Laduni.ID, Jakarta – Banyak kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual yang sengaja “dipaksa” ditutup-tutupi, atau dipaksa damai, semata-mata untuk menutup “aib” karena pelakunya adalah tokoh agama atau tokoh masyarakat. Sementara di sisi lain, kita melihat beberapa masyarakat yang menyeret, mengarak, mengungkap orang-orang yang “baru diduga” melakukakan perzinaan.
Fakta seperti ini, hakikatnya adalah pembalikan ajaran agama, karena seharusnya adalah sebaliknya. Akibatnya, kekerasan (seksual) terhadap perempuan terus berulang, karena pelakunya tidak tersentuh hukum.
Pada masa Nabi Muhammad SAW, banyak perempuan yang berani menyuarakan kasus kekerasan (seksual) yang dialaminya, sekalipun harus melawan tuduhan “aib” dari masyarakat. Sejumlah tokoh perempuan di masa Nabi yang berani menyuarakan dengan lantang penolakan terhadap kekerasan seksual perempuan antara lain:
1. Huwailah binti Tsa’labah
Ia adalah sosok perempuan yang menarik di usia muda. Menikah dengan laki-laki bernama Aus bin Shamit. Perjalanan hidup sebagai suami-istri pun telah dijalani dalam waktu yang panjang dan anak-anak telah dilahirkan dari rahimnya.
Menjelang usia senja, ketika kecantikan Huwailah telah dimakan usia, rahimnya tak sesubur sebelumnya, tak lagi ada anak yang bisa dilahirkan, dan tulang-tulangnya telah rapuh. Tak dinyana, tiba-tiba Huwailah diceraikan dengan cara dhihar, oleh suaminya.
Huwailah tidak terima, akhinya ia mengadukan kepada Nabi Muhammad SAW. Tidak “puas” dengan jawaban Nabi, Huwailah mengadukannya pada Allah SWT. Akhirnya, turunlah ayat pertama dalam surat Al-Mujadilah, yang memberikan solusi kasus Huwailah. Bahkan surat itu kemudian diberi nama Al-Mujadilah (perempuan yang berani bersuara/berdebat) untuk mengabadikan perjuangannya menemukan keadilan.
2. Musaikah
Ia adalah budak dari seorang munafik ternama, Abdullah Ubai bin Salul. Ubai bin Salul memaksanya untuk melacur, dan meyewakannya pada laki-laki untuk mendapat keuntuangan ekonomi. Suatu hari Musaikah dipaksa untuk melacur, dari melacur itu ia membawa uang satu dirham atau sehelai surban. Ubai bin Salul marah dan memaksanya untuk melacur lagi, karena hasilnya kurang banyak.
Mendapat perlakukan yang sangat keji dan tidak adil itu, akhirnya Musaikah mengadukannya kepada Nabi. Lalu, turunlah ayat 33 Surat An-Nur.
“Janganlah engkau paksa budak-budakmu melakukan pelacuran…”.
Ayat tersebut turun karena keberanian Musikah untuk bersuara atas ketidakadilan dan kekerasan seksual atasnya.
3. Jamilah
Ia adalah satu gadis yang termasuk dalam golongan orang perempuan yang dinikahkan “secara paksa” oleh orang tua laki-lakinya. Setelah dipertemukan dengan suaminya, Jamilah menolaknya. Jamilah menyatakan bahwa ia menolak bukan karena agama dan ahlaknya, melainkan karena ia takut tidak bisa berbuat patuh sama suaminya. Karena suami yang akan dijodohkannya itu “sangat-sangat hitam”, “sangat pendek”, dan “buruk wajahnya”. Jamilah khawatir tidak sabar, dan kemudian durhaka pada suami.
Akhirnya ia mengadukan pada Nabi Muhammad SAW. Mendengar aduan itu, nabi memerintahkan kepada ayahnya agar mas kawin dikembalikan, dan Jamilah pun dipisahkan dari suaminya. Dan inilah khulu’ (cerai gugat pertama dalam Islam) yang juga lahir dari keberanian perempuan untuk menolak.
4. Organisasi perempuan (tidak disebut nama-namanya) karena banyak perempuan tergabung
Kisah ini dimulai dari perintah Nabi, “Janganlah kalian pernah memukul hamba-hamba Allah, termasuk istri-istri”. Setelah adanya sabda ini, Umar Bin Khattab menghadap nabi, mengadu karena banyak perempuan yang telah berani dan kasar pada suaminya berlandaskan sabda tersebut.
