Bahwa nyatanya, tanpa harus melepas sarung dan peci, santri tetap bebas berekspresi. Melalui relasi unik antara santri dan pena-nya, ia bangun gagasan dan renungan tentang suatu ide, imajinasi, simbol, bahkan sebuah epistemologi baru. Bahwa dengan tanpa melepas kitab-kitab klasik ulama salafusshalih, santri masih cakap menulis tentang apa saja yang dimaknainya dalam sebuah perjalanan panjang mencari kesejatian.
Dengan segala kepadatan aktivitas pesantren—yang seperti tak berjeda itu; semisal sekolah, musyawarah, hafalan, ngaji, roan, lalaran, bahtsul masa’il, ditambah masalah-masalah subjektif pada diri santri—nyatanya santri tetap memiliki dahaga untuk merekam setiap jejak peristiwa, menghidupkan gagasan, membangun imajinasi, dan mengekspresikan setiap inci perjalanan di atas tinta yang tergores artistik, dalam selembar kertas.
Dalam kepadatan aktivitas pesantren itu, santri mampu menemukan ruang kecil bagi dirinya untuk menulis, berkisah, dan memformulasikan apa saja yang masih terbatas dan terbata. Ia susun keterbatasan itu—juga keterbatasannya—menjadi sebuah narasi sempurna, sebuah cipta yang eksotis.
Walaupun santri, dengan segala keterbatasan dari berbagai bidang akademis kepenulisan— berikut tanpa guru kepenulisan terlatih—bahkan mungkin belum pernah mengikuti workshop kepenulisan, ia tetap bisa menulis. Kehidupan pesantren-lah yang hadir, secara alami dan naluriah, mengajari santri untuk menulis. Kerasnya perjuangan hidup santri, segenap keteguhan hati, ketabahan, rasa kekeluargaan, dan hubungan batinnya dengan Tuhan adalah guru yang mengajari mereka untuk menulis: bahwa setiap inci perjalanan tidak ada yang terbuang sia-sia. Dengan setitik upaya itu, mereka berhasil meramu pelajaran berharga dalam selembar kertas.
Di luar sana, tanpa banyak diketahui orang lain, santri adalah gambaran utuh tentang makna sejati kehidupan. Bahwa dalam kehidupan santri, ada sekian banyak “sesuatu” yang justru hilang atau bahkan tak kunjung bertembung di atas roda kehidupan orang lain tentang sebuah makna; kesejatian cinta, keikhlasan, ketenangan, keharmonisan, dan loyalitas.
Seperti halnya ajaran ulama-ulama pendahulu yang mewariskan pelbagai pengetahuan melalui perangkat tulisan, santri mampu menjaga dengan apik warisan kebudayaan menulis itu. Berangkat dari kesederhanaan, tekad, pena, dan keyakinan bahwa santri pun mampu turut serta membaktikan karyanya melalui ruang literasi, maka lahirlah narasi-narasi sastra pesantren di berbagai media.
Kaum sarungan, dengan gaya yang khas dan unik, pada mulanya memang dikenal sebagai orang-orang yang selalu menggumuli kitab-kitab klasik dan anti terhadap “bacaan luar”. Tetapi zaman terus berubah, waktu terus bergerak di atas kesadaran santri untuk melihat hal-hal “lain” dengan sikap terbuka. Dan di era kini, santri memiliki kapabilitas untuk ikut berperan dalam berbagai bidang kehidupan, tidak hanya berputar pada literatur kitab klasik belaka. Santri benar-benar telah membuktikan bahwa kaumnya mampu mengisi dan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada, mulai dari pemerintahan, industri, akademik, utamanya dunia kepenulisan.
Santri dan Sastra
Islam—dan pesantren menjadi corak Islam Nusantara—konon memiliki sejarah panjang kesusastraan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Adalah Labid dan Umayyah bin Abu Salt, dua penyair non-muslim yang dipuji Nabi karena syair-syair mereka menunjukan keshalihan dan moralitas. Kemudian Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik, dan Abdullah bin Rawahah—ketiganya penyair Muslim—atas seruan Nabi akhirnya membela Islam dalam syair-syair mereka, sehingga menimbulkan kecemasan di mata musuh-musuh Islam di Makkah. Di beberapa kesempatan, Nabi mencela syair yang menyesatkan. Dan terhadap syair-syair kebijaksanaan dan kebajikan, Nabi memujinya.
