Sebagian besar provinsi dan puluhan kota serta kabupaten di Indonesia memberlakukan aturan berpakaian yang diskriminatif dan keras kepada perempuan dan anak perempuan, demikian dirilis “Human Rights Watch”, Kamis (21 Juli 2022).
Dampak dari peraturan-peraturan ini terlihat dalam keterangan pribadi para perempuan – sebagai siswi, guru, dokter, dan lainnya – yang dikumpulkan dalam laporan ini.
Kementerian Dalam Negeri di Jakarta, yang mengawasi kinerja pemerintah daerah, harus membatalkan berbagai keputusan daerah tersebut, jumlahnya lebih dari 60, yang berlaku di seluruh negeri.
Pemerintah pusat memang tak memiliki kewenangan hukum untuk mencabut peraturan daerah, seperti peraturan daerah Aceh soal “busana Muslim” buatan tahun 2004, yang diilhami Syariat Islam.
Namun hukum Indonesia memberi wewenang kepada Kementerian Dalam Negeri untuk membatalkan keputusan eksekutif lokal yang bertentangan dengan undang-undang nasional dan konstitusi.
“Presiden Joko Widodo harus segera membatalkan keputusan daerah yang diskriminatif dan melanggar hak perempuan dan anak perempuan,” kata Elaine Pearson, penjabat direktur Asia di Human Rights Watch.
“Keputusan-keputusan ini merugikan dan bermasalah, praktis hanya bisa diakhiri dengan tindakan pemerintah pusat.”
Berbagai pemerintah daerah mengeluarkan keputusan wajib jilbab, sebagai perintah eksekutif, mulai tahun 2001 di tiga kabupaten – Indramayu dan Tasikmalaya (Provinsi Jawa Barat), dan Tanah Datar (Sumatra Barat).
Aturan daerah yang membatasi tersebut muncul dan menyebar dengan cepat selama dua dekade terakhir, menekan jutaan anak perempuan dan perempuan di Indonesia untuk mulai memakai jilbab — penutup kepala perempuan yang menutupi rambut, leher, dan dada. Biasanya dipadu dengan rok panjang dan kemeja lengan panjang.
Para pejabat yang mengeluarkan keputusan tersebut berpendapat jilbab wajib bagi perempuan muslim untuk menutupi “aurat” yang mereka anggap rambut, lengan, dan kaki, kadang juga bentuk tubuh perempuan.
Perempuan dan anak perempuan menghadapi tekanan sosial dan ancaman sanksi kecuali mereka mematuhi peraturan.
Human Rights Watch mewawancarai lebih dari 100 perempuan yang pernah mengalami intimidasi, kekerasan dan dampak jangka panjang karena menolak memakai jilbab.
Human Rights Watch mengumpulkan peraturan-peraturan itu dan memasukkannya sebagai lampiran sebuah laporan terbitan 2021. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang paling baru mengadopsi keputusan ini pada Agustus 2021.
Laporan Human Rights Watch tahun 2021 mendokumentasikan perundungan yang meluas terhadap perempuan dan anak perempuan untuk memaksa mereka memakai jilbab serta tekanan psikologis mendalam yang dapat ditimbulkannya.
Setidaknya di 24 dari total 34 provinsi di tanah air, anak perempuan yang tidak patuh terpaksa meninggalkan sekolah atau mengundurkan diri karena tekanan, sementara beberapa Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan, termasuk guru, dokter, kepala sekolah, dan dosen, kehilangan pekerjaan mereka atau terpaksa mengundurkan diri.
Perundungan dan intimidasi untuk memakai jilbab juga terjadi di media sosial. Dalam dua kasus terpisah, Human Rights Watch mendokumentasikan ancaman kekerasan yang disampaikan melalui Facebook.
Wawancara Human Rights Watch mengungkapkan bahwa pesan intimidasi dan ancaman juga telah dikirim melalui aplikasi perpesanan, seperti WhatsApp.
Zubaidah Djohar, penyair, dan alumnus Pesantren di Padang Panjang, Sumatra Barat, mendapat ancaman pembunuhan yang menjanjikan “peretasan” dan “peracunan” setelah adu argumentasi teologis soal jilbab dengan Gusrizal Gazahar, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Sumatra Barat, pada 28 Februari 2021.
Rekannya Deni Rahayu juga mendapat ancaman pembunuhan, kebanyakan dari anggota grup Facebook alumni sekolah.
Keduanya melaporkan ancaman tersebut kepada polisi, namun belum ada indikasi polisi telah melakukan penyelidikan yang berarti atas pengaduan tersebut.
Mereka juga melaporkan ancaman tersebut ke Facebook tetapi tidak mendapat tanggapan. Human Rights Watch kemudian mengirim dokumentasi lengkap tentang perilaku kasar daring itu ke Facebook pada April 2021.
