Pesan Utama Gus Ulil, Misi PBNU di Kancah Global dan Perlunya Kiai Mufakkir

“Kita perlu kiai mufakkir (pemikir). Belum ada kiai/ulama Indonesia dari latar belakang Nahdlatul Ulama (NU) yang setara dengan Syekh Wahbah az-Zuhaili, Syekh Said Ramadhan al-Buthi, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Abu Bakar al-Murad dalam percakapan di dunia global”

Kira-kita begitu ucap Gus Ulil dalam membuka pemateriannya di halaqah fikih peradaban di Nurul Jadid, Ahad (02/10) lalu. Pada forum tersebut, setidaknya ada dua tokoh perwakilan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menjadi pembicara, yakni Kiai Afifuddin Muhaadjir selaku Rais Syuriah PBNU dan Gus Ulil Abshar Abdalla selaku ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PBNU. Gus Yahya sendiri, yang digadang-digadang akan hadir ternyata tidak hadir dikarenakan ada udzur.

Gus Ulil menyebutkan bahwa, ide halaqah fikih peradaban adalah ide murni dari Gus Cholil Yahya Staquf, bahkan semenjak beliau belum terpilih sebagai ketua umum PBNU pada 2019 lalu. Ide ini tidak ada intervensi orang lain. Maksud dan tujuan dari adanya halaqah fikih peradaban yang diselenggarakan oleh PBNU adalah para ulama nusantara ikut andil dalam percakapan global.

Kiai Pemikir Dan Misi PBNU Di Dunia Global

Setidaknya, dalam ulasan penulis, ada dua pesan utama yang disampaikan oleh Gus Ulil. Yang pertama adalah perlunya kiai Mufakkir (pemikir) yang ikut andil dan berpengaruh dari kalangan Indonesia, utamanya dari kalangan NU dalam percakapan dunia Islam di kancah global.

Rencananya, tahun depan saat NU genap berusia seratus tahun dalam rangkaian peringatan 1 Abad NU, akan ada muktamar Internasional yang akan diselenggarakan di Jakarta. Dalam muktamar internasional yang mengundang tokoh-tokoh berpengaruh di dunia itu, akan diadakan halaqah dan diskusi tentang fikih muhadhoroh (fikih peradaban).

Baca juga:  Menghormati Tamu: Antara Orang Madura dan Gus Dur

Nah, untuk memperkaya kajian dan diskusi pada acara tersebut, PBNU ingin mengajak seluruh kiai di nusantara untuk menyumbang gagasan dan pemikiran soal masa depan NU dan fikih hadharah (peradaban) dalam percakapan di dunia global.

Jadi, kata kunci PBNU di masa Gus Yahya ini adalah fikih peradaban. Sedangkan di masa Kiai Said Aqil adalah Islam Nusantara. Fikih peradaban ini hanyalah fase berikutnya dari gagasan dan wawasan Islam Nusantara yang diperjuangkan oleh Kiai Said. Praktik beragama Islam di Indonesia harus diberi nama dan pada masa Gus Yahya sekarang ini, pengalaman beragama ini akan dibawa dalam kancah dunia internasional.

Karena selama ini, ada pandangan/mindset -meski tidak diucapkan secara langsung-, bahwa muslim di Indonesia adalah muslim kelas dua. Artinya, praktik, literatur dan para ulama-masyarakat muslim di Indonesia kurang mendapat perhatian cukup serius. Dianggap bukan rujukan Islam murni karena tidak berbahasa arab.

Contoh kecilnya saja, buku “Fiqih Tata Negara” karya Kiai Afifuddin Muhadjir tidak bisa dijadikan rujukan fikih politik di dunia Islam, karena tidak berbahasa arab (kitab kuning). Karya itu hanya sekedar buku saja meski yang mengarang adalah sosok sekelas Kiai Afifuddin Muhadjir.

Padahal ini persoalan bahasa saja. Ulama-ulama Indonesia yang mengarang dalam bahasa Indonesia, jawa, betawi dan lain sebagainya, ‘tidak dianggap’ sebagai referensi dalam dunia Islam dikarenakan persoalan bahasa. Seolah-olah, bahasa Indonesia, jawa, betawi, dll itu tidak bisa dijadikan sumber rujukan dan lain sebagainya.

