Oleh: Ayung Notonegoro Martajasah adalah nama sebuah desa yang hampir tiap hari dikunjungi oleh para peziarah dari pelosok Nusantara. Nyaris…
Oleh: Ayung Notonegoro
Martajasah adalah nama sebuah desa yang hampir tiap hari dikunjungi oleh para peziarah dari pelosok Nusantara. Nyaris tak pernah sepi dari pengunjung desa yang berada di Kecamatan/ Kabupaten Bangkalan, Madura tersebut. Di desa ini, terbaring jasad seorang waliyullah yang memiliki peran penting dalam proses berdirinya Nahdlatul Ulama; Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Latif al-Bangkalani.
Sebagaimana diketahui, Syaikhona Kholil adalah guru dari banyak pendiri pesantren di Nusantara. Dimana, pesantren dari murid-muridnya tersebut kini menjadi pesantren yang besar-besar di Indonesia. Di Jawa Timur, misalnya, ada PP. Tebuireng yang didirikan KH. Hasyim Asy’ari, PP. Hidayatul Mubtadiin, Lirboyo, Kediri yang didirikan oleh KH. Abd Karim, PP. Kedunglo yang didirikan KH. Makruf Kedunglo Kediri dan juga PP. Salafiyah Syafi’iyah Situbondo yang berkembang pesat semenjak dipimpin oleh KH. As’ad Syamsul Arifin. Semua nama-nama itu, adalah sederet santri Syaikhona Kholil. Belum lagi di berbagai belahan Nusantara lainnya.
Tak ayal ketika KH. Hasyim Asy’ari bersama para kiai pesantren lainnya se Jawa Madura berkumpul hendak mendirikan Nahdlatul Ulama, restu dari Syaikhona Kholil adalah hal penting yang harus diraih terlebih dahulu. Beberapa perlambang telah dikirimkan oleh Syaikhona Kholil kepada Kiai Hasyim sebagai restu untuk mendirikan NU beberapa waktu sebelumnya. Sayangnya, Syaikhona pulang kehadirat Allah SWT terlebih dahulu sebelum NU berdiri (w. 1924).
Peran spiritual dari Syaikhona dalam proses berdirinya NU itulah yang coba diharapkan kembali dalam pertemuan di Martajasah pada Kamis kemarin (25/11/2021). Satu hari penuh, para penggiat filologi pesantren – dalam artian para pecinta, pengkaji dan kolektor karya-karya ulama pesantren – berkumpul. Melakukan sejumlah pembicaraan untuk menyatukan gerak dalam rangka membangkitkan kembali khazanah turots tempo dulu pesantren di Indonesia.
Pertemuan tersebut diinisiasi oleh Lajnah Turots Syaikhona Kholil Bangkalan. Lajnah ini adalah lembaga yang melakukan penelusuran, penelitian, penyuntingan sampai penerbitan atas sejumlah manuskrip dan cetak tua karya Syaikhona Kholil. Kemudian juga disupport oleh PW LTN NU Jawa Timur. Sebuah lembaga di bawah naungan NU yang bergerak dalam dunia literasi.
Para undangan yang hadir adalah para pegiat – kolektor, pecinta, pengkaji – dari karya ulama Nusantara. Baik perorangan, pesantren, maupun komunitas tertentu. Di antaranya ada Kiai Mujab Mashudi, Ajengan Ginanjar Syaban dari Islam Nusantara Center, Kiai Nanal dari Turots Ulama Nusantara, Gus Mirza dari Lajnah Turots Tebuireng, Gus Ichwan dari Komunitas Pecinta Kiai Sholeh Darat (KOPISODA), Gus Doktor Ibnu Fikri dan Gus Syafiq yang rajin mengumpulkan karya ulama Kaliwungu dan sekitarnya, Lorah Habibullah dari Padepokan Raden Umroh Pamekasan dan rombongan dari Pesantren Qomarudin Gresik yang mana keduanya merupakan pewaris ratusan manuskrip karya ulama terdahulu.
Sebagai seseorang yang turut berkhidmat di jalur yang sama melalui Komunitas Pegon, saya juga tergerak untuk hadir dalam Pertemuan Martajasah tersebut. Selain tabarukkan kepada Syaikhona Kholil, juga bertujuan untuk kopdar dengan sesama pecinta karya ulama Nusantara lainnya. Siapa tahu ada informasi menarik yang dapat disharing dalam pertemuan itu.
Harapan yang saya bawa sejak berangkat dari Banyuwangi itu, membuahkan hasil. Di antaranya adalah menemukan karya ulama Banyuwangi yang kini masih eksis di Kaliwungu. Untuk hal ini, akan saya ceritakan di lain kesempatan.
***
Saat diminta urun rembug dalam acara tersebut, ada beberapa hal yang saya kemukakan berdasarkan pengalaman dalam berkhidmat di Komunitas Pegon lebih dari empat tahun belakangan ini. Hal pertama yang saya usulkan adalah memperjelas termenologi dan ruang lingkup “filologi pesantren” yang sedang menjadi bahasan tersebut.
Tentu saja, kata filologi ini sudah menjadi istilah baku dengan seperangkat metodologi ilmiahnya yang tak bisa dipakai serampangan. Konsekuensi ilmiah dari penggunaan istilah tersebut mau tak mau harus diperhatikan secara serius oleh kalangan pegiat pesantren. Mungkin tak harus belajar secara khusus di bangku kuliah, tapi paling tidak harus ada short course terstruktur yang dapat meningkatkan kapasitas para pegiat yang nantinya dilabeli “filolog pesantren” tersebut.