Facebook menanggapi pada Agustus 2021 dengan mengatakan bahwa mereka “melaporkan ujaran itu ke salah satu saluran eskalasi [mereka],” tetapi tidak memberikan informasi tentang hasilnya.
Pada April 2022, setelah beberapa permintaan pembaruan dari Human Rights Watch, seorang staf Facebook yang berbasis di Singapura menawarkan untuk bertemu dengan Djohar, saat liburan di Jakarta, namun ditolak Djohar. Facebook belum menyampaikan apa yang mereka lakukan dengan ancaman itu.
Hampir 150.000 sekolah di 24 provinsi berpenduduk mayoritas Muslim di Indonesia saat ini memberlakukan aturan wajib jilbab berdasarkan peraturan daerah dan nasional.
Di beberapa daerah muslim konservatif seperti Aceh dan Sumatra Barat, bahkan pelajar perempuan non-muslim, juga dipaksa untuk memakai jilbab.
Pada tahun 2012 dan 2014, Pramuka, gerakan kepanduan nasional yang wajib diikuti oleh anak sekolah, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan peraturan berpakaian dengan persyaratan jilbab khusus untuk “siswi muslim” dari kelas 1 hingga kelas 12, yang jelas bertentangan dengan peraturan menteri tahun 1991 yang mengizinkan sekolah untuk membiarkan pelajar perempuan memilih “atribut khusus” mereka.
Peraturan nasional Pramuka dan Kementerian Pendidikan memperkuat dan menegakkan keputusan daerah. Sekolah biasanya mewajibkan para pelajar untuk memakai seragam Pramuka seminggu sekali.
Pada Februari 2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bersama dua menteri lainnya mengamandemen Peraturan Menteri Pendidikan 45/2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar Dan Menengah, yang menetapkan bahwa para pelajar perempuan bebas memilih untuk memakai jilbab atau tidak. Makarim mengatakan peraturan itu digunakan untuk merundung para siswi dan guru.
Namun pada Mei 2021, Mahkamah Agung membatalkan amandemen peraturan tersebut, yang secara efektif memutuskan bahwa anak perempuan di bawah usia 18 tahun tidak memiliki hak untuk memilih pakaian mereka sendiri.
Keputusan itu mengakhiri upaya pemerintah untuk memberikan kebebasan kepada para anak perempuan dan guru muslim untuk memilih apa yang mereka kenakan.
Lebih dari 800 tokoh masyarakat menandatangani petisi publik yang mengecam keputusan tersebut dan meminta Komisi Yudisial untuk meninjau kembali keputusan tersebut, menyebut aturan wajib jilbab inkonstitusional dan diskriminatif. Pada Juni 2021, Komisi Yudisial menolak permohonan tersebut karena alasan teknis.
Aturan hak asasi manusia internasional menjamin hak untuk secara bebas memanifestasikan keyakinan agama seseorang, untuk kebebasan berekspresi, dan untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi.
Perempuan dewasa dan anak perempuan berhak atas hak yang sama dengan laki-laki dewasa dan anak laki-laki, termasuk hak untuk memakai apa yang mereka pilih.
Setiap pembatasan atas hak-hak ini harus untuk tujuan yang sah dan diterapkan dengan cara yang tidak sewenang-wenang dan tidak diskriminatif.
Perlindungan ini termasuk dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi Hak Anak, dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Indonesia telah meratifikasi semua perjanjian internasional tersebut.
Aturan wajib jilbab juga melemahkan hak anak perempuan dan perempuan dewasa untuk bebas “dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun” berdasarkan pasal 28(i) UUD 1945.
Pada tahun 2006, Asma Jahangir, mendiang pelapor khusus PBB untuk kebebasan beragama atau berkeyakinan, mengatakan bahwa “penggunaan metode paksaan dan sanksi yang diterapkan pada individu yang tidak ingin mengenakan pakaian keagamaan atau simbol tertentu yang dianggap disetujui oleh agama” menunjukkan “tindakan legislatif dan administratif yang biasanya tidak sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional.”
“Pemerintah Indonesia harus mengambil tindakan segera untuk mengakhiri perundungan, intimidasi, dan kekerasan terhadap masyarakat biasa yang berani membahas masalah jilbab secara terbuka dan menyuarakan keprihatinan tentang bagaimana peraturan daerah ini melanggar hak,” kata Pearson.
“Pemerintah harus menyelidiki setiap insiden tersebut dan meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab sehingga setiap perempuan dewasa dan anak perempuan di Indonesia merasa nyaman untuk berpakaian seperti yang mereka inginkan tanpa takut akan pembalasan.”
Untuk perincian tambahan dan catatan rinci oleh para perempuan yang diwawancara, silakan lihat di bawah ini.
