Petuah Ekologis dibalik Pesona Batik Priangan

Jaringan komunitas kreatif tempat saya belajar, suatu kali diundang menghadiri pertemuan di Tasikmalaya. Tasik, biasa orang menyingkat nama tempat ini, terasa nyaman dengan pemandangan yang cukup adem. Hawanya sejuk dan sambutan orangnya ramah. Saya peserta dari Makassar yang sebelumnya tau tau apa-apa dengan tempat ini.

Di hari pertama setelah makan pagi yang terlambat dan sebelum malam pembukaan pertemuan digelar, saya diculik seorang kawan untuk melawat ke sebuah taman dan pasar tradisional. Saya singgah di sebuah toko. Di sana ada penjual batik yang desainnya nyentrik tetapi tidak norak. Ada gambar binatang dan tetumbuhan. Saya penasaran dan bertanya pada si penjual mengapa desainnya seperti itu. Namanya Pak Deny. Ia sudah berjualan batik sejak awal tahun 2000-an selepas lulus dari UNPAD. Ia meneruskan usaha bapaknya yang telah meninggal. Pak Deny menyambut pertanyaan saya dengan girang. Ia pun kemudian menjelaskan panjang lebar ihwal sejarah batik yang dikenal dengan sebutan Batik Priangan itu.

Ia memesankan saya minuman di warung di dekat tokonya. Pak Deny bercerita seperti orang tua mendongengkan anaknya. Ia sesekali melucu, namun kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya menjadi pengetahuan baru bagi saya. Saya kebanyakan mengangguk dan sesekali memotong kisahnya dengan pertanyaan. Obrolan itu saya pikir sangat berbotot. Hingga tak terasa hari mulai sore. Saya harus bergegas kembali ke penginapan untuk bersiap menghadiri acara dengan mengenakan batik yang baru saya beli. Ia mempersilakan saya pulang. Saya pamit sambil berkata semoga ada kesempatan lain bertemu dengannya.

Karya seni tidak lahir dari ruang hampa. Itu pesan utama yang saya rengkuh dari oborolan dengan Pak Deny. Ekspresi kesenian manusia merupakan hasil bertukar tangkap gagasan dengan realitas di sekitarnya. Kepercayaan, nilai, hukum dan norma, situasi sosial dan ekologis, dan cara berinteraksi tiap individu dengan alam, merupakan ladang inspirasi para seniman. Kumpulan pengetahuan itulah yang akhirnya menggerakkan seseorang mencipta sebuah karya. Begitulah cara manusia dan laku estetik bekerja.

Baca juga:  Cukup Sorgum bagi Nusa Tenggara Timur

Argumen tersebut ada benarnya jika kita melihat bagaimana sebuah corak estetis suatu daerah. Tak terkecuali batik khas priangan ala masyarakat Pasundan, yang belakangan ini konon penjualannya kian merosot dan sempat terengah-engah mengejar dominasi batik dari daerah lain.

Priangan atau Parahyangan, yang kerap ditafsir sebagai tempatnya para dewata, dipenuhi lanskap alam yang asri dan kekayaan flora-fauna yang menakjubkan. Hasil tani yang berlimpah dan jenis hewan yang beragam, bikin Priangan jadi daerah yang istimewa. Priangan secara kultural masuk dalam wilayah tanah Pasundan, di Jawa Barat, mencakup kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis.

Keyakinan masyarakat terkait Priangan sebagai tempat dewa bersemayam, membuat masyarakat lokal maklum bahwa tatar Pasundan merupakan tempat yang agung dan kudu dijaga kelestariannya. Kekayaan ekosistem Pasundan, tak bisa dimungkiri telah mengilhami banyak para perajin batik membuat corak yang spesial, unik, sekaligus memesona.

Dengan motif bergambar tumbuhan dan hewan, atau hasil pertanian, atau persitiwa bertanah lainnya, dengan pilihan warna terang seperti merah, biru, kuning, hijau, membuat batik priangan tampil dengan gaya yang berbeda dari kebanyakan batik yang ada di nusantara. Batik priangan merupakan perpaduan manis antara yang estetik dan ekologis. Yang indah dan sekaligus hidup.

Batik priangan yang kita kenal hari ini, tidak lahir dalam semalam. Ada sejarah panjang di sana. Dalam naskah-naskah kuno, pengisahan dan riwayat batik priangan pernah diceritakan, mesti tidak secara detil. Di naskah buhun Sunda Sanghyang Siksakandang Karesian yang bertarikh abad ke-16 M, masyarakat Sunda dikatakan telah mengenal dengan baik aktivitas membatik dengan pelbagai pola yang antik.

