Perjalanan Menjelajahi Toko Kitab Legendaris di Surabaya, Salim Nabhan dan Ahmad Nabhan

Rabu (09/10) penulis bertandang ke Surabaya bersama famili untuk menghadiri suatu acara. Mumpung berada di ibukota provinsi Jawa Timur tersebut, penulis berkesempatan mengunjungi beberapa tempat yang menjadi dambaan hati sebagai pengkaji sejarah dan turots Ulama’ Nusantara. Ya, toko kitab legendaris Salim Nabhan dan Ahmad Nabhan.

Beberapa ulama’ nusantara sering kali menerbitkan karyanya dengan bahasa Jawa dan Madura beraksara Arab-Pegon di kedua percetakan ini. Pada mulanya, menurut penuturan Hamid Nabhan sebagai generasi ketiga pengelola toko kitab Salim Nabhan, kedua toko kitab ini merupakan satu toko kitab besar milik keluarga Bin Nabhan yang berdiri sejak tahun 1908. Semenjak ayah Syekh Salim Nabhan yang bernama Saad Nabhan ini berpulang, maka Syekh Salim Nabhan dan saudaranya Ahmad Nabhan mendirikan toko kitab dan percetakannya secara independen, sendiri-sendiri.

Menurut penuturan salah satu pegawai toko kitab Salim Nabhan, dalam sistem manajemen sekarang fokus utama yang mereka garap adalah menerbitkan kitab-kitab risalah kecil yang biasa digunakan dalam pembelajaran di pesantren dan madrasah diniyah, hal tersebut yang menjadikan percetakan Salim Nabhan hingga kini masih eksis serta dapat melayani pembelian kitab secara grosir atau eceran.

Namun sayang, kondisi toko kitab dan percetakan Ahmad bin Nabhan berbalik berbeda daripada tempo dulu. Kebanyakan yang dijual dalam toko kitab ini adalah kitab-kitab terjemahan dalam bahasa Jawa dan Madura dengan versi cetakan lama serta sistem penjualan kitab dalam toko ini yang hanya diperbolehkan membeli kitab dalam jumlah grosir saja dan tidak melayani penjualan secara eceran.

Baca juga:  Berislam sebagai Pelajar Minoritas di Negeri Kincir Angin

Tentunya kondisi tersebut membuat roda perekonomian Ahmad bin Nabhan agak stagnan dan berbanding jauh dengan Salim Nabhan yang hingga kini terus digandrungi oleh para pembeli dari kalangan santri dikarenakan kondisi kitab dan isi kitab yang selalu diperbaharui, baik itu dari segi sampul kitab maupun tinta kitab yang diperjelas.

Penulis juga bertanya kepada pegawai toko kitab Salim Nabhan tentang bagaimana alur proses masuknya karya-karya ulama nusantara sehingga dapat diterbitkan di sini. Katanya, beberapa karya ulama lokal yang diterbitkan di percetakan ini adalah karena dahulu kala terjalin hubungan harmonis antara Syekh Salim Nabhan dengan beberapa ulama lokal, seperti KH. R. Abdul Majid Tamim Al-Pamekasani, Kiai Zubairi Muncar-Banyuwangi, KH. Misbah Zainal Musthofa, KH. Utsman Al Ishaqi, dan lain-lain, sehingga para ulama tersebut ketika telah menyelesaikan satu kitab, maka keesokannya, makhtutat (manuskrip) kitab tersebut diserahkan kepada Syekh Salim Nabhan untuk dicetak dan segera digunakan dalam proses belajar mengajar.

Berkaitan dengan manuskrip, penulis juga bertanya kepada pegawai toko kitab Salim Nabhan, apakah naskah manuskrip kitab ulama Nusantara yang masih berupa tulisan tangan beliau-beliau sebelum dicetak di percetakan dan toko kitab Salim Nabhan masih ada? beliau menjawab masih ada.

Pada mulanya manuskrip tulisan tangan tersebut disimpan di gudang yang agak jauh dari toko. Berhubung karena dikhawatirkan di sana tidak dirawat dan rawan dimakan rayap, maka naskah-naskah manuskrip tersebut dipindahkan dan disimpan di lantai dua toko kitab ini. Dalam hal ini penulis belum mendapat izin guna mengakses lantai dua toko kitab Salim Nabhan yang berisi manuskrip-manuskrip tersebut.

Baca juga:  Pesantren Minhajut Thullab dan Cikal Bakal NU di Banyuwangi

Pegawai toko kitab Salim Nabhan ini juga menuturkan bahwa keturunan dari beberapa ulama’ ternama tak jarang sering mampir ke toko kitab ini guna menelusuri jejak karya tulis leluhurnya. Sebut saja seperti almarhum K.H. Minanurrohman Al Ishaqi dan K.H. Fathul Arifin Al Ishaqi yang kadang kala mampir ke toko kitab Salim Nabhan guna mencari kitab yang diterjemahkan oleh abahnya, K.H. Utsman al Ishaqi.

Sayang beribu sayang, di balik deretan kitab makna bahasa Jawa dan Madura dengan cetakan baru di toko kitab Salim Nabhan ini, terdapat kisah miris yang mungkin sangat sayang dilewatkan untuk diceritakan. Dikarenakan dahulu beberapa kitab dengan makna bahasa Jawa dan Madura versi cetakan lawas ini tidak segera habis di pasaran, maka oleh Hamid Nabhan sebagai generasi ketiga pemilik toko kitab ini. Kitab-kitab tersebut dijual ke pedagang loakan kertas kiloan agar uang hasil penjualan tadi dapat diputar kembali sebagai modal.

Nah, dari kisah miris tersebut, kita sebagai santri seharusnya lebih gencar lagi menyelamatkan keberadaaan kitab-kitab tersebut. Karena secara tidak dinyana, dengan kita menyelamatkan kitab lawas karya ulama’ nusantara tersebut, kita memiliki andil akan menyelamatkan jati diri bangsa ini yang tentunya kelak patut dibanggakan kepada anak cucu kita. Bahwa sejatinya ulama’ kita tak kalah hebatnya dengan ulama’ Timur Tengah dalam hal menulis kitab. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/aka/perjalanan-menjelajahi-toko-kitab-legendaris-di-surabaya-salim-nabhan-dan-ahmad-nabhan-b249950p/