Untuk melihat laporan Human Rights Watch soal Indonesia, silahkan kunjungi: https://www.hrw.org/asia/indonesia
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi:
Di Bangkok, Elaine Pearson (Bahasa Inggris): +61-400-505-186 (ponsel), +1 646 291 7169 (ponsel); atau pearsoe@hrw.org. Twitter: @pearsonelaine
Di Bangkok, Phil Robertson (Bahasa Inggris dan Thailand): +66-85-060-8406 (ponsel); atau robertp@hrw.org. Twitter: @Reaproy
Di Jakarta, Andreas Harsono (Bahasa Inggris dan Indonesia): +62-815-950-9000 (ponsel); atau harsona@hrw.org. Twitter: @andreasharsono
Di Washington, DC, John Sifton (Bahasa Inggris): +1-646-479-2499 (ponsel); atau siftonj@hrw.org. Twitter: @johnsifton
Catatan Para Perempuan Indonesia
Human Rights Watch berbicara dengan beberapa perempuan tentang perjuangan mereka melawan peraturan wajib jilbab di Indonesia. Mereka menulis penjelasan mereka, yang telah diedit untuk kejelasan, dan diterbitkan dengan persetujuan akhir mereka.
1. Anggun Purnawati, seorang pemandu turis di Kebumen, Jawa Tengah, juga pengikut agama Kejawen Maneges – sebuah agama lokal etnis Jawa.
Kami sekeluarga penganut Kejawen Maneges, termasuk anak perempuan saya, Gendhis Aurora, umur 7 tahun, yang kelas 2 Sekolah Dasar Negeri di desa Waluya, Kebumen. Kami percaya bahwa perempuan Maneges tak perlu pakai jilbab.
Di sekolah, Gendhis jadi sorotan. Peraturan seragam sekolah mewajibkan jilbab, baju lengan panjang dan bawahan panjang. Tak ada pilihan. Gendhis tak mau pakai jilbab, selain alasan keyakinan, juga kesehatan.
Gendhis sering dapat ejekan bahkan cibiran dari teman sekolah. Dia sering ditakut-takuti “bakal masuk neraka” dan “disiksa karena tak berhijab.”
Beberapa guru juga sering menyuruhnya maju, di depan kelas, untuk dicecar tentang alasan tak pakai jilbab. Kami juga sering dipersoalkan karena tak mengaji dan ikut ibadah lain dalam agama mayoritas Islam.
2. Widiya Hastuti, seorang mahasiswi di Universitas Sumatra Utara, Medan, lahir dan dibesarkan di Bener Meriah, Aceh.
Memakai jilbab di ruang publik menjadi keharusan bagi saya, gadis yang lahir dan besar di Aceh Tengah. Publik selalu menghakimi ketika keluar rumah tanpa menggunakan jilbab.
Saya sering diperhatikan sepanjang jalan, jadi gunjingan masyarakat, bahkan ada yang menegur menanyakan mana jilbab saya, juga polisi syariah yang siap merazia kapan saja.
Di Aceh, perempuan yang tidak menggunakan jilbab dianggap “perempuan nakal, tidak soleh,” sering dianggap “gampangan”.
Sepupu saya misalnya, menyebut saya tidak sopan, tomboy dan sulit diatur karena saya tidak menggunakan apa yang dianggapnya “busana muslimah” ketika acara keluarga.
Tidak hanya saya, orang tua juga mendapat tekanan. Ayah atau ibu selalu marah ketika saya ke warung, dekat rumah, tanpa jilbab.
Bukan karena mereka ingin saya pakai jilbab, tapi karena mereka akan digunjingkan. Agar mereka tak tertekan, saya memilih terus menggunakan jilbab jika keluar rumah.
Ketika lulus sekolah menengah dan kuliah di Medan, pada 2016, saya memutuskan merdeka dan memakai baju, yang nyaman dan sopan. Ibu saya santai ketika berkunjung ke Medan dan mendapati saya berpakaian biasa.
Kini hampir dua dekade, stereotip perempuan Aceh harus menggunakan jilbab sudah melekat di Indonesia. Bila saya bertemu teman, yang mengetahui saya muslim, mereka biasa saja.
Tapi, jika tahu saya lahir dan besar di Aceh, pertanyaan soal jilbab akan muncul. Seakan yang harus menggunakan jilbab itu adalah perempuan Muslim Aceh saja.
3. Siti Rokhani, dosen di bidang kesehatan, Way Jepara, Lampung
Ini berawal dari Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di SMAN 1 Lampung Timur. Putri saya mengenakan seragam sekolah lengkap dengan atributnya, tanpa jilbab. Panitia MPLS bertanya, “Agamamu apa?” Dijawab “Islam.”
Panitia menyampaikan bahwa siswi Muslim wajib pakai jilbab. Esoknya putri saya tetap tak mengenakan jilbab.
