Penjelasan Moderatisme Asy’ariyah Menurut Kiai Abdul Wahab Ahmad

Laduni.ID, Jakarta – Imam abul Hasan al-Asy’ari merupakan pendiri dari mazhab Asy’ariyah, mazhab yang saat ini dianut oleh mayoritas ulama di dunia. Mazhab Asy’ariyah dianut karena wujud moderatismenya, hal tersebut juga dijelaskan oleh Imam Abu Asakir dalam kitab Tabyin al-Kadzib al-Muftari bahwa Imam Abul Hasan al-Asy’ari selalu mengambil jalan tengah diantara dua pendapat yang ekstrem.

Sifat Ma’nawi

Muktazilah dan Jahmiyah memiliki pemahaman bahwa Allah tidak mempunyai sifat ilmu, kuasa, mendengar, melihat, hidup, kekal atau pun sifat kehendak bebas. Sedangkan Hasyawiyah berpemahaman bahwa Allah mempunyai sifat ilmu seperti ilmu selainnya, pendengaran seperti pendengaran selainnya, penglihatan seperti penglihatan selainnya.

Asy’ari memiliki pandangan yang berbeda dengan sebelumnya, yaitu Allah mempunyai sifat ilmu yang tidak sama dengan ilmu lainnya, mempunyai pendengaran yang tidak sama dengan pendengaran lainnya, penglihatan yang tidak sama dengan penglihatan lainnya.

Perbuatan Manusia

Jahm bin Shafwan memiliki pemikiran jika manusia tidak mampu mencipta perbuatan apa pun atau melakukannya. Sedangkan Muktazilah menganggap manusia mampu mencipta perbuatan atau pun melakukannya.

Asy’ari berpemahaman manusia tidak mampu mencipta perbuatan, tapi mampu melakukannya. (Beliau menafikan kemampuan manusia menciptakan sebuah tindakan, tetapi menetapkan kemampuan manusia untuk bertindak/melakukan)

Melihat Allah di Akhirat

Hasyawiyah Musyabbihah memiliki keyakinan bahwa Allah dapat dilihat dengan mekanisme melihat biasanya, sama seperti objek yang dapat dilihat lainnya. Sedangkan Muktazilah, Jahmiyah, dan Najjariyah percaya jika Allah tidak dapat dilihat sama sekali.

Asy’ariyah memiliki pemahaman yang berbeda dengan mazhab lainnya. Imam Abul Hasan Al-Asy’ari berkeyakinan jika Allah dapat dilihat, tetapi tanpa bertempat, tanpa batasan, tanpa mekanisme apa pun. Sebagaimana Allah dapat melihat kita tanpa batasan atau pun mekanisme, maka kita pun dapat melihat-Nya tanpa batasan atau mekanisme. (Dengan kata lain, Allah dapat dilihat tetapi tidak seperti kita melihat objek selain Allah).

Lokasi Allah

Najjariyah memiliki pemahaman bahwa Allah ada di semua tempat, tetapi tanpa merasuk dan tanpa arah spesifik. Hasyawiyah dan Mujassimah berkeyakinan bahwa Allah berlokasi di Arasy dan Arasy menjadi tempat baginya dan bahwa Allah duduk di atasnya.

Sedangkan Asy’ari memiliki pemahaman Allah ada saat tidak ada tempat apa pun, kemudian menciptakan Arasy dan Kursi sedangkan Allah tidak membutuhkan tempat apa pun. Allah setelah menciptakan tempat (alam semesta) tetap saja seperti semula (tidak bertempat).

Sifat Khabariyah

Muktazilah memiliki pemahaman jika Allah mempunyai tangan berupa kekuasaan dan nikmat. Allah mempunya wajah berupa keberadaannya sendiri. Hasyawiyah berkeyakinan Allah mempunyai tangan berupa organ, wajah-Nya adalah bentuk rupa. Sedangkan Asy’ari berpemahaman bahwa Yad Allah adalah sifat, wajh Allah adalah sifat, seperti halnya sifat mendengar dan melihat.