Tidak hanya syair (puisi), konon sejarah Islam pun memiliki kecermelangan prosa yang sama panjangnya. Tercatat tokoh-tokoh penulis prosa seperti Abul Hamid al-Katib (130 H/749 M), Abu Amr Usamah al-Jahiz (253 H/868 M), dan Abu Hayyan al-Tahwidi (375 H/979 M). Bahkan, pada zaman kegemilangan prosa, lahirnya kitab-kitab seperti Risalat al-Ghufran, Al-Risalah al-Ighridiyah, yang ditulis oleh Abu al-‘Ala Ma’arri (449 H/1059 M) telah menembus sedemikian kuat dan memengaruhi gaya penulisan pengarang-pengarang Eropa pada masa itu.
Tidak hanya dalam bentuk surat-menyurat, pidato-pidato indah, esai-esai sastrawi, tetapi juga dalam bentuk maqamat, yakni kisah-kisah pendek yang kemudian menjadi genre tersendiri dalam khazanah kesusastraan dunia—dan kita mengenal Abu Abdullah Muhammad al-Jihsiyari, penyusun Kisah 1001 Malam, sebagai seorang yang berhasil memberikan pengaruh trehadap sastrawan-sastrawan besar dunia, seperti Goethe, Orhan Pamuk, Tolstoy, dan Conan Doyle.
Di pesantren, santri mengenal ilmu Balaghah sebagai pengantar memahami kesusastraan Arab. Dan dalam tradisi ilmu sastra Arab, Balaghah menjadi semacam metode formulatif sebagai konkretisasi sastra dan tolak ukur keindahan. Tak ayal, secara teori, prasyarat mempelajari Balaghah harus menguasai morfologi (Nahwu) dan sintaksis (Sharaf) sebagai faktor penunjang.
Dengan kemampuan menguasai konsep-konsep Balaghah, santri bisa membaca rahasia dan seluk-beluk bahasa Arab serta terbuka rahasia-rahasia kemu’jizatan al-Quran dan hadits—dan al-Qur’an dengan gaya bahasa yang indah, menyadarkan betapa pentingnya sastra dan ilmu bahasa serta seni dan poetika. Dapat dikatakan pula bahwa sastra tak mungkin berkembang, dalam Islam, tanpa disulut oleh semangat poetik dan estetik al-Qur’an. Al-Qur’an juga menjadi inspirator Bulagha’ (pakar ahli bahasa Arab) mengonsep berbagai macam pengetahuan yang dapat digunakan untuk menjaga keasliannya.
Selain al-Qur’an dan hadits, sebagai sarana praktek penerapan ilmu Balaghah, ulama pakar bahasa juga mengambil syair-syair Arab untuk contoh dan pertimbangan (ilmu ‘Arudl, kaidah-kaidah syair Arab dengan 16 rumus (bahar) juga dikaji di pesantren). Maka pada tahap pembelajaran Balaghah—yang dipelajari setelah rampung mempelajari kitab Alfiyah ibn Malik (nahwu-sharaf)—santri tidak hanya mengenal sastra, ia turut menyelami dan membangun estetika sastra dalam jiwanya. Juga mempengaruhi ghairah kesusastraan pesantren, dan melahirkan sastrawan-satrawan pesantren sekelas Ahmad Musthofa Bisri (Gus Mus), Dzawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, Candra Malik, Khilma Anis dan banyak lainnya.
Di sisi lain, kasidah-kasidah islami, seperti Qasidah Burdah al-Bushiri, Maulid Simthud Durar, Maulid ad-Dliya’ul Lami’, juga prosa lirik seperti, Maulid ad-Diba’i, dan Maulid al-Barzanji turut mewarnai dan merangsang nilai-nilai kesusastraan santri.
Keistimewaan sastra yang ditunjukan dengan kemampuannya menghadirkan peristiwa keseharian dalam narasi yang bermuatan puitis dan filosofis mampu dilalui santri dengan pembawaan khas dan unik. Cerpen dan puisi karya santri selalu memiliki dunianya sendiri; dunia kepesantrenan juga dunia yang ia terka. Sebagai penutup, narasi pesantren mewakili cakrawala berpikir dan berimajinasi para santri yang memiliki keunikannya tersendiri, serta menjadi sumbangsih kaum santri bahwa mereka tetap bisa berkarya dalam dunia kesusastraan.[]
https://alif.id/read/mamj/pena-sastra-kaum-santri-estetika-kata-di-balik-kitab-kuning-b239862p/