Bullying pun dimulai. Dibilang tidak bermoral, dicemooh, dipandang dengan tatapan hina dan diberi kalimat-kalimat dari Hadits yang mereka yakini, yang begitu jauh dari apa yang kami yakini di keluarga.
Tiap pulang sekolah anak saya menangis histeris, minta keluar dari sekolah, tidak kuat dengan bullying.
Ketika anak saya menjadi kurang percaya diri, merasa tertekan dan haknya terbelenggu, saya sebagai orang tua melakukan penguatan.
Saya menemui guru kesiswaan dan panitia MPLS, guna memastikan aturan seragam sekolah, berdasarkan aturan yang berlaku. Kesimpulannya, sekolah negeri tidak ada aturan yang mewajibkan siswi muslim berjilbab.
Praktik wajib jilbab terjadi sebagai “himbauan” dari guru agama Islam sehingga menjadi kebiasaan. Mereka sepakat tak ada lagi teguran maupun bullying pada siswi yang tidak berjilbab.
4. Dina Fitriya, guru sekolah negeri, kelahiran desa Caracas, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan
Kedua orang tua saya adalah guru. Ibu saya, Ipah Maripah, guru SD Negeri 1 Caracas. Bapak saya, Zubaedi Djawahir, guru Madrasah Aliyah milik Persatuan Ummat Islam Cilimus. Bapak juga menjabat sebagai ketua PUI serta sebagai sekretaris panitia pembangunan masjid Caracas dan Cilimus.
Pada 2000, Bapak, keluarga dan pengikutnya dipanggil puluhan tokoh agama Islam di Hotel Ayong Linggajati. Ada lebih dari 100 orang datang ke sana.
Mereka berpendapat pandangan-pandangan keislaman Bapak tak sama dengan pandangan mereka. Undangannya dialog, tapi yang terjadi (seolah) Bapak diadili dengan simpulan: sesat. Buntutnya, Majelis Ulama Indonesia bikin fatwa sesat.
Bapak tidak diterima berceramah di masjid mana pun di Kuningan. Namun Bapak tak berhenti, bahkan pengikutnya semakin banyak. Ketegangan dengan MUI cabang Kuningan juga naik.
Pada 20 Januari 2010, rumah kediaman Bapak diserang dan dirusak oleh segerombolan orang bermotor.
Mereka berteriak takbir sambil menyerang rumah Bapak saya. Mereka melempari rumah dengan batu, teriak, “Usir orang sesat.” Rumah disegel oleh pemerintah Kuningan. Kami sekeluarga terpaksa mengungsi ke Jakarta kecuali saya.
Saat saya ambil barang-barang, untuk pindah ke rumah kontrakan di wilayah lain di Kuningan, saya diintimidasi, dimulai dari penaburan paku di jalan agar truk yang membawa barang tidak bisa lewat dan jalan dihalangi pohon tumbang.
Pada Februari 2010, Majelis Ulama Indonesia di Kabupaten Kuningan mengeluarkan fatwa bahwa Bapak dan pengajiannya, Millah Ibrahim, “sesat.”
Bapak tak juga mundur. Pada 2011, Bapak perlahan-lahan mulai bicara soal jilbab bukan kewajiban, mula-mula kepada anggota keluarganya, termasuk anak-anaknya, dan diumumkan ke publik pada 2019. Tekanan dan intimidasi terhadap kami makin besar.
Saya sendiri mulai pakai jilbab pada 1991 ketika kelas lima. Pada tahun 2011, saya memutuskan tidak berjilbab ke mana-mana kecuali bekerja di sekolah –semua ID card saya pakai foto berjilbab.
Saya melepas jilbab karena klarifikasi Bapak bahwa jilbab hanya sekedar budaya. Bukan syariat. Saya juga tak mau menjadi bagian dari orang-orang yang kampanye jilbabisasi. Pada 2013, Bapak pindah dari Jakarta ke Cirebon, kota besar bertetangga dengan Kuningan.
Kejadian-kejadian lain yang kami alami setelah itu di antaranya:
- Pada 2013, kami berusaha membeli rumah di Perumahan Griya Wisata, Bandorasa Wetan, Kuningan, dan diusir;
- Intimidasi kepada pengikut Bapak, bahkan hingga dipaksa bersyahadat kembali di muka umum. Ia juga termasuk para pegawai negeri hingga dipindahkan dan di non-job-kan;
- Penyerangan tempat pengajian pengikut Bapak saya di Cirebon dan juga di Pabuaran.
Bapak meninggal karena serangan jantung pada Juli 2021 di Cirebon. Namun tekanan kepada keluarga dan pengikutnya belum berakhir.
5. Nisa Alwis, menulis buku “Puber Beragama di Negeriku”, mengasuh pesantren di Pandeglang
Saya berjilbab sejak lulus SD dan masuk pesantren pada 1986. Ia terus melekat hingga kuliah S1 dan S2 tamat.
