Pesantren, Ilmu Hikmah, dan Perdukunan (1): Pesantren, Jawa, dan Ortodoksi Islam

Pesantren dalam tradisi Jawa merupakan tiang berkembangnya dakwah Islam ala Nusantara yang disebarkan oleh para wali dengan damai, sejuk dan tidak menggunakan cara-cara ekstrim. Pesantren di era sekarang menjadi tempat pilihan utama bagi para orang tua untuk menitipkan anaknya agar belajar agama dan kehidupan dengan fokus. Sampai saat ini pesantren terus mengembangkan santrinya dengan membentuk kader-kader yang militan untuk menjadi orang yang bermanfaat untuk masyarakat secara umum.

Utamanya, pesantren sudah memberikan kontribusi yang sangat besar untuk perkembangan bangsa Indonesia dalam hal melestarikan kultur berislam ala Indonesia. Kontribusi itu berkaitan dengan doktrin dan ajaran yang tertulis dalam literatur keislaman yang meresap dalam sendi-sendi kehidupan sehingga bisa mendorong dalam bersikap bijak di tengah masyarakat. pada saat itu juga mestinya dengan bersamaan tetap melestarikan tradisi.

Apabila kita berbicara soal pesantren maka tidak dapat dilepaskan dengan “Jawa, Islamisasi dan Kebudayaan”. Beberapa peneliti zaman baheula semisal Raffles, Snouk Hurgronje dan lainya mendefinisikan bahwa Islam di Jawa adalah pertunjukan kompromi budaya dengan kenyakinan. Dalam bahasa lain, Islam di Jawa bukanlah Islam yang murni karena sudah bermesraan dengan budaya Jawa.

Meskipun banyak perdebatan dengan definisi Islam yang murni itu seperti apa, sejauh ini perlu diakui bahwa kajian Islam Jawa sangat dipengaruhi dengan sufisme dan tradisi Jawa yang berkembang pada saat itu. Penyebar agama Islam di Jawa yaitu para walisongo memiliki cara unik dalam mengislamisasi masyarakat Jawa yang kental dengan mistis, klenik, kesaktian dan kekebalan dengan mengawinkan ajaran sufisme, tarekat dalam Islam dan keyakinan mistisme Jawa.

Baca juga:  Kisah Abu Hatim Ar-Razi Menjual Bajunya Agar Dapat Menuntut Ilmu

Salah satu ulama dari kalangan Islam Tradisional, Gus Muwafiq pernah mengatakan dalam salah satu ceramahnya bahwa adanya pesantren di kalangan Islam sekarang adalah salah satu warisan dari agama Hindu Budha yang ada di Jawa. Fungsi pesantren dulu adalah ruang pengkaderan masyarakat Jawa untuk membentuk generasi yang lebih baik. Kemudian dengan datangnya Walisongo fungsi pesantren tetap menjadi ruang pengkaderan namun dibentuk dengan dimensi dan ruh yang berbeda.

Artinya, Islamisasi yang dilakukan oleh Walisongo sangat unik, mereka tidak mengubah, menghilangkan dan mengganti tradisi di Jawa melainkan memodifikasi tradisi yang ada agar tidak bertentangan dengan Syari’at Islam.

Beberapa pakar biasanya menyebut bahwa Islam di Jawa berhasil menjadi baju masyarakat yang dikenakan sehari-hari tanpa meninggalkan orisinalitas nilai-nilai kebudayaan Jawa. Begitupun dengan dunia mistis yang berkembang di Jawa juga membekas dalam praktik keagamaan di pesantren tradisional. Dalam sejarah disebutkan puncaknya proses Islamisasi di Indonesia pada abad ke-16 hingga ke-18 tentu saja hal itu bersamaan dengan momentum ortodoksi Islam global.

Pada saat itu dunia Islam memang sedang bermesraan dengan suasana Islam yang bercorak sufistik. Irfan Afifi dalam bukunya Saya, Jawa dan Islam mengatakan ketika Mongol menyerang kekhalifahan Islam di Baghdad pada abad ke-13 dan jatuhlah kerajaan Islam pada saat itu (Afifi, 2019).

