Politisasi Agama dalam Perspektif Quran

Laduni.ID, Jakarta – Agama merupakan salah satu dasar penopang berjalannya Indonesia. Hal ini ini termaktub dalam Pancasila, yang mana merupakan ideologi negara. Di dalam Pancasila sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan bahwa secara filosofis agama menjadi titik temu dan solusi bagi Indonesia. Falsafah ini akan menjadi warisan turun temurun Indonesia hingga nanti. Dasar negara Indonesia ini memang berbeda dengan negara manapun. Ia merupakan titik tengah dari pertemuan berbagai nilai kemajemukan. Agama di Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting dan strategis dalam sendi-sendi bernegara.

Seperti yang pernah disebutkan oleh Bryan S. Turner bahwa agama memiliki beberapa fungsi yaitu, sebagai kontrol sosial, sebagai acuan legitimasi politik, dan sebagai solidaritas sosial. Fungsi-fungsi ini terlibat dalam kehidupan masyarakat sebagai nilai dan norma yang berjalan dan sulit dipisahkan di kehidupan masyarakat, khususnya Indonesia.

Pada zaman perjuangan tepatnya pada 22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari dan para Kyai se Jawa-Madura menginisiasi gerakan Resolusi Jihad. Resolusi Jihad ini berisi beberapa poin dimana salah satunya adalah “wajib hukumnya membela negara dari penjajah”. Resolusi Jihad merupakan jawaban atas pertanyaan Presiden Sukarno kepada KH. Hasyim As’yari melalui utusannya. Dan ini merupakan inspirasi gerakan pemuda Surabaya yang dikobarkan oleh Bung Tomo pada 10 November 1945.

Resolusi Jihad adalah bukti peran ulama, santri dan kaum muslim dalam mempertahankan Indonesia. Ini memperlihatkan bahwa agama dan politik memiliki relasi baik apalagi untuk mempertahankan Indonesia. Hal ini dipergunakan sebagai alat legitimasi perjuangan melawan penjajah dan hal ini berhasil berkat para ulama yang memegang teguh Ketuhanan dan keutuhan bangsa ini. Pelibatan agama dalam sendi bernegara seperti politik adalah agar politik bernegara sesuai dengan etika dan ajaran agama dan terciptalah suasana maslahat, kebaikan untuk semua.

Politisasi Agama

Irisan agama dan politik setidaknya dapat dijabarkan menjadi dua menurut Masykuri Abdillah, yaitu legitimasi keagamaan dan politisasi agama. Dimana legitimasi keagamaan adalah penggunaan nilai keagamaan untuk mewarnai pemikiran dan tindakan seseorang atau kelompok, baik dalam bentuk gerakan dan keputusan politik untuk melawan penyimpangan atau keburukan yang terjadi. 

Sedangkan politisasi agama adalah dengan menggunakan doktrinasi keagamaan atau simbol keagamaan sebagai alat mendapatkan tujuan politik atau untuk memobilisasi massa sehingga mendapatkan sebuah kedudukan tertentu.

Ali Maschan Moesa, dalam bukunya berjudul Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama, mengatakan, politisasi agama berarti menggunakan simbol-simbol agama untuk menggerakkan massa, mengaduk emosi keagamaan, menjalin kekuatan di parlemen, dan seterusnya, tetapi tujuannya untuk kepentingan politik, bukan kepentingan agama.

Dalam hal ini Allah melarang kita untuk melakukan sumpah serapah, janji-janji kosong, Black Campaign atau fitnah adu domba demi mendapatkan tujuan tertentu, seperti mencari kedudukan jabatan. Ini salah satunya disebutkan di dalam Al Quran Surat Al Qalam 10-13:

 وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَّهِيْنٍۙ (١٠) هَمَّازٍ مَّشَّاۤءٍۢ بِنَمِيْمٍۙ (١١) مَّنَّاعٍ لِّلْخَيْرِ مُعْتَدٍ اَثِيْمٍۙ (١٢) عُتُلٍّۢ بَعْدَ ذٰلِكَ زَنِيْمٍۙ (١٣)

Artinya:  Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya,

Di dalam tafsir yang ditulis oleh Kementerian Agama (Kemenag) menjelaskan Al Qalam ayat 10-13. Allah menyifati mereka dengan sifat-sifat buruk seperti yang dirinci dalam ayat ini. Dan janganlah engkau patuhi setiap orang yang suka bersumpah baik dalam kebenaran maupun kebatilan, dan berkepribadian buruk karena suka menghina, lagi suka mencela, yang kian kemari menyebarkan fitnah untuk memecah belah anggota masyarakat, dan yang suka merintangi segala bentuk perbuatan yang baik dengan bersikap kikir, selain itu dia juga gemar bersikap melampaui batas dan banyak dosa baik terhadap Tuhan maupun terhadap sesama manusia, yang bertabiat kasar, selain itu juga yang lebih buruk lagi adalah ia terkenal dengan kejahatannya. Di antara tokoh yang dimaksud pada ayat ini adalah seperti al-walid bin al-Mugirah atau abu jahl bin hisyam.

Dari ini kita bisa belajar, bahwa janganlah kita suka mencela atau mengadu domba, apalagi adu domba demi sebuah kedudukan yang fana. Politisasi agama juga terjadi di negara-negara Barat sekuler yang dalam banyak kasus terintegrasi dengan politik identitas dan populisme, dan bahkan Islamofobia. Di Amerika Serikat, agama juga dijadikan sebagai alat legitimasi dan bahkan politisasi dalam pemilu, terutama untuk menarik dukungan dari kelompok-kelompok konservatif dan fundamentalis. Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat pada 2016 lalu tidak terlepas dari politisasi agama dalam kampanyenya, terutama politik anti-Islam (Islamofobia) dan anti-imigran.

Dari contoh di atas, politisasi agama cukuplah mengerikan jika hal ini tidak diarahkan untuk tujuan yang maslahat, apalagi hanya untuk kedudukan saja. Sehingga untuk melakukan pencegahan politisasi agama diperlukan upaya pelurusan pengertian dan pemahaman keagamaan. Di samping itu, diperlukan juga kesadaran semua pihak, terutama tokoh politik, tokoh organisasi keagamaan dan tokoh agama, akan pentingnya selalu menjaga persatuan bangsa, dan bahwa politisasi agama akan merendahkan posisi agama, jika hanya sebagai alat memperoleh kekuasaan. 

Wallahu A’lam

Referensi:
Tulisan ini diolah dan dikembangkan dari berbagai sumber pendukung, di antaranya:
1. graduate.uinjkt.ac.id,
2. kemenag.go.id,
 


Editor: Athallah 

https://www.laduni.id/post/read/517555/politisasi-agama-dalam-perspektif-quran.html