Akhirnya, nabi bersabda sebaliknya, “Pukullah istri-istrinya”. Setelah sabda kedua ini, ada “banyak perempuan” yang mengelilingi rumah keluarga Nabi, dan menyerukan bahwa suami-suami mereka kembali memukul istrinya. Bahasa sekarang demonstarsi emak-emak. Akhirnya Nabi bersabda, “suami yang memukul istrinya bukanlah suami terbaik”. Mungkin banyak yang mengernyitkan dahi mendengar kisah ini, tetapi demikianlah cara nabi dalam mendidik umatnya secara adil.
5. Kisah seorang perempuan dalam Hadis Nabi
Dalam sebuah hadis, dikisahkan sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا سَعِيدٌ، أَخْبَرَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ، عَنْ أَبِي الضُّحَى، قَالَ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَتْ: إِنِّي زَنَيْتُ فَرَدَّدَهَا حَتَّى أَقَرَّتْ أَوْ شَهِدَتْ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ أَمَرَ بِرَجْمِهَا فَقَالَ لَهُ عَلِيٌّ: “سَلْهَا مَا زِنَاهَا فَلَعَلَّ لَهَا عُذْرًا؟” فَسَأَلَهَا، فَقَالَتْ: إِنِّي خَرَجْتُ فِي إِبِلِ أَهْلِي، وَلَنَا خَلِيطٌ، فَخَرَجَ فِي إِبِلِهِ فَحَمَلْتُ مَعِي مَاءً، وَلَمْ يَكُنْ فِي إِبِلِي لَبَنٌ، وَحَمَلَ خَلِيطِي مَاءً، وَمَعَهُ فِي إِبِلِهِ لَبَنٌ، فَنَفِدَ مَائِي فَاسْتَسْقَيْتُهُ، فَأَبَى أَنْ يَسْقِيَنِي حَتَّى أُمْكِنَهُ مِنْ نَفْسِي، فَأَبَيْتُ، فَلَمَّا كَادَتْ نَفْسِي تَخْرُجُ أَمْكَنْتُهُ، فَقَالَ عَلِيٌّ: ” اللَّهُ أَكْبَرُ، أَرَى لَهَا عُذْرًا (فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ) [البقرة: 173] ” فَخَلَّى سَبِيلَهَا
Dikabarkan dari Sa’id, dari Abu ‘Awanah, dari Abi Bisyr, dari Abi Dhuha yang bercerita, “Ada Seorang perempuan menghadap Khalifah Umar dan mengaku dengan 4 pernyataan bahwa ia telah melakukan perzinaan. Sang Khalifah kemudian merintahkan agar perempuan itu dirajam. Saat itu kebetulan ada Sayyidina Aly ra. Ali menasehati Umar ra. agar tidak tergesa-gesa mengambil keputusan, siapa tahu perempuan itu memiliki alasan kuat kenapa melakukan perzinaan. Akhirnya Umar ra. menyelidik, lalu perempuan itu bercerita, “bahwa di suatu hari ia keluar rumah bersama unta milik keluarga, dan bersamanya kawan perjalanan, ia membawa air, namun tidak ada susu di untanya, sementara kawannya membawa air dan membawa susu. Akhirnya airnya habis. Ketika haus, ia meminta air kepada kawannya dan ditolaknya, kecuali menyerahkan tubuhnya. Ia menolak, namun ketika haus hampir mencabut nyawanya, akhirnya ia menyerahkan tubuhnya untuk mendapatkan air. Mendengar cerita perempuan ini, Sayyidina Ali berteriak, “Allahu Akbar!”. Ali kemudia mengatakan, “perempuan ini memiliki alasan kuat kenapa ia melakukan itu sebagaimana dalam ayat (Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.…)”. Akhirnya Sayyidina Umar membebaskan “jalan perempuan itu”.”
Allahu Akbar! Inilah antara lain, suara-suara perempuan yang berani menyuarakan ketidakadilan dan kekerasan seksual atas tubuhnya. Jadi, jika perempuan saat ini takut menyuarakannya, maka perlu didorong agar segera berani bersuara, karena telah dicontohkan oleh perempuan-perempuan hebat di zaman Nabi Muhammad SAW. Dan mengenai hal ini, sepertinya Buya Husein Muhammad bisa menambahkan nama-nama lain, sebab beliau sangat kaya dengan referensi tentang pembahasan tersebut. Wallahu A’lam. []
Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 15 Maret 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
___________
Penulis: Imam Nakhai (Anggota Komnas Perempuan dan Pengajar di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukerojo, Situbondo, Jawa Timur)
Editor: Hakim