Baca juga:  Islam di Banjar (1): Ritual, Makhluk Gaib hingga Tingkah Generasi Milenial

Di masa lalu, bagi masyarakat Sunda, batik bukan sekadar kain bercorak, melainkan simbol pengetahuan, penanda sistem nilai, dan warisan kebudayaan. Sehingga upaya membatik dan mengenakan batik di kehidupan sehari-hari, ekuivalen dengan usaha menyebarkan nilai dan kepercayaan terhadap keagungan dewa-dewa beserta nikmat yang telah diberikannya untuk manusia. Lewat batik, filosofi hidup “Urang Sunda” diturunkan dari generasi ke generasi.

Kedekatan masyarakat Sunda dengan batik mereka yang khas, tidak sekadar menyangkut urusan produksi dan komoditas. Batik bukan semata baju atau sarung penutup badan. Masyarakat Sunda yang dulunya banyak berprofesi sebagai petani, bahkan mengenakan batik mereka saat menggarap sawah dan kebun. Batik khas priangan itu juga dipakai saat acara syukuran merayakan panen raya. Seolah laku hidup mereka sehari-hari tak pernah lepas dengan alam sekitar yang tercitra dari batik mereka. Seolah dengan begitu, keagungan dewata akan tetap hadir mengiringi hidup mereka. Seolah mereka selalu bersyukur dan dekat dengan sesuatu yang mereka agungkan.

Jamaludin Wiartakusumah, dalam tulisan bertitel “Estetika Sunda” yang terbit di Kompas tahun 2009, meilihat secara estetik, bahwa pilihan terhadap motif binatang atau lanskap alam itu tentu bukan tanpa sebab. Masyarakat Sunda memiliki pemahaman terhadap filosofi keindahan yang mengacu pada hubungan timbal balik antara manusia dengan alam. Serta konsep relasi antara manusia dengan yang spritual.

Alam memberikan inspirasi, dan manusia memindahkan keindahan dari apa yang mereka lihat ke dalam sebuah karya. Dalam kepercayaan masyarakat Sunda, konsep ini disebut Siga, yang berarti menyerupai atau meniru atau mencontoh. Itulah pasal yang membuat kita melihat, khususnya pada batik priangan, ada sebuah bentuk mimetik dari lingkungan ekologis tatar Pasundan yang dekat dengan corak agraris.

Baca juga:  Gaya Hidup Santri (3): Nderek Kiai

Sarupaning, merupakan konsep estetik kedua yang banyak dianut masyarakat Sunda. Konsep ini menekankan bahwa segala sesuatu mesti diupayakan agar terlihat indah. Proses Siga, perekaan, akan nirmakna jika tak disandingkan dengan kreatifitas yang bisa membuatnya nyaman dipandang mata. Karena yang indah akan abadi, dan yang buruk akan hilang secara perlahan.

Selain Siga dan Sarupaning, ada konsep terakhir yang biasa disebut dengan istilah Waas. Pemahaman terhadap waas mengacu pada pengalaman batin seseorang terhadap sebuah karya seni atau kehidupan sehari-hari yang berkualitas. Filosofi ini menjadi menarik, sebab, dalam penggarapan karya, selain berjuang membuatnya enak diindra, seorang pengkarya dari Sunda, mesti mempertimbangkan efek batin dalam karya mereka.

Konsep filosofis Siga, Sarupaning, dan Waas ini saling terkait. Batik priangan yang bercorak flora dan fauna mengandung pesan bahwa, bentang kekayaan alam berserta seluruh ekosistem itu cerminan kasih dewa yang agung di muka bumi, yang harus dipertahankan keasrian dan keberlanjutannya. Kita harus menjaga warisan kebudayaan itu, warisan kekayaan ekologi itu, sebagai bentuk syukur pada yang ilahi.

Sebab, rusaknya ekosisitem di sekitar masyarakat Pasundan, selain menganggu kehidupan itu sendiri, juga berarti hilangnya mata air inspirasi bagi perajin batik priangan dalam proses penciptaan karya yang bernilai. Apa yang akan dijadikan inspirasi kalau bentang kekayaan ekosistemnya rusak, apalagi akibat manusia itu sendiri. Mungkin dewa akan angkat kaki. Dan priangan atau parahyangan, bukan lagi jadi tempat agung bagi dewata.

Priangan hanya akan jadi rumah bagi para dewa jika manusia tak merusak dan menghancurkan keindahan alam tatar Pasundan. Itulah nasihat spritual dan ekologis memesona dari sebuah batik priangan yang kita kenakan.

https://alif.id/read/mario-hikmat/petuah-ekologis-dibalik-pesona-batik-priangan-b241286p/