Pendidikan Pesantren (5): Konsep Keteladanan dalam Pesantren

Konsep keteladanan dalam pesantren tidak bisa dilepaskan dari konsep keteladanan dalam Islam. Islam berarti penyerahan. Penyerahan kepada Tuhan dan percaya penuh kepada apa yang dibawa Rasul Muhammad. Muslim percaya dengan meneladani kehidupan Nabi, ia akan disinari cahaya Tuhan.

Dalam bukunya Sejarah Islam Singkat (2008), Karen Amstrong menulis dengan apik konsep keteladanan itu. “ Dalam mengamalkan sunnah, Nabi sampai kepada hal-hal terkecil kehidupan mereka, kaum muslim bisa mengidentifikasikan diri dengan Muhammad yang hidupnya diresapi dengan ketuhanan. Dengan meniru Nabi kekasih Allah, dengan mencintai anak yatim, orang miskin, dan binatang, atau dengan memperlakukan makanan dengan hormat dan sopan—orang akan dicintai oleh Tuhan sendiri.”

Dalam pesantren keteladanan itu ada dalam diri pribadi Kiai. Kiai sendiri dianggap sebagai sosok yang meneladani kehidupan Nabi. Apa yang menjadi perintah atau kehendak Kiai dianggap dan diyakini oleh para santrinya sebagai hal yang benar. Itulah mengapa dalam dunia pesantren, etika atau adab lebih didahulukan.           Sikap ini bukanlah ketundukan atau kepasrahan, melainkan dianggap sebagai sebuah penghormatan, etika murid terhadap guru.  Santri meyakini apa yang dilakukan Kiai terhadapnya adalah bagian dari pendidikan .

Kharisma Kiai memiliki pengaruh kuat di mata santrinya. Santri memahami Kiai sebagai sosok yang penuh dengan kesempurnaan dalam kehidupannya. Terlebih Kiai dianggap memiliki pengetahuan dan kemampuan linuwih  (lebih) dalam hal agama. Seorang Kiai dianggap dapat memberikan pengajaran agama dengan baik, sekaligus sebagai model utuh yang bisa dilihat santri dalam kehidupan sehari-hari di pesantren.

Nilai-nilai keteladanan yang diambil seorang santri tidak hanya dalam urusan agama, tetapi juga dalam bermuamalah atau bermasyarakat. Sebagai pendidikan yang dianggap utuh dan komprehensif, pesantren menawarkan pendidikan holistik. Santri juga melihat secara langsung bagaimana Kiai hidup dalam lingkungan keluarganya. Menjadi teladan, memimpin dan memberi contoh bagaimana beragama dalam lingkungan keluarga yang turut serta dilihat oleh santri.

Baca juga:  Agama Tanpa Aksi Sosial Seperti Burung Tanpa Sayap

Pendidikan Pesantren

Pendidikan pesantren memiliki corak yang berbeda dengan pendidikan di sekolah umum. Pendidikan pesantren dianggap sebagai model pendidikan sempurna yang memadukan antara konsep pendidikan tradisional dan modern. Orang luar bisa merasakan ini saat melihat mereka begitu memiliki adab, santun dan hati-hati terhadap gurunya. Apa yang kita lihat tidak sekadar di dalam pesantren.

Para santri dari pesantren ini pun menjadi amat hati-hati dan sangat menghormati orang berilmu. Mereka menunjukkan rasa hormat dan adab mereka dengan mencium tangan kepada orang yang lebih tua, memiliki kedudukan, dan juga seorang alim/ yang memiliki pengetahuan lebih.

Nilai-nilai itulah yang membedakan antara pendidikan umum dengan pesantren. Etik guru-murid tidak sekadar etik tradisional atau fisik, tetapi etik itu juga merasuk dalam hati mereka. Sehingga tatkala mereka keluar dari pesantren, etos guru-murid ini dibawa. Mereka para santri menghormati dan santun betul kepada orang berilmu.

Abdur Rahman Wahid dalam buku Pergulatan  Agama, Negara, dan Kebudayaan (2001) ia menulis, “Pesantren merupakan lembaga yang berbeda dari pola umum kehidupan di masyarakat, adanya proses pembentukan nilai-nilai tersendiri dengan segala simbolnya dan sistem hierarki yang ditaati.” Pola pendidikan pesantren juga ditandai oleh beberapa aspek. Zamakhsyari Dhofier di bukunya Tradisi Pesantren (1982) menandai pesantren memiliki unsur-unsur yang membentuknya yaitu kiai, masjid, asrama, santri, dan kitab kuning.

Kiai dalam pendidikan pesantren adalah pusat dari sistem pendidikan di pesantren. Walaupun terdapat pergeseran dalam sistem pendidikan pesantren modern, Kiai tetap dianggap sebagai sosok yang utama dalam pendidikan pesantren. Kemampuan dan kharismanya dalam pengetahuan agama, kitab kuning, serta ilmu lain menjadi daya pikat tersendiri.

Baca juga:  Adakah (Kajian) Filsafat Islam di Indonesia?

