Pendidikan: Soal dan Persoalannya

Saya mungkin termasuk bagian dari orang yang memiliki kenangan pengalaman tak menyenangkan terhadap masa bersekolah. Suatu saat ketika beberapa kesempatan mendapati nilai ujian yang buruk, orang tua saya mudah memarahi dengan dalih standar pendidikan itu menggapai nilai tinggi. Meski begitu, saya tidak mudah menyebutnya sebagai “trauma”, sebab dalam permenungan mendalam, bagi saya itu tiada lain adalah upaya orangtua dalam memotivasi untuk memikirkan pendidikan.

Terkadang, di antara mereka untuk memacu saya bersemangat belajar sampai memberi pengakuan masa lalunya. Ibu hanya seorang lulusan sekolah dasar. Sementara bapak, tidak lebih beruntung. Ia saat kelas tiga sekolah dasar memutuskan keluar untuk membantu orang tuanya bertani dan menggembala kambing. Di tempat saya, para orang tua mudah dalam memompa semangat belajar anak-anaknya dengan ujar, “Kalau gak mau menggembala kambing, maka harus sekolah yang benar dan tekun!”.

Masa demi masa berlalu, dalam banyak percakapan di publik, kita mudah menyoal pendidikan. Konon, satu masalah mendasar yang masih bertahan dalam pendidikan adalah perkara buku pelajaran. Keberadaannya memang menjadi penuntun murid-murid dalam menjalani proses di ruang kelas. Buku pelajaran juga penentu yang menjadikan para murid tekun belajar untuk menggapai nilai yang tinggi.

Nilai tinggi itu hadiah, kebanggan orang tua, dan gambaran masa depan. Meski tak lekang oleh zaman, namun buku pelajaran jarang yang menyoal akan keberadaannya. Kita ingat saja ungkapan Maudy Ayunda di sebuah siniar beberapa hari lalu. Ucapnya mengenai ide penghapusan soal pilihan ganda menarik untuk ditelisik. Saya memiliki dugaan, Maudy terbesit ketakutan bahwa yang demikian itu menjadi perulangan yang menjadikan murid hanya sebatas diajak menghafalkan.

Menghafalkan pelajaran tentu mengabsenkan makna pendidikan secara mendalam. Dalam pandangan ahli pendidikan Conny R. Semiawan, menyebutnya dengan istilah “Generasi Membeo”. Pendidikan tentulah memikul beban untuk terus membangun imajinasi, melatih kreativitas, berpikir ilmiah dan kritis, hingga bertindak masuk akal. Itu persoalannya. Walaupun kita tahu, dalam skema penyajian soal pilihan ganda, sejatinya tidak sebatas disajikan mudah dan berakhir pada pengandalan hafalan.

Dalam konsep yang biasanya diterapkan, setidaknya didasarkan pada teori Taksonomi Bloom. Dalam praktiknya, itu diterapkan pada pembuatan soal. Mulai dari Lower Order Thinking Skill (kemampuan berpikir rendah) hingga Higher Order Thinking Skill (kemampuan berpikir tinggi). Artinya, dengan model penyajian soal apa pun, ketika konsep itu diterapkan secara pas, tidak menjadi masalah. Setidaknya itu pengalaman saya sejauh menjadi editor dan penulis buku pelajaran sekolah.

Beranjak dari sana, saya rasa ada hal yang mesti didedah dalam membangun logika keterhubungan murid terhadap soal dan buku pelajaran. Ini tidak lain adalah sebagai pemenuhan kebutuhan skill di tengah perubahan dan perkembangan zaman. Hal itu pernah disampaikan oleh Haryatmoko dalam bukunya, Jalan Baru Kepemimpian & Pendidikan: Jawaban atas Tantangan Disrupsi-Inovatif (2020).