Kami biasa diskusi terbuka, juga soal filsafat, di Flinders University, Australia, tapi jilbab tidak terpikir untuk ditanggalkan. Kode etik, yang dua dekade ditanamkan, jadi mengikat. Jilbab diposisikan no debate.
Lingkungan sosial terbangun bahwa jilbab itu bagus, ayo semua berjilbab, yang sudah berjilbab jika melepasnya kurang bagus.
Namun saya tak berpikir inilah hidayah, yang tidak berjilbab level imannya lebih rendah. Tapi untuk melepasnya tetap tidak bisa.
Sampai ketika friksi politik agama meninggi di Jakarta. Nurani dibuat muak dengan sikap keompok “pembela agama” tetapi sikap dan perilaku mereka sulit diterima logika.
Betapa nilai-nilai etika di negeri ini sudah bergeser seiring bombastisnya jargon agama. Laju fanatisme nyaris tak ada penahan, dan jilbabisasi adalah gerbang dari simbolisme agama ini.
Perempuan seperti saya, maupun anak saya, jadi menanggung risiko dan beban untuk sebuah identitas primordial yang tak berujung pangkal.
Jika sekedar berpakaian saja sudah didikte, bagaimana perempuan bisa merdeka dengan pilihan hidup lainnya? Perempuan jika dilemahkan, sebangsa senegara kena imbasnya.
Saya akhirnya membuka jilbab perlahan sekali, seperti tahapan terapi. Dengan beralih pada selendang dan kain kebaya atau dress biasa untuk merecall ingatan era 1980an. Debat saya layani, dicemooh saya sabar.
Dukungan perlu dikondisikan dari keluarga inti maupun lingkaran teman. Kami lakukan ini, berharap lebih banyak orang tersadar; fanatisme agama ada beragam bentuk juga lapisan dan dengan wajib jilbab sesungguhnya kita terpapar.
Hukum aurat dan jilbab adalah tafsiran ulama dan itu bisa relatif dari masa ke masa. Tinjauan Ushul Fikih (filsafat hukum Islam) mengenai jilbab pun sesungguhnya fleksibel: “Asal segala sesuatu itu boleh. Kecuali ada dalil yg melarangnya.”
Tak satu pun ayat Quran menyatakan rambut adalah aib atau jilbab itu wajib. Pakaian hanyalah bungkus, tampilan, bukan esensi. Memutlakkan hal yang bukan esensi adalah kekeliruan fatal.
Ratusan tahun ulama kita tak melarang masyarakat menari, berkesenian, mengenakan berbagai ornamen keindahan, hingga khazanah itu sampai di era kita.
Lalu kini orang-orang dipaksa berubah dan meninggalkannya? Jangan sampai kita jadi bangsa yang linglung karena tercerabut dari akar budayanya.
6. Sheilana Nugraha, 25 tahun mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Sejak SD kelas 4 saya dipaksa pakai jilbab oleh ibu tiri saya. Suasana di rumah tidak baik, saya sering ditinggal ayah, dianggapnya baik saja. Realitasnya parah. Ada satu adik kandung, hanya beda satu tahun.
Saya masuk SMAN 2 Sragen pada 2012, diminta pakai jilbab di sekolah. Pada 2013, saya ditabrak seorang ibu naik motor sampai semaput.
Saya ingin tinggal dengan mama di Sragen, dekat SMAN 2. Mama saya Kristen. Papa saya Muslim. Saya lepas jilbab dan baju seragam juga pendek walau mama masih antar saya ikut pengajian.
Saya satu-satunya murid Muslim yang tidak pakai jilbab di sekolah tersebut. Ada siswi Kristen, jumlahnya kecil tak sampai 10 orang di sekolah, tak pakai jilbab semua.
Saya dihampiri guru sejarah, perempuan pakai jilbab, juga tetangga saya. Dia memarahi, menunjuk-nunjuk, dibilang “tidak akan sukses tanpa jilbab dan akan masuk neraka.”
Saya menangis, dipermalukan, disaksikan banyak murid, depan kelas dekat whiteboard dan pintu kelas. Malu, nangis saya, tertekan batin.
Berhari-hari begitu, berturut-turut, ada tiga guru perempuan (biologi, matematika, bahasa Perancis) plus guru agama Islam (lelaki), lain ikut merundung.
Guru agama Islam tak bikin saya menangis tapi menyindir. Guru matematika juga walikelas saya. Nilai saya dibikin jeblok. Kepala sekolah diam saja.
Pada 2014, guru sejarah memarahi saya lagi, saya menunduk sambil nangis. Dia memukul kepala saya di sekolah. Guru biologi juga pernah memukul kepala saya dengan ditonyo-tonyo kepala saya. Sering terjadi.
Guru kimia adalah kakak kandung ayah saya. Dia bikin jeblok nilai saya di rapor. Dia sering tak bahas soal kimia di kelas, tapi soal jilbab saya.
