LADUNI.ID, Jakarta – Memahami Al-Qur’an tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kesulitan tersebut tidak hanya dirasakan oleh kalangan non-Arab yang secara kasat mata bahasa ibunya bukan bahasa Arab, tetapi juga melanda masyarakat Arab sendiri yang keseharian menggunakan bahasa Arab.
Permasalah utama ialah karena Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang mempunyai nilai suci, sehingga tidak ada seorang pun dapat memahami dengan kebenaran mutlak tanpa adanya petunjuk dan hidayah. Pada saat yang sama, bahasa yang digunakan Al-Qur’an secara eksplisit adalah bahasa Arab yang merupakan bahasa ibu dari wilayah Timur Tengah.
Penggunaan bahasa Arab adalah suatu keniscayaan, melihat konteks turunnya wahyu Al-Qur’an yang berada di wilayah Arab. Sehingga secara historis Al-Qur’an terkait erat dengan peradaban Arab, tetapi hal ini tidak menjadi bagian penting secara menyeluruh dalam memahami Al-Qur’an, meskipun secara redaksional dan historis mempunyai hubungan. Karena, turunnya Al-Qur’an tidak selalu berhubungan dengan suatu peristiwa maupun pertanyaan yang berkaitan dengan kehidupan Arab.
Meski demikian, dalam memahami Al-Qur’an seorang harus mengetahui asbabun nuzul (konteks turunnya ayat). Latar belakang turunnya tidak hanya merespons masalah yang mengitari kehidupan Nabi dan masyarakat sekitar, tetapi juga mengandung pelajaran bahwa wahyu Al-Qur’an turun melalui proses dan melatih kesabaran.
Al-Quran tidak hanya turun dalam satu waktu. Melainkan turun dengan masa yang sangat panjang. Dalam kitab Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami, halaman 5 Syekh Muhammad Al-Khudari Bik mengatakan bahwa Al-Quran turun dengan kisaran waktu 22 tahun 2 bulan dan 22 hari dengan berbagai kesempatan dan tempat yang berbeda-beda, entah secara kebetulan atau melalui sebab-sebab tertentu. Kemudian sebab itu kita kenal dengan Asbab An-Nuzul.
Asbab An-Nuzul merupakan dua bentuk kata yang di idhafahkan (istilah bahasa arab) sehingga maknanya dapat yang pahami adalah, sebab-sebab (peristiwa) yang melatarbelakangi tenrjadinya sesuatu. Sementara yang dimaksudkan Asbab An-Nuzal disini adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat Al-Qur’an.
Imam As-Syathibi berkata dalam kitab Al-Muwafaqat, halaman 146:
مَعْرِفَةُ أَسْبَابِ التَّنْزِيلِ لَازِمَةٌ لِمَنْ أَرَادَ عِلْمَ الْقُرْآنِ
“Mengetahui asbab an-nuzul merupkakan kewajiabn bagi seseorang yang ingin mempelajari Al-Qur’an.
Lebih lagi bagi seorang mujtahid (ushuly). Dalam istinbath Al-Ahkam Min Al-Nushush (yaitu pengambilan hukum dari nash khusunya Al-Qur’an) atau kerap di kenal dengan metode bayâni, tidak cukup dia hanya semata-mata memahami kaidah atau struktural bahasa Arab. Melainkan dia juga harus paham historis yang melatarbelakangi turunya ayat yang bersangkutan.
Manfaat dalam memahami Asbab An-Nuzul
Imam As-Suyuthi dimukaddimah kitabnya Lubab Al-Manqul Fi Asbab An-Nuzul, halaman 3, mengatakan bahwa dengan memahami Asbab An-Nuzul akan banyak faidah yang akan kita dapat, terlebih dalam memahami makna ayat. Beliau pun menolak pendapat sebagian ulama yang berasumsi bahwa Asbab An-Nuzul hanyalah peristiwa sejarah yang tidak terlulu penting untuk kita ketahui.
Dalam kitab Mabahits fi Ulum Al-Qur’an karya Mana’ Al-Qaththan, dijelaskan bahwa dengan mengetahui Asbab An-Nuzul kita akan memahami secara baik tujuan utama dari suatu ayat. Sebab tidak mungkin kita hanya memahami ayat dengan berpegang pada makna dzahir-nya saja.
Pernah suatu ketika Khalifah Marwan bin Hakam di buat bingung dalam memahami makna ayat surah Al-Imran [3] : 188, Yang menyatakan bahwa
لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَفْرَحُوْنَ بِمَآ اَتَوْا وَّيُحِبُّوْنَ اَنْ يُّحْمَدُوْا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوْا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ
Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.(QS.Al-Imran 3:188)
sehingga dia berkata pada bawahanya yaitu Rafi’, “pergilah menemui Ibnu Abbas, bagaimana mungkin seseorang yang ketika bahagia dengan apa yang sudah diperbuat dan senang di puji dengan apa yang tidak mereka lakukan akan di siksa, lalu bagaimana dengan kita semua?,
Hingga akhirnya Ibnu Abbas membacakan ayat sebelumnya yaitu Al-Imran, [3], 187.
وَاِذْ اَخَذَ اللّٰهُ مِيْثَاقَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهٗ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُوْنَهٗۖ فَنَبَذُوْهُ وَرَاۤءَ ظُهُوْرِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهٖ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۗ فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُوْنَ
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya, lalu mereka melemparkan janji itu [258] ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima. [258] Di antara keterangan yang disembunyikan itu ialah tentang kedatangan Nabi Muhammad SAW (QS.Al-Imran 3:187)
Menjelaskan bahwa ayat itu khusus bagi orang-orang Yahudi yang ketika di tanya oleh Nabi Muhammad SAW mereka merahasiakannya dan malah menyampaikan hal yang berbeda. Bukan untuk semua orang. Meski redaksi yang digunakan merupakan kategori lafaz yang memilki makna umum.
Sehingga sangat penting bagi kita mengetahui hikmah dibalik pensyariatan hukum tertentu, atau mampu menjangkau terhadap perhatian syariat dalam mewujudkan kemaslahatan bagi umat. Karena sudah tentu di setiap kali Syari’ menetapkan hukum pasti ada tujuan, baik dalam rangka menolak mafsadat atau mewujudkan maslahat, Wallahu a’lam.
______________________
Catatan : Tulisan ini terbit pertama kali pada Sabtu, 13 April 2019 . Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan revisi di beberapa bagian.
Editor: Sandipo
Sumber : Kitab Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami Dan Dari Berbagai Sumber Islami