Read Time:5 Minute, 1 Second
Oleh Masyhari*)
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang apa yang dimaksud maqashid syariah dan hal-hal yang terkait dengannya, penting terlebih dulu kita mengetahui apa urgensi atau kepentingan secara praktis belajar teori maqashid syariah.
Urgensi Ilmu Maqashid Syariah
Pada kuliah perdananya, Dr. H. Ahmad Kholiq, selaku salah satu dosen pengampu mata kuliah Maqashid Syariah Program Doktoral Hukum Keluarga Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon, dalam materi videonya di channel YouTube Achmad Kholiq Official, menyampaikan bahwa teks-teks al-Quran sifatnya terbatas, karena sejak Rasulullah SAW wafat, terhenti pula turunnya wahyu berupa ayat al-Quran, dan bersamaan dengan itu pula hadis-hadis Nabi tidak lagi bertambah. Sementara kita tahu bahwa kehidupan umat manusia terus berjalan dan permasalahan hukum selalu berkembang.
Problematika umat manusia bidang hukum yang berkembang terus-menerus itu tentunya membutuhkan jawaban status hukumnya, sementara seperti disebutkan di atas, ayat al-Quran dan Hadis tidak lagi bertambah, maka dibutuhkan rumusan teori yang bisa menjawab problematika yang ada. Oleh karena itu, para ulama hukum Islam mencetuskan rumusan kaidah yang disebut dengan istilah maqashid syariah.
Pengertian Maqashid Syariah
Secara bahasa, maqashid berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk plural (jamak) dari kata maqshad atau maqshud (Indonesia: maksud) yang berarti tujuan atau misi.
Sedangkan kata “syariah” atau “syariat” secara bahasa berarti jalan atau media yang ditempuh. Adapun kata syariah secara istilah berarti ajaran Allah saw yang ditransmisikan melalui Nabi Muhammad Saw berupa ayat Al-Quran dan Hadis untuk disampaikan kepada umat di seluruh alam.
Dengan demikian, secara umum, maqashid syariah berarti tujuan atau target yang hendak dicapai dalam penerapan teks-teks syariat yang Allah turunkan melalui Nabi Saw kepada umat manusia.
Para ulama merumuskan tujuan utama syariat yaitu dalam rangka membangun kemaslahatan (kebaikan), atau lebih lengkapnya jalb al-mashalih (menghasilkan atau menghadirkan kemaslahatan) dan dar’ al-mafasid (menolak kerusakan). Artinya, segala hal yang bertentangan dengan kemaslahatan berarti bertentangan hakikat dan tujuan syariat.
Nah, salah satu cara untuk mengetahui kemaslahatan yaitu dengan pendekatan teori maqashid syariah.
Lantas, Apa Saja Kemaslahatan yang Dimaksud?
Dalam hal ini, Achmad Kholik, memaparkan ada 5 (lima) bidang kemaslahatan yang hendak dicapai oleh Syariat, sebagaimana disinggung oleh al-Ghazali dalam al-Mustashfa yang terisnpirasi dari gurunya, Imam al-Haramain Al Juwaini dalam al-Burhan (dalam ar-Raisuni: 1999), dan selanjutnya ditegaskan oleh asy-Syathibi (wafat tahun 790 H/ 1388 M) dalam al-Muqafaqat. Lima hal yang dimaksud yaitu hifzh ad-diin (penjagaan terhadap agama), hifzh an-nafs (menjaga jiwa/nyawa), hifzh al-‘aql (menjaga akal pikiran), hifzh an-nasl (penjagaan terhadap keturunan), dan hifzh al-mal (pemeliharaan harta).
Sebatas misal, diharuskannya beriman dan perintah salat, serta larangan murtad, dsb. adalah dalam rangka menjaga agama. Dalam rangka menjaga jiwa, diharamkan menghilangkan nyawa seseorang (membunuh) tanpa alasan yang benar. Adanya perintah bekerja dan makan dalam rangka menjaga jiwa agar tidak mati kelaparan.
Dalam rangka menjaga akal pikiran, manusia dilarang mengkonsumsi minuman keras dan narkoba yang membahayakan akal pikiran. Selain itu, manusia diwajibkan belajar dalam rangka menjaga akal pikiran agar tetap sehat, berkembang dan tidak tumpul atau bodoh.
Adanya syariat nikah dalam rangka melestarikan keturunan, dan diharamkan berzina dalam rangka menjaga keturunan manusia dari ketidakjelasan dan percampuran nasab.