Saya lulus pada 2015 dan diterima di fakultas biologi, Universitas Gadjah Mada. Pada 2020, saya diminta mengumpulkan foto buat ijasah S1. Seorang petugas administrasi fakultas biologi mengirim pesan dan bilang foto saya tak pakai jilbab.
“Ini mau ditempel di ijasah lho? Kok mbak nggak pakai jilbab?” kata petugas. Dia bilang semua teman saya pakai jilbab. Dia minta saya memikirkan lagi, dikasih waktu seminggu. Ada desakan agar saya pakai foto berjilbab. Komunikasi lewat WhatsApp.
7. Ruhadie Bae, pekerjaan wiraswasta, Cirebon
Saya sekeluarga adalah penganut agama Islam. Putri pertama saya, Keyla Aleyda Nirvana Putri, sekolah di SMUN 1 Babakan Cirebon. Putri kedua, Cleonara Aura Nareswari, sekolah di SMPN 1 Babakan Cirebon.
Kami memahami tak ada secuil perintah dalam al Qur’an soal wajib jilbab. Saya belajar dari Bapak Zubaedi Djawahir pada 2016 bahwa Al-Qur’an justru kita diarahkan untuk lebih dekat dengan pakaian dan budaya lokal.
Kami sekeluarga tak mau berdusta pada prinsip ini. Namun di sekolah, putri-putri saya ditekan agar pakai jilbab.
Kami tidak mau mengingkari keyakinan kami. Kami percaya seorang Muslim di Jawa harus dekat dengan kebaya. Tuhan menciptakan menciptakan keragaman. Tuhan mengajarkan kita untuk mencintai negeri sendiri, budaya sendiri.
Putri-putri saya selalu dapat bully dari guru-guru atau temen-temennya. “Hey kamu Kristen ya? Nok jilbabnya dipake ya? Nok klo pelajaran agama jilbabnya dipake ya?” Tapi kami tak bergeming.
Saya datang ke sekolah dan beritahu ke walikelas masing-masing. Kedua sekolah memberikan kebebasan. Walikelas sangat support. Tapi ada saja guru lain intimidasi secara halus. Dan bully dari temen selalu ada. Syukur, putri-putri saya pandai bergaul. Sahabatnya banyak. Jadi ada temen-temennya ikut ngebela.
8. Henny Supolo Sitepu, ketua Yayasan Cahaya Guru, Jakarta (Teachers’ Light Foundation)
Yayasan Cahaya Guru sering berikan pelatihan pengelolaan kelas untuk sekolah-sekolah negeri. Sejak 2007, saya mulai sering dapat keluhan guru-guru perempuan mengenai “kewajiban berjilbab.”
Tak ada aturan tertulis. Para guru menyatakan tekanan berat karena jilbab dikaitkan dengan moral. Tidak mengenakan jilbab dianggap tidak islami, bukan contoh baik untuk murid.
Dua kasus yang saya ingat. Seorang guru dianggap menggoda kepala sekolah karena tak pakai jilbab, serta satu guru tak diberi jatah seragam sekolah.
Tapi, keluhan disampaikan dengan berbisik. Dan ada syarat: saya tidak boleh membukanya pada umum. Ketakutan terasa keras. Tidak heran ketakutan terjadi.
Berbagai peraturan daerah menulis kewajiban berjilbab disertai sanksi. Sekolah menyerap apa yang terjadi di masyarakat tanpa sikap kritis. Ia memperlihatkan kecenderungan umum: saat busana dikaitkan dengan agama seakan tabu mempertanyakan.
Kelambanan Polisi dan Media Sosial Tangani Intimidasi dan Ancaman Terkait Jilbab
Sebagian besar perempuan dan anak perempuan di Indonesia yang kami wawancara mengatakan mereka tidak melaporkan kekerasan yang mereka alami tapi mencoba menangani sendiri.
Beberapa menyalahkan diri mereka sendiri, mengatakan bahwa mereka percaya mereka tidak cukup Islami, menggunakan ungkapan: “Saya belum menerima hidayah.” Tapi beberapa melaporkannya ke Kementerian Pendidikan dan kepolisian.
Sekelompok pria menyerang Ade Armando, seorang komentator Cokro TV, yang telah menyiarkan laporan tentang kewajiban berjilbab bagi perempuan dan anak perempuan, ketika dia menghadiri sebuah demontrasi di luar gedung DPR pada 11 April 2022.
Polisi telah menangkap enam pria, termasuk Arif Pandiani, yang diduga “memprovokasi massa” untuk menyerang Armando.
Pandiani kemudian membuat video yang mengklaim bahwa Armando telah meninggal. Armando mengalami cedera otak, mengakibatkan pendarahan, dan dirawat di rumah sakit selama lima minggu, sementara keluarganya pindah sementara dari rumah mereka di Depok, pinggiran selatan Jakarta, demi keselamatan mereka. Para pria itu kini sedang menunggu persidangan.
