Perempuan dan Politik dalam Islam

Laduni.ID Jakarta- Pandangan dasar Islam terhadap perempuan, dalam al-Qur’an menerangkan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan Allah dalam derajat yang sama. Tidak ada isyarat bahwa perempuan pertama (Hawa) yang diciptakan oleh Allah adalah suatu ciptaan yang mempunyai martabat lebih rendah dari laki-laki pertama (Adam). Hal ini ditegaskan al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 1:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

“Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jenis yang sama dan dari padanya Allah telah menciptakan pasangan dan pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”

Ayat ini merupakan penegasan, bahwa untuk penciptaan manusia tidak ada perbedaan, baik bahan yang digunakan untuk menciptakan perempuan maupun pria keduanya berasal dari jenis yang sama. Di dalam Surat Ali Imran ayat 195 juga disebutkan:

فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ

Artinya, “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.”

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً

Artinya, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS An-Nahl: 97).

Seorang perempuan mukminah yang teguh dalam ketaatannya, Allah telah menyediakan baginya seperti apa yang telah disediakan-Nya bagi kaum mukminin, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan dalam hal ini.

Islam tidak mengenal diskriminasi antara kaum laki-laki dan perempuan. Islam menempatkan perempuan sebagai mitra sejajar kaum laki-laki. Kalaupun ada perbedaan, maka itu adalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan agama kepada masing-masing jenis kelamin, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain. Keduanya saling melengkapi dan bantu membantu dalam memerankan fungsinya dalam hidup dan kehidupan.

Hal ini telah ditugaskan Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 32,

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karena bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi para perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu.” (QS: An-Nisa 32)

Dari ayat di atas dapat ditarik pemahaman, bahwa Islam memproklamirkan kesetaraan laki-laki dan perempuan serta adanya integrasi dan saling melengkapi antara keduanya dalam memerankan fungsinya masing-masing (Huzaemah, 2001: 138).

Posisi Perempuan pada Masa Kontemporer di Bidang Politik

 Pada dasarnya, hak-hak politik perempuan dalam perspektif wacana kontemporer juga masih berada dalam titik perdebatan, walaupun sudah ada perubahan persepsi. Bahkan cara pandangnya pun tidak jauh berbeda dengan cara pandang ahli fiqh klasik. Setidaknya ada dua kelompok yang memperdebatkan posisi perempuan dalam memperoleh hak-hak politiknya.

Pertama, kelompok yang melarang perempuan menikmati hak-hak politiknya hingga menjadi
pemimpin atau wakil rakyat.
Kedua, mereka yang menganjurkan hak politik perempuan diperoleh secara wajar. Kelompok pertama ini, meyakini bahwa Islam melarang perempuan berkiprah dalam bidang politik dengan argumen, perempuan berbeda dengan laki-laki dari sudut biologis, rasionalitas serta peradabannya. Perempuan dari sudut biologis merupakan makhluk yang tidak sekuat pria.

Dari sudut rasionalitas, kelompok ini menganggap bahwa kaum perempuan pada umumnya cenderung lebih mendahulukan emosi dan perasaannya dari pada nalarnya. Kemudian dari sudut perkembangan peradaban, tampak dalam sejarah ummat manusia, andil dan sumbangsih kaum perempuan dalam membangun peradaban ada, tetapi tidak sebanyak atau seterlihat sebagaimana yang dilakukan oleh kaum laki-laki.

Apabila perempuan melakukan tugas-tugas politik juga dikhawatirkan akan berdampak negatif pada keluarga. Keterlibatan perempuan dalam persoalan politik akan menjadi sebab keterpecahan pandangan politik dalam keluarga, misalnya sang suami berpartai tertentu dan si isteri berpartai yang berlainan dengan suaminya. Jika keduanya tidak bisa menempatkan posisi, maka dikhawatirkan akan terjadi suasana yang tidak diinginkan dalam keluarga.

