Pengajian, Momen Silaturahmi Masyarakat Wonosobo

Rabiulawal atau Mulud sudah berlalu tapi feel-nya masih dapat kita rasakan hingga sekarang, barangkali karena masih banyaknya pengajian yang mengatasnamakan maulid Nabi Muhammad saw. Berbicara mengenai pengajian, ada pengalaman menarik berkaitan dengannya dalam konteks masyarakat Wonosobo. Pengajian tidak hanya pengajian, melainkan juga momen silaturahmi masyarakat.

Pagi itu di tempat kerja, seorang rekan singgah dan ngulemi (mengundang) untuk datang ke rumahnya esok hari bertepatan dengan diselenggarakannya pengajian di kampungnya. Usut punya usut, perihal mengundang semacam ini jamak dilakukan masyarakat Wonosobo ketika kampungnya menyelenggarakan pengajian.

Bagi masyarakat Wonosobo, pengajian tidak hanya memiliki fungsi tunggal edukasi yang menjadi esensi dari acara tersebut. Lebih dari itu, pengajian juga menjadi momen bersilaturahmi di mana pengunjung yang hadir juga akan menyempatkan mampir ke setiap rumah yang berada di sekitar acara-acara tersebut digelar.

Pada hari-hari sebelum pengajian tersebut digelar, mereka yang menjadi ‘tuan rumah’ telah ‘menyebar’ undangan lisan kepada siapa pun yang mereka temui; keluarga, saudara, sahabat, dan kolega; mengenai acara yang akan digelar di kampungnya. Yang paling penting mengundang mereka untuk mampir ke rumahnya.

Tradisi maring atau silaturahmi di sela-sela pengajian ini telah mengakar begitu lama di masyarakat Wonosobo. Seorang rekan kerja menyebutkan bahwa tradisi ini bahkan sudah ada ketika ia masih kanak-kanak. Langgengnya tradisi ini disinyalir karena eratnya hubungan sosial masyarakat Wonosobo baik antara individu ataupun kelompok sehingga berpengaruh terhadap dinamika sosialnya.

Dalam praktiknya, tradisi silaturahmi ini berlangsung secara timbal balik di antara individu dan kelompok masyarakat Wonosobo. Artinya, jika salah seorang pernah diundang ke pengajian dan berkunjung kepada mereka yang tinggal di sekitarnya, entah itu keluarga, saudara, sahabat, atau kolega, maka jika kelak kampungnya menyelenggarakan pengajian serupa ia juga akan mengundang mereka balik datang ke rumahnya.

Memang interaksi kebudayaan ini tidak selalu melibatkan seluruh unsur dan kalangan masyarakat sebagai ‘subjek aktif’. Acara pengajian yang lazim dialamatkan kepada masyarakat NU umumnya hanya melibatkan internal kelompok tersebut sebagai ‘subjek aktif’ dan menempatkan masyarakat lain, seperti Muhammadiyah, sebagai ‘subjek pasif’ di mana mereka hanya hadir sekadar untuk ngguyubi atau ‘meramaikan’.

Tradisi silaturahmi ini menjadi menarik dibicarakan karena tidak hanya aspek sosial kemasyarakatannya yang unik, tetapi juga aspek-aspek lain seperti ekonomi dan religi. Terkait aspek ekonomi misalnya, pengajian yang diselenggarakan sudah barang tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pemenuhan atas biaya penyelenggaraan ini umumnya dilakukan secara swadaya.

Masing-masing keluarga (KK) akan ditarik iuran sejumlah uang untuk memenuhi biaya penyelenggaraan pengajian. Selain itu, mereka juga akan diminta membuat takir, sebutan bagi semacam nasi kotak, dengan jumlah tertentu yang nantinya digunakan menjamu mereka yang hadir di pengajian.

Nah, di luar pengeluaran ‘wajib’ tersebut, masing-masing keluarga juga harus menyiapkan jamuan di rumah masing-masing sebagai konsekuensi atas undangan yang telah ‘disebarkan’ sebelumnya. Berdasar pengamatan dan informasi yang penulis beroleh, besar-kecilnya biaya yang harus dikeluarkan untuk jamuan ‘mandiri’ ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti macam dan jumlah jamuannya, status sosial, jumlah keluarga, saudara, dan kolega yang mereka miliki. Semakin banyak faktor yang memengaruhi, semakin banyak pula biaya yang harus mereka keluarkan.

Sementara terkait dengan aspek religi, satu hal yang menjadi pertanyaan terkait dengan praktik silaturahmi di acara pengajian tersebut adalah apa sebenarnya yang menjadi motif mereka hadir di pengajian? Mengaji atau bersilaturahmi? Sekilas memang tidak terdapat masalah pada motif kehadiran tersebut, entah itu mengaji atau bersilaturahmi,  karena dua-duanya sama-sama mulia di mata agama.

Namun jika dicermati lebih jauh, motif silaturahmi syarat akan adanya unsur transaksional. Hal ini seperti telah penulis singgung sebelumnya bahwa tradisi silaturahmi ini berlangsung secara timbal balik di antara individu maupun kelompok. Artinya ada sesuatu yang dipertukarkan dalam setiap kehadiran mereka.

Benar saja. menurut informasi yang penulis dapatkan mengenai hal ini, silaturahmi menjadi motif terkuat bagi sebagian orang untuk hadir di sebuah acara pengajian ketimbang mengikuti pengajian itu sendiri.

Informasi ini tentu saja tidak mewakili seluruh peristiwa yang terjadi di lapangan. Nyatanya, ada sebagian lain dari mereka yang benar-benar hadir untuk mendapatkan sesuatu dari pengajian yang diikuti. Meski demikian, informasi ini tetap bernilai penting karena menunjukkan sisi lain dari fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan.

‘Ala kulli hal, sekompleks apa pun masalah yang tersaji di dalamnya, pengajian bagi masyarakat Wonosobo tetap menjadi pilihan momen silaturahmi yang efektif. Peribahasa menyebutkan sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Tak hanya cerdas karena mengaji tapi juga kenyang karena bersilaturahmi. Wallah a‘lam bi al-shawab. []

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/nls/pengajian-momen-silaturahmi-masyarakat-wonosobo-b249969p/