Karna Wijaya, seorang profesor di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, kemudian mengunggah komentar di Facebook yang menyerukan agar Armando dan rekan-rekan TV-nya, termasuk Nong Darol Mahmada dan suaminya Guntur Romli, “untuk dibantai.”
Romli melaporkan Wijaya ke polisi atas tuduhan ujaran kebencian. Meski polisi membenarkan telah menerima laporan Romli, hingga kini polisi belum memanggil Wijaya untuk ditanyai.
Dua Muslimah, Zubaidah Djohar dan Deni Astuti, menghadapi perundungan, intimidasi, ujaran kebencian, dan ancaman, termasuk ancaman pembunuhan, di sebuah grup Facebook setelah mereka terlibat dalam sebuah webinar pada bulan Maret 2021 di Sumatra Barat di mana Zubaidah membela kebebasan anak perempuan dan perempuan Muslim untuk memilih memakai jilbab atau tidak. Mereka menunjukkan kepada Human Rights Watch lebih dari 60 halaman yang isinya perundungan dan ancaman yang mereka unduh dari Facebook. Kedua perempuan itu dan Human Rights Watch melaporkan ancaman tersebut ke Facebook, tetapi tidak tampak ada langkah yang diambil selama berbulan-bulan dan Facebook belum membuka hasil penyelidikan mereka. Pada April 2022, hampir setahun kemudian, Facebook menugaskan seorang staf untuk menemui Djohar di Jakarta tapi dia menolak untuk bertemu. |
Djohar mengatakan dia melaporkan komentar kasar di halaman Facebook-nya ke kepolisian nasional di Jakarta pada Maret 2021. Dia mengunggah foto-foto kunjungannya ke kantor polisi di halaman Facebook-nya.
Dia mengatakan polisi tidak menindaklanjuti untuk menyelidiki, tetapi dia melihat bahwa dengan membuat pengaduan setidaknya mendorong orang-orang yang telah mengirim komentar kasar di halaman Facebook-nya untuk berhenti.
Peraturan soal Jilbab di Tempat Lain di Indonesia
Isu hijab dan pakaian perempuan telah memicu perdebatan global di negara-negara mayoritas berpenduduk muslim seperti Indonesia, serta di negara-negara di mana muslim merupakan populasi minoritas yang signifikan.
Sebagian besar dari 34 provinsi di Indonesia berpenduduk mayoritas Muslim. Bali mayoritas penganut Hindu, empat provinsi mayoritas Kristen, dan lima provinsi lainnya seimbang hampir 50-50 antara penduduk Muslim dan Kristen.
Di Indonesia, aturan wajib jilbab tidak ada sampai setelah jatuhnya Presiden Soeharto pada tahun 1998.
Banyak kelompok muslim konservatif menganjurkan pengenalan aturan wajib jilbab di Indonesia, mulai dari provinsi-provinsi konservatif seperti Jawa Barat, Sumatra Barat, dan Aceh, penggerak otonomi daerah di Indonesia pasca-Soeharto untuk memenangkan dukungan politik atas langkah tersebut.
Saiful Mujani, seorang dosen Universitas Islam Negeri Jakarta, menulis, “Busana mahasiswi muslimah seperti ini di tanah air adalah gejala umum sebelum tahun 80an. Banyak pihak yang menyatakan bahwa berhijab dan bahkan bercadar merupakan kewajiban yang diperintahkan dalam Al-Qur’an.
Apakah sebelum tahun 80an ayat-ayat terkait hijab dan cadar itu belum masuk Indonesia? Yang paling mungkin adalah tafsiran baru atas ayat-ayat itu muncul tahun 80an setelah revolusi Iran atau lebih belakangan karena pengaruh mode Arab yang semakin kuat di tanah air.”
Dia menambahkan, “Apapun alasannya, wajib atau tidak wajib berjilbab adalah soal tafsir manusiawi belaka … dan semuanya terbuka untuk salah. Karena itu seharusnya tidak boleh ada institusi publik seperti kantor pemerintah, sekolah atau madrasah negeri, universitas negeri sekalipun universitas Islam negeri misalnya, yang mewajibkan berjilbab. Mau berjilbab atau tidak diserahkan pada pilihan subyektif Muslimah masing-masing.”
Pada Februari 2021, setelah aduan dari ayah seorang siswi sekolah menengah yang beragama Kristen di Padang, Sumatra Barat, menjadi viral di media sosial, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menandatangani surat keputusan yang membolehkan setiap pelajar perempuan atau guru perempuan untuk memilih apakah akan memakai jilbab di sekolah atau tidak.