Di sisi lain keterlibatan kaum perempuan terlalu banyak di luar rumah dikhawatirkan menyebabkan terjadinya krisis keluarga. Posisi perempuan sebagai ibu mengharuskan menjaga anak-anak dari pemahaman yang tak diinginkan dan pergaulan bebas diluar, sejalan dengan konsep bahwa “Ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya”. Ini bukan berarti bahwa Ayah tidak memiliki andil dalam hal ini, tetapi porsi ini lebih banyak diambil oleh ibu. Karena keluarga adalah tanggung jawab bersama antara pihak ayah dan ibu dalam sebuah bingkai keluarga. Dalam pandangan kelompok ini, tugas utama seorang perempuan adalah menjaga harmonisasi dan moralitas keluarga di dalam rumah lebih besar daripada seorang pria.

Kelompok kedua ini menganggap kebutuhan untuk menyertakan kedudukan perempuan dalam mendapatkan hak-hak politiknya sebagai hal yang tidak bisa dihindarkan. Bahkan menyertakannya sebagai sosok yang akan dipilih oleh rakyat dan mewakili suara rakyat. Demi kebaikan dan demokratisasi, mereka menghendaki perempuan sejajar dengan laki-laki.

Dalam kehidupan realitas sehari-hari, perempuan merupakan separuh dari jumlah laki-laki atau bahkan lebih. Hal ini berarti perempuan memiliki separuh potensi kebaikan yang ada di dunia ini. Inilah sekilas tentang wacana yang berkembang mengenai kedudukan perempuan dalam politik (Syafiq, 2001: 197).

Selanjutnya sebagai kemajuan dari hasil belajar dalam bidang pendidikan, variasi dan pemerataannya dengan segala jenjangnya untuk anak laki-laki dan perempuan, serta semakin banyaknya kaum perempuan yang menekuni dunia profesi dan kegiatan sosial.

Gejala ini telah menciptakan kemampuan di kalangan perempuan untuk menekuni kegiatan politik, gejala-gejala kegiatan politik yang terpenting tercermin lewat,  nyata dalam ikut dipilih atau memilih penguasa/pemimpin negara, ikut serta dalam memilih wakil-wakil rakyat.

Negara Indonesia disebut termasuk negara yang partisipasi perempuannya dalam parlemen masih sangat rendah tentang partisipasi politik perempuan. Menurut data dari World Bank yang dirilis pada tahun 2019, Indonesia dikatakan termasuk negara yang partisipasi perempuannya dalam parlemen masih sangat rendah.

Hal ini direspon oleh Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan kualitas anak Perempuan dan Pemuda Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang mengatakan bahwa, penting adanya keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia.

Pentingnya peningkatan partisipasi perempuan adalah untuk pengambilan keputusan politik lebih akomodatif dan substansial. Selain itu dalam rangka memberikan gagasan yang terkait dengan perundang-undangan Pro perempuan dan anak di ruang publik.

Posisi Perempuan di zaman Nabi SAW

Berbicara mengenai perempuan yang berbai’at kepada Nabi Saw, mengingatkan kita pada beberapa orang perempuan yang ikut pada Bai’at Aqobah kedua bersama kaum laki-laki. Hafizh Ibnu Hajar dengan mengutip hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Ishaq dan disahihkan oleh Ibnu Hibban menyebutkan, Ka’ab bin Malik berkata

“Kami pergi melaksanakan haji bersama kaum kami yang musyrik. Kami shalat dan mendalami agama. Bersama kami ada Al Barra bin Ma’rur, pemimpin dan pembesar kami  Ka’ab berkata “Kami berkumpul di Aqabah sebanyak tujuh puluh tiga orang laki-laki dan bersama kami ada dua orang perempuan: Ummu Ammarah binti Ka’ab (salah seorang perempuan dari Bani Mazin) dan Asma binti Amir bin Adi (salah seorang perempuan Bani Salamah) (Abu Syuqqah, 1999: 508).

Bahkan bai’at itu adalah wajib hukumnya atas kaum perempuan, sebagaimana diwajibkan atas pria. Bai’at yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan politik, yaitu dalam mengakui kepemimpinan kepala negara dan pemimpin ummat yang sah menurut hukum (Daarut tauhid, 1993: 67).

