Penanganan Korban Kekerasan Seksual (4): Aborsi untuk Korban Kekerasan Seksual, Bagaimana Hukumnya?

Sangat disayangkan sekali rasanya, ketika mengetahui banyak sekali fenomena aborsi yang terjadi di lingkungan sekitar kita. Setidaknya, setiap tahun tidak kurang dari 56 juta kasus aborsi yang terjadi (hallosehat.com), termasuk di Indonesia. Berdasarkan laporan Guttmacher Institute, para peneliti memperkirakan bahwa ada dua juta aborsi yang terjadi di Indonesia.

Data ini kemudian dilanjut dengan kerentanan aborsi yang tidak aman. Rata-rata, para perempuan yang melakukan aborsi sesuai dengan syarat keamanan medis, adalah perempuan yang berpendidikan. Dan masih banyak perempuan yang melakukan aborsi tidak aman sesuai kacamata medis. Hal ini dikarenakan faktor pengetahuan, akses, dll.

Di sisi lain, ada banyak pasangan yang sedang berjuang untuk memperoleh anak, baik melalui usaha tradisional bahkan sampai bayi tabung.  Ada banyak alasan mengapa seseorang melakukan aborsi, di antaranya: gagal dalam pencegahan kehamilan, permasalahan keuangan rumah tangga, kehamilan di luar status pernikahan, kesehatan ibu yang menurun hingga membahayakan kehamilan dan melemahnya janin di kandungan. Di antara faktor tersebut, bagaimana rasanya jika aborsi dilakukan oleh korban pemerkosaan yang mengalami trauma berkepanjangan dalam hidupnya? Menyedihkan sekali ketika hal itu terjadi pada keluarga, ataupun teman kita.

Maria Ulfah Anshor, pendiri Yayasan pendidikan dan pesantren terpadu An-Nahla, Bogor, pernah menyampaikan topik ini dengan begitu komperehensif. Kisahnya terjadi kepada Rani (bukan nama sebenarnya), seorang gadis siswi kelas 3 di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Jakarta Timur. Usianya memasuki 14 tahun. Dalam persoalan akademik, ia selalu masuk 10 besar sehingga mendapatkan beasiswa dari sekolahnya. Pada suatu hari, ia datang ke kantor fatayat NU di Kramat Raya bersama ibu dan pamannya, karena diminta oleh seorang konselor untuk membantu menangani kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Sang ibu bercerita bahwa anaknya baru saja diperkosa oleh ayah tirinya.

Baca juga:  Korban Kekerasan Seksual (2): Menikahkan Korban Pemerkosaan dengan Pelaku, Solusi Atau Tragedi?

Dalam posisi ini, saya justru membayangkan bagaimana sakit hatinya sang ibu mengetahui fakta yang menyeramkan dalam hidupnya. Ketika dirinya memberikan kepercayaan kepada laki-laki yang menjadi suaminya, justru sang suami menghamili anak kandungnya sendiri. Sakit hati itu pasti. Ia bercerita sambil menyerahkan amplop yang beriti hasi tes urine dari sebuah klinik yang menjadi rujukan crisis center.

Tidak berhenti pada kisah di atas, sang adik, atau paman dari anak gadis I I menceritakan secara kronologis bagaimana hal itu bisa terjadi. Sang ibu menangis tersedu-sedu, dengan penuh penyesalan yang amat dalam ketika mengetahui hal itu. keputusan yang juga turut menambah kesedihannya adalah, pertama, sikap sekolah yang mengeluarkan siswi korban perkosaan. Kedua, tidak dapat megiktui ujian. Ketiga, dianggap sebagai aib keluarga sehingga pihak keluarga menyembunyikan korban dengan alasan sakit di tempat neneknya di Jawa. Kasus ini hanyalah satu dari sekian banyak korban pemerkosaan yang terjadi di Indonesia. Terjadinya kehamilan tidak diinginkan menghacnurkan masa depan sang anak.

Tidak semua kasus pemerkosaan akan terjadi seperti di dalam novel “Hilda” yang memiliki kesempatan kedua untuk melanjutkan pendidikan setelah trauma panjang tanpa menggugurkan kandungannya. Bagi sebagian korban yang lain, aborsi menjadi sebuah tindakan yang cukup mendesak untuk dilakukan. Bagaimana pandangan Islam mengenai aborsi pada korban pemerkosaan?

Baca juga:  Kisah Cucu Perempuan Rasulullah Menjadi Bidan

Nyai Badriyah Fayumi, pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits menjelaskan bahwa ada perbedaan pendapat tentang hukum aborsi terhadap korban pemerkosaan. Pertama, menurut pendapat Imam Al-Ghazali dan mayoritas ulama Malikiah aborsi sejak terjadinya pembuahan adalah haram. Hal ini karena sejak terjadinya pembuahan, janin adalah makhluk hidup. Kedua, menurut ulama Syafi’iah dan Hanbliyah, abosi sebelum janin berusia 40 hari sejak pembuahan, tidak masuk dalam kategori pembunuhan karena belum bernyawa. Ketiga, menurut pendapat ulama Hanafiyah, aborsi sebelum 120 hari bukan termasuk pembunuhan karena ruh belum ditiupkan.

Ditegaskan kembali oleh Badriyah Fayumi bahwa, setiap pendapat yang dikemukakan di atas berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi yang sahih. Meskipun demikian, seluruh ulama sepakat bahwa demi alasan kedaruratan medis, seperti demi keseamatan jiwa ibu, aborsi hukumnya boleh. Kebolehannya ini mengacu kepada QS. Al-Baqarah/2:173 yang membolehkan manusia dalam situasi darurat, demi bertahan hidup, melakukan hal-hal yang menjadi halal, seperti memakan bangkai dan babi.

Dengan demikian, bagi korban pemerkosaan yang sedang hamil, diperbolehkan untuk melakukan aborsi dengan beberapa alasan di atas. Alasan kemanusiaan yang menjadi titik balik ajaran Islam, menjadi sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat. Wallahu a’lam

 

 

https://alif.id/read/mul/penanganan-korban-kekerasan-seksual-4-aborsi-untuk-korban-kekerasan-seksual-bagaimana-hukumnya-b246576p/