Untuk menerapkan dan membiasakan ke higher order thinking, menurut Haryatmoko, peran pendidik adalah menyediakan fasilitas, sarana, atau sistem agar pembelajaran bisa memompa rasa ingin tahu pembelajar dan melibatkan ketertarikannya untuk memajukan kemandirian pemikiran (kreativitas).

Konsekuensi dari kesemuanya itu tentu perlu ada perubahan cara pandang keseluruhan terhadap jalan pendidikan. Ada kecurigaan bahwa sejauh ini masih terdapat penyeragaman dari pola pendidikan yang berjalan. Bahwa itu keliru ketika mengacu pada fakta kemajemukan bangsa Indonesia. Pendidikan harus senantiasa menjuarakan kebhinekaan dan menghargai keberagaman.

Dengan keterbukaan itu, interaksi antara guru dengan murid bukan sebatas benar dan salahnya. Namun, melainkan dari itu mengedepankan pada keberadaan proses. Saya teringat dengan buku garapan Iwan Pranoto dan Aditya F. Ihsan, Berpikir Majemuk dalam Matematika (2020). Di dalam matematika sekalipun sejatinya mengajarkan keberagaman. Itu yang perlu dipahami oleh guru—setiap memberikan pertanyaan, ketika ada murid yang memberi jawaban berbeda—guru tidak boleh lekas menyalahkan.

Di sana ada dialog lebih lanjut, yang barangkali si murid itu memiliki cara penyelesaian tersendiri. Dengan mengacu pada ceramah ilmiah yang pernah disampaikan sastrawan kelahiran Nigeria, Chimamanda Ngozie Adichie di TED Global pada tahun 2009 yang berjudul “The Danger of Single Story”, kedua penulis itu menegaskan, cerita tunggal ini menutupi cerita alternatif lainnya yang mungkin ada. Keterangan itu saya rasa berhubungan erat dalam bidang keilmuan lainnya.

Materi berhubungan dengan krisis iklim dan pemanasan global, misalnya seorang murid tidak hanya sebatas diajak menghafalkan teori yang terkait untuk menjawab soal. Walakin, bagaimana soal yang dihadirkan adalah memacu akan sikap, tindakan, maupun respons dari murid. Soal tidak dilandasi dengan tuntutan jawaban tunggal, namun mengedepankan pada penghargaan keberagaman berpikir.

Dengan kata lain, ketika seseorang memberikan jawaban sebagai sikap bahwa apa yang dipelajarinya itu dialami secara nyata. Pertautan terhadap soal-soal dengan demikian melatihnya untuk berlatih manajemen risiko, kemauan bertindak, hingga berpikir jauh. Secara garis besar, terkontekstualisaikan pula pada pengedepanan objektivitas, manajemen kelompok, kesadaran berkolaborasi, kemauan beradaptasi, dan menaruh visi humanis.

Yang tidak kalah penting adalah penyajian soal dengan penyenaraian budaya lokal yang ada di jenjang pendidikan.  Dalam konteks pemunculan pertanyaan maupun soal, masing-masing keilmuan didekatkan dengan cerita, peristiwa, maupun fakta yang dialami murid dari lingkungan sekitarnya. Ini sebagai solusi di tengah ketakutan kita semua trhadap proses berilmu di sekolah terkadang justru mengasingkan pada realitas sekitar.

Pada momentum Hari Ulang Tahun ke-78 Republik Indonesia, cendekiawan dan pemikir kebhinekaan, Sukidi menulis esai “Menagih Janji Kemerdekaan” (Kompas, 24/8/2023). Ia mengisahkan hasl riset dari World Population Review, bahwa rata-rata IQ warga Indonesia di peringkat ke-130 dunia dan terendah kedua se-Asia Tenggara dengan besar 78,49. Padahal, kecerdasan berhubungan erat dengan kesenjangan yang terjadi. Meski sekilas itu hanyalah angka, rasanya ada pekerjaan rumah yang besar dalam menjawab tantangan pendidikan.[]

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/joko-priyono/pendidikan-soal-dan-persoalannya-b248435p/