Islam telah memberikan hak perundang-undangan kepada perempuan sama seperti memberikan kepada pria. Kaum perempuan boleh menguasai hak milik, hak jual beli, hibah, mengadakan perjanjian dan lain sebagianya. Secara penuh perempuan diberi hak berpolitik, boleh menempati sebagai kepala negara walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini, dan menguasaai urusan berkaitan dengan hukum, serta boleh berpartisipasi dalam memilih kepala negara atau pemimpin ummat.

Ia boleh berperan serta dalam aktivitas politik dan sosial sebagaimana partisipasi kaum pria. Perempuan juga boleh berpartisipasi mengelola yayasan, organisasi dan partai. Selain itu ia tidak dilarang menempati kursi kementerian. Parlemen dan kursi politik yang lain.

 Jadi, perempuan menurut Islam dapat menikmati hakekat keperempuanannya sesuai undang-undang dan memikul tanggung jawab sendiri, lepas dari ikatan ayah, suami atau lainnya.

Di zaman Rasulullah Saw, perempuan pun ikut berhijrah dengan tujuan politik. Berjihad dalam peperangan dengan memberi minum para prajurit, membantu melayani persiapan, mengobati orang terluka, serta posisi perempuan dalam sistem politik mengantarkan orang terluka dan terbunuh ke Madinah (Assyuqqah, 1999: 511).

Perempuan juga memberikan sumbang saran tentang isu politik, seperti Ummu Salamah memberikan saran kepada Rasulullah Saw pada peristiwa Hudaibiyah dan Perang Hunain.

Juga sebaliknya dikemukakan dalam sejarah Islam bahwasanya pada masa kenabian tidak pernah melibatkan perempuan dalam percaturan politik. Nabi Muhammad Saw, tidak pernah mengajak perempuan untuk berembuk/musyawarah untuk menentukan strategi perang. Dalam Islam setiap tindakan Nabi Muhammad Saw adalah Sunnah, dan Sunnah beliau tidak pernah memperkenankan kaum perempuan terlibat secara langsung dalam bidang politik.

Perempuan di Zaman Khalifah Umar

Islam memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk berkecimpung dalam kegiatan politik, ini jelas terlihat pada banyak ayat dalam al-Qur’an yang memerintahkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Ini berlaku untuk segala macam kegiatan, tidak kecuali bidang politik dan kenegaraan. Perempuan juga turut bertanggung jawab atas bidang ini.

Menurut suatu riwayat, pernah terjadi kaum perempuan menetapkan mahar yang cukup tinggi untuk suatu pernikahan pada saat kondisi ekonomi mereka sudah cukup. Melihat hal itu, Umar bin Khattab khawatir bahwa gejala ini akan terus berlanjut, maka Umar menetapkan batas mahar itu maksimal 400 dirham. Pandangan ini ditentang oleh seorang perempuan Quraisy yang mengatakan “Tidakkah tuan telah mendengar bahwa Allah Swt telah berfirman:

وَاِنْ اَرَدْتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍۙ وَّاٰتَيْتُمْ اِحْدٰىهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوْا مِنْهُ شَيْـًٔا ۗ اَتَأْخُذُوْنَهٗ بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا

“Dan kamu sekalian telah memberikan kepada salah seorang diantara perempuan-perempuan itu harta yang banyak, maka janganlah sekali-kali kamu mengambilnya sedikitpun” (QS: An-Nisa’ : 20).

Mendengar hal itu Umar langsung menjawab, “Semoga Allah memberikan ampunan Nya, semua orang ternyata lebih pandai daripada Umar.” Riwayat lain menyebutkan bahwa saat itu Umar menjawab, “Ibu benar dan Umar yang salah.” Kemudian ia naik mimbar dan menarik keputusannya (Syafiq, 2001:194).

Riwayat ini menunjukkan bagaimana sikap seorang perempuan Islam terhadap Khalifahnya yang terkenal cakap dan adil. Dia menyampaikan kebenaran dengan tidak ada rasa takut dan gentar, untuk kepentingan umum dan kepentingan pemerintahnya sendiri.


Penulis: Athallah

Editor: Rozi

https://www.laduni.id/post/read/517450/perempuan-dan-politik-dalam-islam.html