Selain itu, tentu saja ruang lingkup dari turots pesantren itu sendiri. Hal yang akan menjadi obyek atau sasaran dari gerakan ini, juga patut untuk dirumuskan. Apa saja yang dikumpulkan, dikaji dan seterusnya dari para ulama pesantren tersebut.
Dalam hal ini, saya mengusulkan empat bagian yang perlu mendapatkan perhatian serius dari ruang lingkup yang akan ditetapkan nantinya:
Pertama, tentunya yang berbentuk manuskrip. Akan tetapi, tidak sebatas manuskrip yang mengajarkan keislaman ansich sebagaimana yang ditemui di pesantren hari ini. Namun, juga manuskrip lain yang terlanjur berjarak dengan pesantren. Seperti halnya babad dan beragam kasusasteraan Jawa yang notabane-nya juga karya ulama pesantren yang berkembang jauh sebelumnya. Seperti halnya di Madura yang banyak berkembang di tengah masyarakat adalah Cator Maljunah, Serat Yusup, Putri Koneng, Layang Anbiya, Serat Mi’raj dan lain sebagainya. Yang mana, naskah-naskah kuno yang terakhir ini, tak melulu menggunakan aksara Hijaiyah ataupun Pegon yang populer di kalangan santri. Tapi, ada pula yang memakai aksara Jawa, Bali, Lontarak dan lainnya.
Kedua, cetak tua. Yaitu, sebuah karya dari ulama Nusantara yang pernah diterbitkan. Namun, pada waktu silam yang kini sudah sulit untuk ditemukan kembali terbitannya. Keberadaan dari cetak tua ini, dalam kondisi yang amat langka itu, positioningnya sudah seperti manuskrip. Patut untuk dilestarikan. Dalam hal ini, saya mengusulkan untuk memperluasnya.
Tidak hanya yang karya murni berupa tulisan langsung, penerjemahan maupun saduran. Tapi, juga sejumlah karya berupa pemberian makna gandul dari beragam kitab berbahasa Arab ke beragam bahasa daerah. Seperti halnya Kiai Abdul Madjid Tamim dari Madura (tinggal di Jember). Beliau banyak memberikan makna gandul berbahasa Madura pada teks-teks kitab berbahasa Arab seperti Fathul Mu’in dan lainnya. Lalu, kitab bermakna gandul tersebut diterbitkan dan diperjualbelikan secara luas. Jika bagian ini juga tak turut menjadi perhatian, jangan heran jika kelak kita harus datang ke Shopia University saat kita hendak mencarinya. Karena kampus di Jepang itu, telah mengkoleksinya dan bahkan menerbitkan katalognya secara khusus.
Ketiga, adalah tradisi parateks. Di pesantren sangat lekat tradisi maknani atau ngalogat dalam istilah santri Sunda. Dari tradisi ini, membentuk kebiasaan dari para kiai ataupun santri untuk mencatatkan hal-hal penting di dalam kitab yang sedang dibacanya. Baik yang berkaitan secara langsung dengan isi kitab ataupun tidak. Yang berkaitan secara langsung misalnya tentang pemaknaan ataupun penjelasan khusus dari sebuah teks kitab – semacam penafsiran ataupun kontekstualisasi pada fenomena zaman tertentu. Kadang juga memuat sanad dari kitab yang sedang dibaca tersebut juga kapan bermula dan berakhirnya mengajinya. Sedangkan informasi tak langsung adalah catatan akan suatu peristiwa penting. Seperti berita kelahiran, wafat, sampai pertemuan-pertemuan penting. Hal ini, menjadi tambang informasi yang berguna untuk menyusun biografi dari para ulama kita, yang tak bisa dipungkiri, sangat minim sekali meninggalkan jejak pada sumber tertulis. Parateks demikian bisa ditemukan di kitab apapun selama itu peninggalan dari kiai atau santri tempo dulu.
Keempat, juga harus memperhatikan arsip dan karya-karya para ulama yang juga ditulis dalam aksara Latin. Tak bisa dipungkiri jika kita tinggal di Indonesia yang hingga kini menggunakan aksara Latin. Jadi, besar kemungkinan ada banyak karya ulama Nusantara yang ditulis menggunakan aksara Latin. Selain diterbitkan secara khusus, kadang juga ditemukan dalam media massa yang terbit sezaman. Ini patut dikliping!
Lebih dari itu, tindak lanjut yang tak kalah pentingnya untuk diupayakan pasca pertemuan tersebut adalah membentuk asosiasi atau forum komunikasi antar para pegiat. Apa yang kita lakukan di masing-masing daerah tak ubahnya mengumpulkan potongan puzzle. Potongan itu terserak di berbagai penjuru Nusantara, bahkan dunia. Semakin banyak orang yang tergerak, tentu akan semakin banyak puzzle yang dikumpulkan. Dan semakin terkoneksi satu sama lain, puzzle-puzzle tersebut akan semakin cepat tersusun dan memberikan potongan informasi yang utuh. Di sinilah peran forum komunikasi ini menjadi sangat penting.
Untuk semakin mempercepat hal tersebut, tentu saja perlu adanya data base bersama yang bisa diakses dengan mudah. Baik untuk menginputnya atau menggunakannya. Sehingga seluruh potongan data yang terkumpul oleh masing-masing pegiat akan menjadi big data yang terkoneksi satu sama lain. Jika ini terwujud, tentu masa depan kajian keislaman Nusantara maupun historiografinya akan bersinar cerah.
Waba’du, semoga Pertemuan Martajasah ini, benar-benar menjadi miqat dalam menggalang kebangkitan turots ulama Nusantara. Tercapai semua yang dicita-citakan. Semoga. Amin!