Noor Fitriah dalam jurnal Al-Qalam (2008) juga menuliskan “seorang kyai memiliki berbagai macam peran termasuk sebagai ulama, pendidik dan pengasuh, penghubung masyarakat, pemimpin, dan pengelola pesantren. Peran yang kompleks tersebut menuntut kyai bisa memposisikan diri dalam berbagai situasi yang dijalaninya.” Pesantren dinilai sebagai sistem pendidikan tradisional yang berbeda dengan pola pendidikan modern. Abdullah Mas’ud dalam buku Dinamika Pesantren dan Madrasah (2002) mengidentifikasikan beberapa ciri pendidikan tradisional diantaranya hubungan akrab antara kyai dan santri, tradisi ketundukan dan kepatuhan kepada kyai, zuhud (pola hidup sederhana), kemandirian, tolong-menolong dan persaudaraan, displin ketat, berani menderita untuk mencapai tujuan, kehidupan dengan religiusitas yang tinggi.

Pesantren dengan sistem pendidikan yang khas telah melahirkan banyak tokoh publik, melahirkan banyak orang dengan karakter kuat, religius dan juga pengusaha. Sebagai sistem pendidikan yang tidak bercorak pada satu aspek semata, pondok pesantren telah melahirkan corak manusia religius dengan berbagai peran masing-masing. Pendidikan pesantren juga dinilai sebagai pendidikan yang humanis karena ditanamkan kepedulian, gotong royong, persatuan serta ikatan kekeluargaan yang kuat.

Sebagai sistem pendidikan yang tidak terlepas dari kehidupan masyarakat, pesantren menanamkan pola pendidikan yang berinteraksi dengan masyarakat, berperan di masyarakat dan ikut serta berkontribusi terhadap lingkungan masyarakat sekitar. Tradisi pesantren yang tidak terlepas dari kehidupan masyarakat membuat santrinya memahami bahwa pesantren bukan dunia yang terpisah dan berdiri sendiri. Praktik semacam ini juga dicontohkan kyai dalam bermasyarakat. Kyai tak jarang dilibatkan oleh masyarakat dalam berbagai urusan. Ia sering dimintai nasihat, diminta mendoakan, diundang dalam kegiatan masyarakat yang melibatkan peranannya. Tidak jarang pula kyai meminta santrinya bergotong royong dalam masyarakat, bakti sosial serta melaksanakan kegiatan membaur bersama masyarakat.

Pesantren diakui ikut serta membentuk dan mempengaruhi karakteristik santrinya untuk menjadi pemimpin. Dalam pendidikan di pesantren yang berpusat pada Kiai, pesantren telah ikut berkontribusi terhadap pendidikan di Indonesia secara lebih luas.

Baca juga:  Dari Rumah Kembali ke Rumah: Sebuah Pengalaman Keluarga ASN

Pendidikan di pesantren memiliki corak berbeda dengan pendidikan umum. Habib Husein Ja’far Al Hadar melalui Pesantren Virtual Nur alwala menyampaikan dengan bahasa yang indah mengenai model pendidikan di pesantren. “Suatu hari dikisahkan Imam Syafii pernah berbeda pendapat dengan muridnya bernama Yunus. Ketika ia hendak tidur di malam hari, Imam Syafii datang ke rumah Yunus. Imam Syafii kemudian menasehati Yunus. Dalam nasehatnya yang panjang, Imam Syafii mengatakan “ Wahai Yunus kita ini telah dipersatukan dalam banyak perkara. Maka jangan sampai karena perbedaan kita dalam satu dua perkara membuatmu engkau marah terhadapku.” Maka Yunus tertegun dan memeluk Imam Syafii.”

Pendidikan berbasis cinta kasih itulah basis pendidikan pesantren. Betapapun murid marah kepada gurunya, gurunya tetap membalas dengan cinta. Karena inti dalam pendidikan Islam, tidak hanya kognitif, tetapi tumbuhnya ilmu pada diri sang murid. Yang menyebabkan cinta kasih tumbuh di hati murid, kata Habib Husein Jafar.

Pesantren tumbuh dan hidup terus-menerus karena pendidikan yang berbasis cinta kasih.  Pendidikan yang mengutamakan tingginya cinta kasih sayang, bukan kepintaran. Pendidikan yang memberi ruang penuh tumbuhnya cinta antara guru dan murid.

Dalam pendidikan pesantren, yang membedakan dengan pendidikan umum adalah pendidikan Qur’an. Pendidikan yang membimbing santrinya dengan akhlak Al-qur’an. Pendidikan yang mengajarkan dan dipandu oleh Qur’an. Pendidikan pesantren yang mencoba menanamkan nilai-nilai ilmu yang diajarkan nabi dan juga para ulama terdahulu yang mendidik dan mengasah hati. Itulah mengapa pendidikan di pesantren tidak hanya menguatkan hati, meneguhkan hati. Ia tidak sekadar membuat murid pintar semata, tetapi mengajak murid menyalakan hatinya, nuraninya.

https://alif.id/read/arif-saifudin-yudistira/pendidikan-pesantren-5-konsep-keteladanan-dalam-pesantren-b245899p/