Larangan mencuri dan merampok dalam rangka melindungi kepemilikan harta orang lain dan menjaga kehalalan harta perbendaharaan milik kita. Begitu pula dengan anjuran atau kebolehan bagi seseorang untuk memerangi perampok, dalam rangka menjaga hak kepemilikan harta.
Historisitas Maqashid Syariah
Bagian ini akan menjawab pertanyaan apakah konsep maqashid syariah telah ada sejak masa-masa awal Islam?
Dalam banyak catatan para pakar maqashid disebutkan bahwa secara akademik, ilmu maqashid secara eksplisit sebagai sebuah teori baru muncul pasca digagasnya kitab al-Muwafaqat karya Imam Abu Ishaq asy-Syathibi yang paling populer memformulasikan konsep maqashid syariah.
Asy-Syathibi kemudian menginspirasi para ulama kontemporer untuk mengembangkan konsep dalam menjawab problem-problem bidang hukum, ekonomi dan lain sebagainya.
Sebenarnya, sebelumnya telah ada sejumlah ulama yang menyinggung masalah maslahat dan maqashid secara implisit, misalnya saja Imam al-Juwaini, Imam al-Ghazali, al-Qarafi, ath-Thufi, dan lain sebagainya. Hanya saja, yang paling populer dalam mempopulerkan istilah maqashid syariah yaitu asy-Syathibi. Karyanya al-muwafaqat dengan sistematis memaparkan kerangka teoritis konsep masqashid syariah secara detail.
Sebenarnya, sebelum itu, secara embrional praktik penggunaan maqashid syariah sebagai penentu keputusan hukum telah digunakan oleh para ulama sebelum asy-Syathibi. Bahkan, disinyalir praktik ijtihad maqashidi telah dilakukan pada zaman sahabat Nabi, tabi’in dan setelahnya. Meskipun tentu secara teori, saat itu belum dikenal secara eksplisit sebagai istilah maqashid syariah.
Hal ini misalnya Umar bin Al-Khaththab yang pada masanya dikelan sebagai seorang khalifah yang cukup kontroversial dalam melahirkan produk hukum. Keputusan-keputusan beliau tersebut jika dianalisis secara mendalam banyak mempertimbangkan maqashid syariah yang bermuara pada kemaslahatan.
Contoh misalnya beliau tidak memberlakukan pembagian ghanimah (harta rampasan perang) kepada para pasukan perang dalam penaklukan kawasan Irak yang saat itu dikuasai oleh Persia dan Romawi. Saat itu, sebagaimana dikatakan oleh Achmad Kholik, sahabat Umar tidak membagikan kepada pasukan.
Padahal, sebagaimana disebutkan secara tekstual di dalam al-Quran QS al-Anfal, seperlima dari ghanimah adalah hak bagi Allah dan Rasul-Nya (kas negara), dan empat perlimanya dibagikan kepada para pasukan perang. Tetapi, pada saat itu, Umar tidak memperlakukan hal tersebut. Jatah para pasukan diambil dan dimasukkan dalam perbendaharaan negara (baitul maal) secara keseluruhan.
Maka, kebijakan tersebut menimbulkan perlawanan dari para ulama di kalangan sahabat. Lantas, Umar pun menjelaskan bahwa kebijakan tersebut dalam rangka kebaikan (kemaslahatan), yaitu untuk menaikkan tunjangan sosial bagi kesejahteraan rakyat secara umum dan membangun negara agar lebih kuat.
Sahabat Umar juga pernah tidak memberlakukan hukuman (had) potongan tangan bagi pelaku pencurian pada masa paceklik atau karena alasan kelaparan. Padahal, di dalam teks al-Quran dan Hadis, bahwa hukuman bagi para pencuri dengan batas tertentu adalah potong tangan. Sehingga, secara tekstual keputusan tersebut secara sekilas bertentangan dengan teks al-Quran.
Hanya saja, Umar memandang bahwa memotong tangan pencuri saat terjadi paceklik atau mencuri dengan alasan kelaparan bertentangan dengan prinsip kemaslahatan, karena mengandung kezaliman terhadap kaum miskin. Dengan demikian, secara praktis maqashid syariah telah digunakan oleh Umar bin Al-Khathab. ***
*) Mahasiswa Doktoral (S3) Prodi Hukum Keluarga Islam PPs IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Dosen IAI Cirebon