Nuzul (turunnya) Allah di sepertiga malam terakhir dan sifat Istiwa’

Muktazilah berpemahaman bahwa yang nuzul adalah adalah sebagian ayatnya, malaikatnya. Sedangkan istiwa’ bermakna menguasai. Hasyawiyah berpemahaman yang nuzul adalah Dzat Allah dengan bergerak dan berpindah tempat dari suatu tempat ke tempat lain, sedangkan Istiwa’ adalah duduk dan berlokasi di Arasy.

Sedangkan Imam Asy’ari memiliki pandangan berbeda berkaitan hal tersebut, menurut beliau nuzul adalah salah satu sifat-Nya. Istiwa’ juga salah satu sifat-Nya dan merupakan perbuatan yang dilakukan Allah atas Arasy yang Dia sebut sebagai istiwa’. (Dalam hal ini, beliau menganggap nuzul sebagai sebuah sifat, bukan sebagai gerakan atau perpindahan posisi tubuh. Adapun istiwa’ sebagai sebagai perbuatan tertentu dari Allah yang khusus dilakukannya terhadap Arasy tetapi bukan seperti pemaknaan Hasyawiyah. Beliau sendiri tidak menetapkan makna khusus pada perbuatan yang ghaib ini).

Kalam Allah

Muktazilah memiliki keyakinan jika kalam Allah adalah makhluk yang diciptakan. Hasyawiyah berpemahaman berbeda, yaitu huruf-huruf, media yang ditulisi kalam Allah, warna yang digunakan menulisnya, serta apa pun di antara dua cover (depan dan belakang) mushaf adalah qadim dan azali.

Sedangkan Asy’ari berpemahaman kalam Allah adalah qadim, tidak berubah dan bukan makhluk, bukan hal yang sebelumnya tidak ada atau pun hal yang dibuat belakangan. Ada pun huruf-huruf, media, warna dan suara yang terbatas serta apa pun di semesta yang mempunyai mekanisme/corak tertentu adalah makhluk yang diciptakan serta didahului ketiadaan.

Persoalan Kemakhlukan Iman

Muktazilah, Jahmiyah, dan Najjariyah berpemahaman Iman adalah makhluk. Hasyawiyah Mujassimah berkeyakinan Iman adalah qadim (bukan makhluk). Sedangkan Asy’ari menjabarkan iman ada dua macam. Pertama, Iman Allah adalah qadim sebab adanya firman Allah “Allah Yang Maha Mukmin, Maha Peduli”. Kedua, iman makhluk, maka ia makhluk sebab muncul dari mereka. Makhluk akan diberi pahala atas kemurniannya dan disiksa atas keraguannya.

Kebebasan dari konsekuensi dosa

Murji’ah berkeyakinan siapa yang pernah murni beriman pada Allah sekali saja, maka dia tidak bisa kafir dengan murtadnya, tidak ada kekafiran dan tidak pula dicatat dosa besar apa pun. (Dengan kata lain, dia selamat secara mutlak meski melakukan dosa apa pun). Muktazilah memiliki pemahaman bahwa pelaku dosa besar meskipun beriman dan taat akan masuk neraka seratus tahun tanpa keluar sedikit pun.

Asy’ari berkeyakinan Mukmin bertauhid yang melakukan dosa nasibnya tergantung pada kehendak Allah; Bila Allah menghendaki, bisa mengampuni dan memasukkannya ke surga. Bila Allah menghendaki, bisa menyiksanya sebab dosanya kemudian memasukkannya ke surga. Adapun hukuman yang terus menerus serta kekal, maka tidak dijatuhkan pada dosa besar yang dilakukan terpisah serta bersifat temporer.

Oleh: Kiai Abdul Wahab Ahmad


Editor: Daniel Simatupang

https://www.laduni.id/post/read/72833/penjelasan-moderatisme-asyariyah-menurut-kiai-abdul-wahab-ahmad.html