Namun, pada 3 Mei 2021, yang merupakan sebuah pukulan terhadap hak-hak perempuan dan hak anak, Mahkamah Agung membatalkan peraturan itu setelah petisi dari Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau di Padang, Sumatra Barat.
Majelis tiga hakim laki-laki – Irfan Fachruddin, Is Sudaryono, dan H. Yulius – memutuskan bahwa peraturan pemerintah melanggar empat undang-undang nasional dan bahwa anak-anak di bawah usia 18 tahun tidak memiliki hak untuk memilih pakaian mereka.
Beberapa cendekiawan Muslim di Indonesia yang berpendapat jilbab seharusnya tidak wajib dirundung dan menghadapi kekerasan.
Pada Januari 2022, Nisa Alwis, seorang ulama yang membantu mengelola pesantren keluarganya di Pandeglang, Provinsi Banten, menulis di halaman Facebook-nya, “Di antara hoax terbesar abad ini adalah ajaran bahwa terlihat rambut itu tidak sopan, bahwa rambut wanita menarik manusia masuk neraka. #enough😌 Tidak perlu berlebihan. Wajar-wajar saja, kasihan anak cucu kita.”
Alwis mengatakan sejak saat itu dia sering menerima pesan di halaman Facebook-nya yang merundung dan mengintimidasinya.
Kurangnya Pertanggungjawaban Staf atas Kekerasan di Sekolah
Pada tahun 2021, setelah Human Rights Watch menerbitkan laporannya tentang penderitaan yang dialami perempuan dan anak perempuan karena aturan wajib jilbab, Kementerian Pendidikan mengirim pengawas untuk mengunjungi sekolah-sekolah di beberapa provinsi.
Para pengawas membujuk kepala sekolah untuk menurunkan papan reklame sekolah dengan pengumuman wajib jilbab. Pengawas juga meminta para kepala sekolah untuk tidak memaksa siswi memakai jilbab.
Namun, tidak ada kepala sekolah atau guru yang diberi sanksi. Kementerian juga menyiapkan layanan saluran telepon untuk menerima laporan perundungan dan intimidasi.
Pada Januari 2021, di SMKN2 Padang, setelah video jilbab viral dan seorang pengawas sekolah berkunjung, sekolah tersebut berhenti menekan para pelajar beragama Kristen untuk wajib memakai jilbab dan baju lengan panjang.
Video yang diunggah di Facebook tersebut dibuat oleh ayah dari seorang siswi yang bersekolah di sekolah itu.
Video tersebut merekam seorang guru yang menekan sang ayah agar putrinya yang beragama Kristen mengenakan jilbab di sekolah.
Dia bertanya kepada guru, “Ini imbauan atau kewajiban?” Guru menjawab, “Bagi SMK 2, ini adalah kewajiban. Karena sudah tertuang dalam peraturan.” Dia juga mengunggah foto surat sekolah kepadanya yang menyatakan bahwa putrinya perlu memakai jilbab.
Media melaporkan kejadian itu secara luas. Namun para pejabat tidak memberikan sanksi kepada kepala sekolah dan sekolah masih menekan para pelajar perempuan Muslim untuk memakai jilbab.
Pada Februari 2019, di SMPN8 Yogyakarta, seorang ibu melaporkan sekolah tersebut ke Kantor Ombudsman RI di Jakarta karena kepala sekolah, guru agama Islam, dan siswa lainnya telah secara rutin merundung putrinya untuk memakai jilbab.
Kantor Ombudsman mengirim seorang peninjau dan meminta sekolah untuk mengakhiri praktik kekerasan tersebut.
Siswi itu diperbolehkan untuk tidak memakai jilbab. Dia menjadi satu-satunya siswi muslim yang tidak memakai jilbab di sekolah itu. Namun tidak ada sanksi yang diberikan kepada pihak sekolah.
Seorang guru piano berusia 29 tahun di sebuah sekolah negeri di Bantul, Yogyakarta, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa dia secara bertahap mengatasi rasa sakit fisik dan psikologis yang mendalam akibat aturan jilbab itu.
Dia tidak lagi harus memakai jilbab setelah pengawas sekolah mengunjungi sekolah pada April 2021. Tetapi Kementerian Pendidikan tidak memberi sanksi kepada kepala sekolah atau staf sekolah lain yang dia klaim merundungnya.
Beberapa penyintas wajib jilbab ini telah mendirikan Forum bulanan bagi Penyintas Perundungan dan Intimidasi Jilbab untuk mendengarkan korban lain dan berbagi pengalaman mereka sendiri.
Mereka berdiskusi bagaimana mengatasi trauma psikologis mereka dan mendapatkan kepercayaan diri untuk berjuang dan mengadvokasi reformasi yang menghormati hak-hak.
Yang lainnya memakai pakaian tradisional sebagai bentuk protes terhadap aturan wajib jilbab dan sebagai cara untuk melestarikan budaya Indonesia. (*)