Baca juga:  Mo Salah, Bukan Sekadar Pesepakbola Biasa  

Padahal, banyak sekali ulama kita yang menyamai bahkan melampaui soal gagasan, pemikiran dan wawasan keagamaan ulama-ulama timur tengah. Bahkan, Gus Ulil mengatakan bahwa keilmuan Kiai Afif itu melebihi Syekh Wahbah az-Zuhaili.

Karena menurut Gus Ulil, kita ini perlu banyak ngomong. Meski etos yang  berlaku dan diajarkan di pesantren adalah untuk lebih banyak diam, tapi etos ini perlu ditinjau kembali. Karena kalau orang awam didekati dengan pendekatan lebih banyak diam, khumul atau tidak menampakkan diri (baca: ilmu hakikat dalam dunia tasawuf), oleh orang awam (bangsa-bangsa luar) yang tidak tahu pada kita (NU) akan menganggap kita (NU) tiada.

Menurut Gus Ulil, kita ingin orang-orang seperti Kiai Afifuddin Muhadjir yang notabene adalah kiai mufakkir juga dihormati dan dikenal di kancah global. Jadi, misi utama fikih peradaban ini adalah global oriented. Berbeda dengan Islam Nusantara, yakni domestic oriented.

Yang jadi pemasalahan selanjutnya dalam ikut andil dalam percakapan global ini, kita tidak cukup hanya mempelajari kitab kuning atau turots para ulama terdahulu. Menurut Gus Ulil, kita perlu mempelajari ilmu-ilmu lain (adawat-adawat) untuk mengkonteksualisasikan apa-apa yang ada di turots pada era yang sangat berbeda dan berubah daripada era dikarang kitab-kitab tersebut.

Tak hanya soal ilmu-ilmu lain yang mendukung kontekstualisasi kitab kuning, tapi yang perlu kita revitalisasi adalah makna dari turots itu sendiri. Turots tidak hanya kitab-kitab yang berisi materi fikih saja. Turots fikih adalah satu dari sekian banyak peninggalan dan warisan ulama kita.

Baca juga:  Alissa Wahid Sudah Ngabdurahman

Setidaknya menurut Gus Ulil, ada tiga jenis turots yang perlu dipelajari oleh kalangan pesantren untuk dikaji secara mendalam dan serius, yakni turots kalami, turots shufi, turots nusantarawi.

  1. Turots kalami (teologi) merupakan kitab-kitab yang menjelaskan persoalan keagamaan dengan pendekatan rasional sekali. Contoh yang sederhana dan basic sekali adalah, di pembahasan awal ilmu kalam, yakni tentang al-ahkam al-aqliyah (hukum-hukum akal) yang ada tiga. Wajib, jaiz dan mustahil.
  2. Turots shufi (tasawuf). Mayoritas di pesantren, turots-turots atau kitab-kitab tasawuf di pesantren yang dipelajari adalah kitab tasawuf yang bersifat tasawuf akhlaki saja, bukan kitab tasawuf falsafi. Contoh kecilnya adalah orang pesantren lebih mengenal kitab ihya’ ulumuddin yang notabene adalah kitab tasawuf praktis dan terapan, daripada kitab misykat al-anwar yang bernuansa tasawuf falsafi. Padahal ke dua kitab tersebut sama-sama karangan ulama besar, yakni al-Imam al-Ghazali.
  3. Turots nusantarawi atau kitab-kitab peninggalan ulama nusatara. Diantara contoh kitab peninggalan ulama nusantara adalah kitab ad-durrun nafis karya Syekh Nafis al-Banjari atau kitab tarjumanul mustafid karya Syekh Abdurrouf Assingkili yang merupakan kitab tafsir pertama di Indonesia pada abad 17.

*Catatan singkat hasil pematerian Gus Ulil Abshar Abdalla di halaqah fikih peradaban di Nurul Jadid.

https://alif.id/read/ahal/pesan-utama-gus-ulil-misi-pbnu-di-kancah-global-dan-perlunya-kiai-mufakkir-b245871p/