Laduni.ID, Jakarta – Sebagian masyarakat kita masih ada yang kebingungan membedakan antara masjid dan mushala. Oleh sebagian orang sering diartikan bahwa masjid fungsinya adalah tempat dilaksanakannya shalat jum’at atau shalat hari raya. Sedangkan mushala fungsinya adalah tempat shalat lima waktu saja yang tidak bisa dipakai untuk melaksanakan shalat jum’at dan shalat hari raya. Selain kebingungan itu kita juga masih bingung membedakan status tanah yang di atasnya didirikan masjid atau mushala. Apakah setiap masjid adalah tanah wakaf? Apakah mushala juga harus tanah wakaf? Apakah setiap tanah yang diwakafkan untuk shalat otomatis menjadi masjid?
Kebingungan seperti itu harus bisa dijelaskan karena hal ini akan memiliki konsekuensi hukum dalam penggunaannya. Secara pengertian menurut KBBI bahwa mushala adalah tempat salat; langgar; surau. Sedangkan masjid adalah rumah atau bangunan tempat beribadah umat Islam. Secara syariat masjid adalah tempat yang diwakafkan untuk shalat dengan niat menjadikannya masjid. Sementara mushala adalah tempat shalat secara mutlak, baik berupa tanah wakaf, milik pribadi, hibah, dan lain sebagainya. Dari definisi tersebut menjadi jelas bahwa masjid sudah pasti wakaf, sedangkan mushala belum tentu wakaf.
Baca Juga: Hukum Shalat di Masjid yang Dibangun dengan Uang Haram
Dari keterangan di atas kita dapat memahami bahwa penentuan status sebuah tanah wakaf menjadi masjid atau tidak tergantung kepada niat dan ucapan (sighat) si pewakaf bukan dilihat dari kegunaannya sebagai tempat shalat jum’at atau shalat hari raya. Jadi jika si pewakaf meniatkan tanahnya diwakafkan untuk masjid, maka status tanah tersebut menjadi masjid meskipun tidak dipakai untuk shalat jum’at.
Dari sini para ulama Syafi’iyah menegaskan bahwa tidak semua tempat yang diwakafkan untuk shalat berstatus masjid. Namun harus dilihat dari shighat (ucapan) pewakafannya.
Dalam hal ucapan (sighat) si pewakaf juga terbagi dua yaitu sighat shirih (yang jelas) dan sighat kinayah (masih ada kemungkinan arti lain). Sighat shirih adalah setiap ucapan si pewakaf yang secara tegas mengarah kepada wakaf masjid, tidak bisa diarahkan kepada makna lain. Sedangkan sighat kinayah adalah ucapan si pewakaf yang memungkinkan untuk diarahkan kepada pewakafan masjid dan makna lain. Sehingga untuk menjadi masjid, sighat shirih tidak memerlukan niat sedangkan sedangkan shighat kinayah butuh niat.
Kenapa perkara status tanah wakaf ini perlu jelas, karena hal ini memiliki konsekuensi hukum yang jelas antara masjid dan mushala dalam penggunaannya. Jika sebuah tanah menjadi masjid, maka konsekuensi hukumnya berbeda dengan tanah yang hanya diwakafkan untuk mushala. Kalau status tanah itu menjadi masjid, maka berlaku hukum-hukum penggunaan masjid di dalamnya seperti haramnya berdiam diri di masjid bagi orang junub, haramnya berdiam diri di masjid bagi wanita haid, sahnya i’tikaf, bertambahnya pahala shalat, dan lain-lain. Namun kalau status tanah itu adalah mushala maka hukum-hukum penggunaan masjid seperti di atas tidak berlaku untuk mushala.
Penjelasan di atas merujuk kepada pendapat dalam kitab ‘Umdah Al-Mufti wa Al-Mustafti karangan Muhammad bin Abdurrahman Al-Ahdal.
مَسْأَلَةٌ قَالَ الْمَنَاوِي فِي التَّيْسِيْرِ قَوْلُهُ وَقَفْتُ هَذَا لِلصَّلَاةِ صَرِيْحٌ فِي وَقْفِهِ لِلصَّلَاةِ كِنَايَةٌ فِي خُصُوْصِ وَقْفِهِ مَسْجِدًا فَإِنْ نَوَى بِهِ الْمَسْجِدَ صَارَ مَسْجِدًا وَإِلَّا فَلَا كَالْمَدْرَسَةِ. وَأَمَّا الْمَسْجِدُ فَأَمْرٌ زَائِدٌ يَكْثُرُ فِيْهِ الْأَجْرُ وَيُعْتَكَفُ فِيْهِ وَيَحْرُمُ عَلَى ذِي الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ الْمُكْثُ فِيْهِ وَلَهُ أَحْكَامٌ زَائِدَةٌ عَلَى مَا وُقِفَ لِلصَّلَاةِ كَمُصَلَّى الْعِيْدِ فَإِنَّهُ وَقْفٌ لِلصَّلَاةِ وَلَيْسَ لَهُ حُرْمَةُ الْمَسْجِدِ وَلَا يَصِيْرُ وَقْفًا بِالْإِذْنِ بِالصَّلَاةِ فِيْهِ
