukan oleh penguasa terhadap karya-karya tertentu, seperti yang dialami Ibnu Hazm al-Andalusi dan al-Ghazali, atau dilakukan oleh penulisnya sendiri, seperti Abu Hayyan at-Tauhidi dan Abu Sulaiman ad-Darani, dengan alasan tertentu.
Kedua, penenggelaman, di mana seseorang memasukkan buku atau kitab ke dalam wadah berisi air atau melemparkannya ke laut atau sungai sehingga tulisannya terhapus. Praktik ini pernah dilakukan oleh Abu al-Hasan bin Abi al-Hawari dan Sha’id al-Baghdadi.
Ketiga, penguburan, biasanya dilakukan oleh penulisnya sendiri karena alasan tertentu, seperti yang dilakukan oleh Bisyr bin ‘Atha dan Salam bin Maimun al-Khawash. Keempat, perobekan, yang jarang digunakan dan biasanya dilakukan oleh tokoh politik, seperti Khalifah al-Abbasi al-Mahdi.
Sebab-sebab Pembakaran Buku dalam Sejarah
Menurut Nashir al-Hazimi (h. 17-25), terdapat enam alasan utama mengapa suatu buku atau kitab dimusnahkan. Berikut adalah penjelasan mengenai alasan-alasan tersebut:
Pertama, alasan syariat. Pemusnahan dengan alasan ini, biasanya terjadi pada buku atau kitab yang mengandung pandangan menyesatkan. Ibn Qayyim adalah salah satu ulama yang mendukung pandangan ini dengan menyatakan, “Tidak ada dhaman (tanggungan) ketika membakar dan memusnahkan kitab-kitab yang dianggap menyesatkan.”
Kedua, alasan ilmiah. Alasan ini muncul ketika sebuah buku atau kitab mengandung kesalahan dan kekeliruan, atau dikhawatirkan pembaca terlalu bergantung pada isi buku sehingga tidak mau untuk menghafal. Atau bahkan muncul kekhawatiran dari pengarang bahwa buku tersebut bisa jatuh ke tangan yang tidak ahli, sehingga disalahgunakan.
Sebagaimana Ubaidah bin Amr as-Salmani, meminta agar kitab-kitabnya dimusnahkan ketika mendekati waktu wafatnya, karena takut kitab-kitab tersebut akan jatuh ke tangan orang yang salah. Keterangan ini juga persis sebagaimana dikutip dari Mashadirusy Syi’ril Jahili karya dari Nashirud Din al-Asad (Mesir, Darul Ma’arif, 1988: 139).
Ketiga, alasan politik. Pemusnahan karena alasan ini, biasanya terjadi ketika suatu buku atau kitab mengandung kritikan atau celaan terhadap pemerintah, atau sebaliknya, pujian terhadap musuh pemerintah.
Contohnya, Abdul Malik bin Marwan pernah membakar buku yang menceritakan keutamaan penduduk Madinah karena khawatir buku tersebut akan sampai ke tangan penduduk Syam. Pemusnahan ini dianggap sebagai langkah terbaik untuk menjaga stabilitas politik pada masa itu.
Keempat, alasan sosial. Pemusnahan karena alasan ini biasanya terjadi akibat perseteruan antara dua komunitas atau kelompok masyarakat (qabilah).
Kelima, alasan pribadi. Alasan ini biasanya muncul ketika ada dendam atau kemarahan pribadi yang belum terselesaikan, atau karena ada keinginan yang muncul dari diri sendiri.
Keenam, alasan fanatik. Alasan ini mencakup berbagai bentuk fanatisme, baik dalam hal agama, mazhab, politik, dan lainnya. Misalnya, beberapa hakim mazhab Syafi’i pernah membuang kitab an-Nushrah limadzhabi Imam Daril Hijrah ke sungai nil karena alasan fanatik terhadap mazhab mereka.
Dari berbagai alasan di atas, kita dapat melihat bahwa kasus pembakaran buku Najwa Shihab mencerminkan peristiwa-peristiwa serupa dari masa lalu. Kejadian seperti ini sebaiknya dihindari dan tidak perlu terulang kembali. Masa lalu hadir bukan untuk diulangi, melainkan untuk diambil pelajarannya. Wallahu a’lam.
Ustadz Pikri Nugraha, Alumni Darus Sunnah International Institute For Hadith Science & sarjana S1 dirasat islamiyah
https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/pembakaran-buku-dalam-sejarah-islam-cQJSF