Pesantren, Ilmu Hikmah, dan Perdukunan(3): Mendiskusikan Paradigma Ilmu Hikmah dan Perdukunan

Ilmu hikmah dalam kajian Islam menjadi sangat luas apabila disandingkan dengan argumen-argumen beberapa tokoh muslim yang fokus menggelutinya. Setiap tokoh mestinya memiliki dalil favorit tersendiri dalam Al-Qur’an maupun hadis yang sesuai dengan kecenderungan intelektual dan spiritualnya masing-masing. Bagi orang yang mendefinisikan ilmu hikmah sebagai ilmu kanuragan tentu ia sangat suka dengan ayat-ayat yang berkaitan betul dengan hal ghaib dan kejadugan. Begitupun orang yang gemar dengan hal mistik ia akan suka dengan ayat-ayat yang sesuai dengan mistik atau tasawwuf.

Dalam tulisan ini, saya mencoba mendefinisikan ilmu hikmah secara universal menurut berbagai tokoh pemikir muslim. Pengasuh “Ngaji Virtual Ihya” Ulil Abshar Abdalla memberikan pandangan bahwa ilmu hikmah adalah gabungan kata yang tersusun dari “teori dan hasil” artinya, ilmu adalah teori yang harus dipraktikkan dalam ahwal kehidupan. Sementara “hikmah” adalah buah dari pengamalan teori tersebut. Ia mengutip dalam surat Al-Baqarah ayat 269: Bahwa siapa saja yang diberikan hikmah yang melimpah dalam kehidupanya, mestinya ia telah diberikan kebaikan yang melimpah. Cuplikan ayat tersebut apabila diartikan lebih dalam lagi yaitu seorang yang diberikan hikmah ia telah pengarungi kebijaksanaan yang diperlukan dalam menjalankan hidup sehari-hari.

Filsuf besar seperti Ibn Rusyd ia memaknai hikmah dengan filsafat dalam tradisi Yunani. Ia menyandingkan arti dari sophia (kebijaksanaan) dengan kata hikmah dalam bahasa Arab. Dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap orang yang sedang mendalami atau mengamalkan ilmu hikmah sama halnya dengan ia sedang berfilsafat. Ada pendapat yang sejalan yaitu filsuf Iran yakni Mulla Sadra ia menyebutkan bahwa ilmu hikmah adalah ilmu yang diamalkan oleh seorang yang berhasil mendekatkan diri dengan sifat-sifat yang disandang oleh Allah saw.

Baca juga:  Melawan Syahwat dengan Syahwat

Mencermati definisi-definisi di atas dapat dikatakan bahwa ada kecocokan antara pendapat satu dengan pendapat lainya meskipun disampaikan dengan dimensi yang berbeda. Namun pada dasarnya merera tidak bertentangan. Dari sinilah dapat diketahui bahwa ilmu hikmah adalah kebijaksanaan yang muncul dari tindakan-tindakan yang sejalan dengan ilmunya. Tindakan yang tepat, bijak dan sesuai dengan yang dihadapinya. Hal ini dalam dimensi lain juga disebut dengan akhlak yang tinggi, sehingga dengan lantaran akhlak baik tersebut maka akan mendapatkan anugrah atau kebijaksanaan yang melimpah.

Oleh sebab itu di kalangan pesantren tradisional, menganggap kiai sebagai orang yang sangat ditunggu-tunggu do’a dan barokahnya. Sebab kiai pesantren sudah mentransformasikan ilmu menjadi tindakan bijak yang dilakukan setiap hari seingga mereka memiliki kuatitas yang tinggi atau orang Jawa biasa menyebutnya “daya linuwih” atau kelebihan. Jadi tidak heran apabila di beberapa pesantren mempercayai dengan istilah “suwuk, artinya seorang kiai yang telah melakukan ilmunya sepanjang hidupnya ia berhasil dipercaya bisa mengobati, mendo’akan (mudah terkabul) sampai dianggap sebagai wali.