“Sebuah permasalahan. Al-Manawi berkata dalam kitab al-Taisir, ucapan seseorang aku mewakafkan tempat ini untuk shalat tegas mengarah kepada makna mewakafkan untuk shalat, kinayah untuk kekhususan wakaf masjidnya, bila ia meniatkannya sebagai masjid, maka berstatus masjid, bila tidak ada niat, maka tidak menjadi masjid seperti wakaf madrasah. Adapun masjid adalah perkara yang memiliki nilai lebih yang banyak pahala di dalamnya, sah dibuat I’tikaf, dan haram bagi yang berhadats besar berdiam diri di dalamnya. Masjid memiliki hukum-hukum yang melebihi tempat yang diwakafkan untuk shalat, seperti mushala shalat ‘Ied, sesungguhnya mushala tersebut diwakafkan untuk shalat namun tidak memiliki kehormatan seperti masjid. Dan tidak menjadi wakaf dengan memberi izin shalat di dalamnya”
Baca Juga: Hukum Shalat di Atas Tanah Tanpa Alas
Kemudian hal ini disinggung dalam kitab Ahkamul Fuqoha No. 169 dengan mengutip pendapat dari beberapa referensi sebagai berikut:
Kitab Mughni Al-Muhtaj ‘ala Al-Minhaj
وَلاَ يَصِحُّ الْوَقْفُ إِلاَّ بِلَفْظٍ مِنْ نَاطِقٍ يُشْعِرُ بِالْمُرَادِ إِلَى أَنْ قَالَ: تَنْبِيْهٌ يُسْتَثْنَى مِنْ اشْتِرَاطِ اللَّفْظِ مَا إِذَا بَنَى مَسْجِدًا فِيْ مَوَاتٍ وَنَوَى جَعْلَهُ مَسْجِدًا فَإِنَّهُ يَصِيْرُ مَسْجِدًا وَلَمْ يَحْتَجَّ إِلَى لَفْظٍ كَمَا قَالَهُ فِي الْكِفَايَةِ تَبَعًا لِلْماَوَرْدِي لِأَنَّ الْفِعْلَ مَعَ النِّيَّةِ مُغْنِيَانِ عَنِ الْقَوْلِ. وَوَجَّهَهُ السُّبُكِيّ بِأَنَّ الْمَوَاتِ لَمْ يَدْخُلْ فِيْ مِلْكِ مَنْ أَحْيَاهُ مَسْجِدًا وَإِنَّمَا احْتِيْجَ لِلَفْظِ لِإِخْرَاجِ مَا كَانَ مِلْكَهُ عَنْهُ وَصَارَ لِلْبِنَاءِ حُكْمُ الْمَسْجِدِ تَبَعًا قَالَ اْلإِسْنَوِيُّ وَقِيَاسُ ذَلِكَ إِجْرَاؤُهُ فِيْ غَيْرِ الْمَسْجِدِ أَيْضًا مِنَ الْمَدَارِسِ وَالرِّبَاطِ وَغَيْرِهَمَا وَكَلاَمُ الرَّافِعِي فِيْ إِحْيَاءِ الْمَوَاتِ يَدُلُّ لَهُ.
“Wakaf itu tidak sah kecuali disertai ucapan (dari yang mewakafkan) yang memberikan pengertian (pewakafan) yang dimaksud … dikecualikan dari syarat mengucapan, bila seseorang membangun mesjid di lahan bebas, dan ia berniat menjadikannya mesjid, maka bangunan tersebut menjadi mesjid tanpa memerlukan ucapan pewakafan. Hal ini sebagaimana pendapat Ibn Rif’ah dalam kitab al-Kifayah dengan mengikuti Al-Mawardi: “Sebab aktifitas membangun disertai niat menjadikannya mesjid sudah mencukupi pewakafan dari pengucapan wakaf. Al-Subki memperkuatnya, bahwa lahan bebas tersebut tidak menjadi milik seseorang yang membukanya sebagai mesjid. Diperlukannya pengucapan wakaf itu untuk mengeluarkan lahan dari kepemilikan seseorang. Dan untuk bangunannya diberlakukan hukum mesjid karena mengikuti lahannya. Al-Isnawi berpendapat: “Dan hukum qiyas kasus tersebut adalah pemberlakuannya pada selain mesjid, yaitu sekolah-sekolah, pesantren-pesantren, dan selainnya. Pendapat al-Rafi’i dalam bab Ihya al-Mawat juga menunjukkan demikian”
Kitab I’anatuth Thalibin
قَوْلُهُ وَوَقَفْتُهُ لِلصَّلاَةِ إِلَخ) أَيْ وَإِذَا قَالَ الْوَاقِفُ وَقَفْتُ هَذَا الْمَكَانَ لِلصَّلاَةِ فَهُوَ صَرِيْحٌ فِيْ مُطْلَقِ الْوَقْفِيَّةِ (قَوْلُهُ وَكِنَايَةٌ فِيْ خُصُوْصِ الْمَسْجِدِيَّةِ فَلاَ بُدَّ مِنْ نِيَّتِهَا) فَإِنْ نَوَى الْمَسْجِدِيَّةَ صَارَ مَسْجِدًا وَإِلاَّ صَارَ وَقْفًا عَلَى الصَّلاَةِ فَقَطْ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَسْجِدًا كَالْمَدْرَسَةِ.
“(Ungkapan Syaikh Zainuddin al-Malibari: “Saya mewakafkannya untuk shalat.”), yakni jika si pewakaf berkata: “Saya wakafkan tempat ini untuk shalat.” Maka ucapan itu termasuk sharih (jelas) dalam kemutlakan wakaf. (Ungkapan beliau: “Dan kinayah dalam kekhususannya sebagai mesjid, maka harus ada niat menjadikannya mesjid.”) Jika ia berniat menjadikan mesjid, maka tempat tersebut menjadi mesjid. Jika tidak, maka hanya menjadi wakaf untuk shalat saja, dan tidak menjadi mesjid seperti sekolahan”
Wallahu A’lam
Referensi:
1. Kitab Ahkamul Fuqoha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam
2. Disarikan dari tulisan Ustadz M. Mubasysyarum Bih yang dimuat di NU Online