Baca juga:  Inilah Bekal Imam Ghazali saat Uzlah dan Menulis Kitab

Setelah jatuhnya kekhalifahan, pemahaman sufistik Islam menjadi gerakan besar yang melemahkan peradaban dan malah menjadi garda terdepan dalam penyebaran agama Islam secara damai ke seluruh penjuru dunia. Faham sufisme kemudian menjadi gerakan yang populer dan mudah diterima oleh masyarakat, terutama kawasan Nusantara. Proses Islamisasi Nusantara yang paling rasional adalah konsep tersebarnya faham sufistik tersebut yang dibawa oleh serikat-serikat sekerja atau guild yang berafiliasi dengan perkumpulan tarekat-tarekat yang menyebarkan agama ke Nusantara. Argumen ini tentu saja bertolak belakang dengan pandangan peneliti yang menyebutkan bahwa kedatangan Islam ke Nusantara (dalam hal ini Jawa) dibawa oleh kelompok pedagang yang berbaju Islam.

Pertanyaan tersebut tentunya sangat mudah kita afirmasi karena ditemukan beberapa naskah atau literatur keislaman peninggalan zaman Islamisasi memang bercorak mistik, mistisme, sufistik yang khas dengan ajaran tasawuf di Timur. Ahmad Baso salah satu pemikir di kalangan Nahdlatul Ulama mengatakan bahwa corak Islamisasi yang dikembangkan di Nusantara (Jawa) adalah perdamian “sufi” dari pada Islamisasi yang melibatkan peperangan atau berebut kekuasaan (Afifi, 2019). Ia juga mengatakan para tarekat tersebut kebanyakan berasal dari jaringan Ahlul Bait keturunan Rasulallah atau biasa dikenal dengan Alawiyyin yang berangkat dari Timur, Gujarat, Champa, Pasai hingga Jawa. Kelompok tersebut dalam perkembangan zaman dikenal sebagai syaikh, wali, sunan dalam kelompok walisongo.

Baca juga:  Meneng (Diam)

Karakter dakwah yang dibawakan sangat lentur, damai, sejuk dan ramah dalam menyikapi persoalan budaya. Konsep sufisme bisa merasuk dengan baik terhadap masyarakat Nusantara dengan mudah. Masyarakat dibuat nyaman oleh para pendakwah karena mereka tidak ada tekad untuk merubah praktik kebudayaan masyarakat, melainkan lebih menyuntikkan pandangan soal Islam ke adat istiadat masyarakat Nusantara. Beberapa praktik mistisme di Nusantara sedikit-sedikit dirubah dengan nilai sufisme dalam Islam tanpa merubah praktik kebudayaan setempat. Akhirnya beberapa kepercayaan di Nusantara terkesan sama dengan nilai-nilai Islam, namun yang berbeda hanya pada nafasnya saja.

Akhirnya beberapa pandangan mistisme di Jawa kemudian berkembang menjadi wirid, serat, suluk dan babad. Hal ini adalah upaya membentuk kesusastraan Jawa yang baru dalam agenda penyampaian ajaran Islam yang menjunjung tinggi prihal kesempurnaan akhlak para prilaku dan tasawuf dalam pennyucian diri. Maka jangan heran ketika digelar pewayangan para penonton harus masuk dengan kata-kata jimat atau jamus kalimasada (kalimat syahadat) agar diberikan keselamatan. Berhubung Jawa kental dengan dunia mistisnya banyak masyarakat Jawa yang sering diganggu dengan jin, biasanya mereka memiliki aji-ajian tersendiri untuk mengusirnya dengan mantra-mantra Jawa, dalam kasus ini para wali memiliki cara untuk mengusir para jin tersebut dengan mengenalkan bacaan-bacaan Al-Qur’an dan doa-doa yang kemudian terkenal menjadi wirid untuk menolak gangguan jin.

https://alif.id/read/af/pesantren-ilmu-hikmah-dan-perdukunan-1-pesantren-jawa-dan-ortodoksi-islam-b245085p/