Awalnya seorang mufasir adalah penjelajah makna-makna kalam yang tidak bertepi hikmahnya. Di sana bukanlah dimensi untuk mengandai-ngandai arti sebuah kalimat basi nan biasa. Kalimat ini datang dari Tuhan, dan menggunakan bahasa Arab. Tidak hanya bahasa yang menjadi pokok persoalan untuk memahami ayat-ayat al-Quran. Tetapi tentu saja, termasuk ilmu-ilmu yang bisa menghantarkan mufasir untuk memahami bahasa Arab, seperti Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Bayani, Badi’, Isytiqoq, dll. Untuk itu, ulama merumuskan sebuah formula yang di kemudian hari bisa menjadi bekal bagi para calon mufasir dalam menjalani proyek besarnya.
Bekal yang harus dibawa bagi para mufasir memang tidaklah mudah, bahkan pada hakikatnya perangkat yang wajib ada dalam diri mufasir adalah sekumpulan komponen-komponen yang diambil dari ilmu-ilmu yang di luar Al-qu’an itu sendiri. Artinya, bagaimanapun seorang mufasir harus bisa menguasai segala disiplin ilmu. Kendati masih berhubungan dengannya, katakanlah bab Nash, ‘Am dan Khos, Mutlaq dan Muqoyad. Ini semua pada dasarnya adalah sebuah disiplin ilmu mandiri, yang pada giliranya dimasukan kedalam deretan syarat menjadi mufasir, kita kenal dengan Epistemologi Fiqih.
Dalam pembahasan pertama, Syech Nurudin ’Itr di bukunya Ulum al-Quran mengatakan bahwa pada mulanya ulama salaf, mengartikan istilah “Ulum al-Qur’an” sebagai sebuah macam-macam ilmu yang diambil (istimdad ) dari Al qur’an, bisa berupa Ilmu Aqidah, Fiqh, Ahlaq, bahkan sampai ilmu Sains, dan Ilmu Astronomi, itu semua dalam era salaf masih dinamakan dengan Ulum al-Qur’an
Namun seiring berjalanya waktu, sebuah istilah akan berkembang dengan sendirinya, tak terkecuali dengan Ulum al-Qur’an. Ia mengalami spesifikasi makna lebih ketat dari makna sebelumnya, jika yang dulu masih bersifat universal maka dengan makna yang baru, ia lebih ke makna spesifik, yaitu ilmu-ilmu yang meliputi tentang ke-Qur’anan saja. Seperti Ulum Qiroat, Ilmu Rosm Ustmani, Ilmu ‘Ijazul qur’an, dan Ilmu I’rob Al qur’an.
Tidak berhenti di situ, istilah Ulum al-Qur’an akhirnya dimatangkan oleh para ulama mutaakhirin sebagai sebuah nama mandiri bagi satu disiplin ilmu yang mengumpulkan standar ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al qur’an secara universal. Dengan makna terakhir ini ulama mulai menjadikan “Ulum Qur’an” sebagai piranti memahami al-Qu’ran dari segala aspeknya.
Pada babak baru, terciptalah sebuah definisi bagi Ulum al-Qur’an itu sendiri, yaitu sebuah pembahasan-pembahasan universal yang berhubungan dengan al-Qur’an baik dari aspek nuzul-nya, tartibnya, kodifikasinya, tafsirnya, I’jaznya, Nash-Mansukhnya, serta aspek-aspek yang lain.
Dari sinilah genealogi Ulum al-Quran terlihat. Perlahan-lahan ulama mulai memetakan satu persatu definisi, kemudian menjadikanya acuan dalam suatu masa. Tidak mengherankan jika suatu definisi mengalami pergantian dari masa ke masa, bukankah itu sebuah tanda pembaruan? Yang artinya menandakan Islam adalah agama yang menjungjung tinggi Ilmu pengetahuan.
Pada kurun setelahnya, Ulum al-Quran dijadikan sebagai pijakan dalam memahami perihal al- Quran dari aspek yang sudah disebutkan tadi. Dan perlu dibedakan di sini, perbedaan antara memahami sekedar al-Quran dan menafsiri al-Qurannya.
Jika ingin sekedar mendalami seputar al-Quran maka pergilah ke dunia Ulum al-Quran, namun jika masih berani dan lebih penasaran untuk bisa menafsiri al-Quran maka tepatilah syarat-syaratnya. Di antara syaratnya harus memahami 15 fan ilmu sebagaimana Imam Suyuti sebutkan dalam al-Itqon.
https://alif.id/read/arz/perkembangan-definisi-ulum-al-quran-b241560p/