Pendidikan Seksual di Pesantren, Seperti Apa?

Kasus pelecehan seksual di beberapa pondok pesantren yang belakangan terkuak satu persatu semakin membelalakkan mata publik. Lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang selama ini dianggap aman karena dipercaya sebagai tempat penggemblengan moral dan karakter santri tersebut seperti kembali dipersoalkan eksistensinya.

Pelecehan seksual bisa terjadi di manapun, termasuk pesantren sebagai lembaga pendidikan dengan segmentasi peserta didik yang cukup spesifik. Setelah kasus pertama di Bandung menyisakan simpang siur claim antara pondok pesantren dan boarding house, kasus-kasus belakangan seperti tak memungkinkan penyangkalan bahwa sebagian pesantren memang menjadi lokasi pelecehan seksual.

Cerita Lama

Kejadian ini mengingatkan pada film Mengaku Rasul: Sesat besutan Helfi Kardit (2008). Film tersebut mengisahkan betapa santri (putri) begitu mudah percaya pada kiai dan rela melakukan apapun untuknya. Sikap hormat dan tunduk pada pendidik atau pengasuh semacam ini merupakan kelebihan sekaligus ciri khas pesantren meski dalam konteks ini justru menjadi titik lemah dan celah terjadinya pelecehan seksual.

Beberapa santri putri diceritakan rela melayani hasrat seksual sang kiai dengan iming-iming barokah, amanah dan berbagai privilege spiritual lain. Konflik muncul manakala salah satu korban diketahui hamil dan speak up pada orang tua yang kemudian tidak terima lalu melabrak langsung sang kiai.

Baca juga:  Perkawinan Monogami Lebih Dekat dengan Keadilan

Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa kendatipun sistem yang berlaku di pesantren sudah sedemikian rupa diatur untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, celah-celah pelecehan seksual tetaplah ada. Oknum-oknum tak bertanggungjawab yang familiar dengan suasana, lokasi dan aturan pesantren digambarkan menggunakan berbagai trik untuk mengelabuhi keadaan.

Wacana Seksualitas di Pesantren

Pesantren memiliki beberapa tipologi yang sedikit banyak berdampak terhadap kebijakan soal seksualitas, utamanya pembatasan akses antara lelaki dan perempuan serta materi (kurikulum) tentang seksualitas. Di antara berbagai tipologi yang dirumuskan, seperti oleh Nasir (2010) dan Haroen (2009), pesantren sedikitnya bisa dibedakan menjadi tradisional (salaf) dan modern (khalaf).

Pesantren tradisional biasanya memberlakukan aturan ketat perihal interaksi dan komunikasi antarlelaki dan perempuan, termasuk antara santri putri dan kiai, santri putra dengan nyai, atau antarsantri. Kemungkinan terjadinya pelecehan seksual, sekilas, tampak kecil karena akses bertemu atau berinteraksi saja dibatasi.

Hanya saja, di sisi lain, pesantren tradisional justru berpotensi menjadi lokasi pelecehan seksual karena ketaatan santri yang demikian kuat pada sosok pengasuh atau pendidik merupakan karakteristik kuat pesantren ini. Sementara itu, sangat jarang menemukan pendidikan seks dalam kurikulum pesantren tradisional.

Pendidikan seks dimaksud bukanlah perihal bagaimana melakukan hubungan seksual seperti yang banyak dibahas dalam kitab-kitab semisal Qurrotul Uyun (karya Ibnu Madani) dan Uqud Al-Lujjain karya Imam Nawawi Al-Bantani (van Bruinessen: 1999). Sex education yang dibutuhkan adalah pengayaan pengetahuan dan kesadaran perihal otoritas akan tubuh, hal-hal yang tidak boleh dilakukan, konsekuensi yang harus diterima, dan lain sebagainya.

Baca juga:  Ruth Bader Ginsberg, Pejuang Kesetaraan Gender dalam Hukum

Karena itu, wacana seksualitas dalam pesantren ini perlu dikenalkan melalui forum-forum yang ada, termasuk pengajian kitab, meski tidak harus mengubah materi/buku ajar/metode pembelajaran. Setidaknya, ia bisa menjadi penyeimbang dari kitab-kitab lain yang secara turun-temurun didaras oleh para santri, semisal Ta’limul Muta’allim (karya Az-Zarnuji) yang mengajarkan penghormatan penuh kepada pendidik (van Bruinessen: 1999).

Sementara itu, pesantren modern cenderung menerapkan aturan yang lebih longgar terhadap akses pergaulan perempuan dan laki-laki. Ini jugalah yang ditengarai menjadi salah satu sebab beberapa kasus pelecehen seksual di pesantren modern. Meski sekilas tampak masuk akal, kesimpulan demikian tampak terburu-buru mengingat kasus-kasus yang terungkap relatif tidak dapat secara akurat menggambarkan kasus lain yang tak terlaporkan.

Selain itu, pesantren modern sebenarnya memilik chance yang lebih besar untuk membangun literasi seksualitas melalui pengembangan kurikulum. Para santri bisa dibekali pengayaan wacana dan pengetahuan melalui forum-forum formal hingga non-formal, penyediaan bahan bacaan dan atau tontonan yang relevan, hingga kebijakan yang mendukung semangat pencegahan kekerasan seksual. Peluang kerjasama dan kolaborasi dengan pihak luar juga terbilang sangat besar.

Langkah ke Depan

Disahkannya UU PKS di tengah tereksposnya rentetan kasus pelecehan seksual di pesantren seperti sebuah koinsidensi yang tepat. Kabar gembira ini perlu dilanjutkan dengan pengawalan penuh terhadap implementasinya di lapangan, termasuk di kalangan pesantren. Sudah saatnya aturan maupun kebijakan pesantren dibuat responsif terhadap kebutuhan yang semakin berkembang, termasuk upaya pencegahan kekerasan seksual. Lebih dari itu, pendidikan seks perlu dibarengi dengan pembangunan karakter yang mendukung keberanian santri untuk speak up terhadap potensi atau laporan terjadinya kekerasan seksual.

Baca juga:  Syarifah Mudaim: Perempuan Pelopor Kemajuan Peradaban Islam di Tanah Sunda

Last but not least, budaya dan wacana seksualitas di pesantren perlu dibangun di atas penghargaan terhadap sakralitas gender sebagai anugerah tertinggi yang diberikan oleh Allah SWT agar tidak dikotori oleh hawa nafsu biologis dari siapapun yang ada di dalamnya. Pola relasi patron-client antara kiai/ustadz-santri di pesantren harus dijaga dan diawasi dengan baik agar tidak disalahgunakan atau dieksploitasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Semoga.

https://alif.id/read/mmr/pendidikan-seksual-di-pesantren-seperti-apa-b245318p/