Sayangnya di kemudian hari pandangan masyarakat mengenai ilmu hikmah kian berubah. Masyarakat kini memandang bahwa ilmu hikmah dapat dihasilkan dari lelakon dengan tirakatan seperti puasa pati geni dan lainnya hingga mencapai tingkatan jaduh, kebal atau terlindungi dari kejahatan. Para kiai Jawa terdahulu memang menguasai ilmu hikmah namun tidak digunakan untuk tujuan jadug kebal dan lainya (Maulana & Yuni, 2020). mereka benar-benar mendapatkan hikmah (anugrah/ kebijaksanaan dari Allah) untuk jalanya dakwah. Namun sekarang, seiring berjalanya waktu semua orang (awam atau kiai) bisa mendapatkan ilmu hikmah melalui tirakatan dan amalan tertentu.

Baca juga:  Riwayat Asmara (3): Mahar Berdarah dan Minuman Beracun untuk Sang Ayah

Mereka mengamalkan amalan-amalan dalam kitab Mujarrobat agar mendapatkan pelaris, kebal, jodoh dan lain sebagainya. Beberapa amalan pun ada yang dimasukkan melalui benda-benda atau sekarang biasa disebut azimat, rajah dll. Benda tersebut bisa digunakan untuk apa saja tergantung penggunaanya. Masyarakat mempercayai hal tersebut misalnya untuk kebal, pelaris dan keamanan. Beberapa pengamal amalan tersebut biasanya membuka praktik pengobatan dengan mendirikan padepokan yang disediakan untuk umum (Maulana & Yuni, 2020)

Hal demikian tentu saja amalan perdukunan yang tidak disandarkan pada kuasa Allah swt. Sebenarnya ilmu hikmah yang diamalkan oleh para ulama, kiai dan wali terdahulu adalah praktik sufisme dan tradisi Islam ortodok yang dilakukan oleh generasi awal Islam di Jawa. Kemudian oleh kelompok tertentu hal semacam itu dibuatkan teori dan dicocokkan dengan mistiknya. Sehingga munculan istilah, mujahadah, ma’rifat, wahdatul wujud dan lain sebagainya. Dari hal demikian terbentuklah pemahaman sufisme yang lebih mendahulukan teori-teori mistiknya. Penemuan mistik tersebut dihasilkan dari pembacaan para sufi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat batin atau rahasia-rahasia. Sehingga muncul juga teori suluk, do’a-do’a dan rukyah (Fuadi, 2017).

Aktifitas penemuan inspirasi Al-Qur’an tersebut adalah pengalaman sufistik yang dilakukan oleh ulama Jawa yang tidak bisa dilakukan oleh para dukun dan supranatural. Sebab, pengalaman sufistik tersebut adalah salah satu ajaran dalam ilmu tasawwuf yang termasuk kesadaran kesucian diri sehingga mendorong untuk melakukan mujahadah, berdo’a dan melakukan aktifitas lainya yang sifatnya mendekatkan diri dengan Allah swt dan wushul (memiliki koneksi) dengannya. Praktik ini juga dijelaskan sebagai intisari dari ajaran tasawwuf yang diterjemahkan dengan adanya kesadaran dengan adanya komunikasi serta dialog antara ruh manusia dan tuhan dengan cara mengasingkan diri atau khalwat sehingga mereka dapat melihat esensi kebesaran tuhan yang maha kuasa (Fuadi, 2017).

Baca juga:  Ulama Tasawuf Menurut Habib Umar

Pada intinya ilmu hikmah adalah upaya untuk melatih jiwa dengan tirakatan, mujahadah, mengasingkan diri (khalwat) dan dimensi lainya dengan melakukan amalan yang dapat melepaskan ego duniawi seseorang agar fokus mendekatkan diri kepada Allah swt. Fokus ilmu hikmah adalah Allah swt bukan jin atau siapapun. Dari praktik tersebut segala perilaku dan aktifitas menjadi hikmah (kebijaksanaan). Artinya tujuan utamanya bukanlah kejadukan, kebal, sakti dan lainya, karena hal tersebut bisa saja didapatkan dengan perantara jin dan makhluk ghaib lainya. Dari penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa ilmu hikmah mengajak seorang untuk meningkatkan sisi moral dalam rangka mendekatkan diri (taqarrub) kepada yang pencipta dan menyatu dengan sifat-sifatnya dengan cara riyadhah, pembersihan diri dari moral yang kurang baik.(Fuadi, 2017)

https://alif.id/read/af/pesantren-ilmu-hikmah-dan-perdukunan3-mendiskusikan-paradigma-ilmu-hikmah-dan-perdukunan-b245090p/