Harus diakui, di era ini media massa mempunyai peran amat strategis dan vital bagi masyarakat. Tidak hanya alat untuk mengakses informasi semata, ia menjadi variabel sosial yang dahsyat dan dominan untuk mempengaruhi persepsi, perilaku serta cara pandang baru atas pelbagai persoalan sosial budaya.
Media (dalam hal ini televisi) saat ini menjadi ujung tombak komunikasi massa. Dibanding surat kabar dan radio, dalam konteks komunikasi massa, televisi memang mempunyai kualifikasi yang lebih. Hal ini karena tampilan audio visualnya, yang merupakan daya tarik utama bagi penontonnya.
Televisi sangat berpengaruh terhadap kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan televisi mampu menciptakan kesan (image) dan persepsi bahwa suatu muatan dalam layar kaca menjadi lebih nyata dari realitasnya (reality). Dengan kata lain, apa yang disajikan di televisi seolah-olah lebih nyata dari kenyataan yang terjadi (Idy Subandi Ibrahim, 1996). Dengannya, masyarakat terhegemoni oleh tayangan televisi.
Dalam era global saat ini televisi dengan segala cara memberlangsungkan kehidupannya. Momentum bulan Ramadan telah menggerakkan media televisi untuk mengadakan perubahan signifikan terhadap program acaranya. Program acara bernuansa keagamaan menggeser program lainnya di tayangan prime time yang berubah ke waktu sahur atau buka.
Televisi melakukannya dengan segala cara. Bahkan agama dibuat bersentuhan dengan budaya pop (pop culture). Hasilnya adalah kemasan hiburan keagamaan (religiotainment) yang menautkan dua ekspresi penting, yakni hiburan yang bernuansa keagamaan dan agama yang dikemas menjadi bagian dari hiburan. Berbagai bentuk religiotainment menghiasi program tayangan bulan puasa sejumlah televisi, mulai dari sinetron, kuis, hingga tayangan iklan.
Komodifikasi
Pada konteks inilah, menarik kiranya untuk melihat ideologi televisi dalam mengkomodifikasikan bulan Ramadan di layar kaca. Pengelola televisi menempatkan Ramadan sebagai sebuah belantara pasar bebas yang bisa menghasilkan keuntungan. Arti puasa bagi pengelola televisi tak ada bedanya dengan Piala Dunia.
Pemakaian simbol-simbol agama oleh kalangan pemilik modal menempatkan televisi sebagai mesin komersialisasi publik yang ampuh. Tujuannya jelas: melipatgandakan keuntungan. Tak heran bila semua televisi selalu menyiapkan dan mengiklankan acara-acara unggulan jauh hari sebelum datangnya puasa. Begitu memasuki bulan Syaban, penonton televisi telah dimanjakan berbagai acara sebagai “pemanasan jelang Ramadan” semisal sinetron-sinetron, masak-memasak, desain-desain pakaian, musik, dagelan, kuis dan sebagainya yang diasosiasikan Islami, cocok sebagai bekal menyongsong dan menjalani puasa bulan Ramadan.
Ilmu pemasaran modern memang telah sampai pada sebuah pemahaman mengenai perlunya industri menunggangi momen-momen religi dan kultural yang dialami manusia. Begitulah kapitalisme: ia memiliki kelenturan, sebuah daya elastis yang memungkinkannya masuk-menyusup dan kemudian berjalan-berbareng dengan hal-hal yang sebenarnya tak memiliki ikatan, hubungan, atau relevansi apapun dengannya (Firdaus, 2009).
Dengan demikian, simbol-simbol agama bisa kehilangan makna substansinya jika ternyata produk yang memanfaatkan simbol tersebut menimbulkan efek samping yang berbahaya. Ketika media televisi menampilkan hiburan sebagai bagian yang dapat menarik keuntungan finansial sebesar-sebesarnya, yang terjadi adalah sebuah pertentangan melawan prinsip-prinsip moral kemanusiaan dan agama.
Pragmatisme ekonomi dan logika komersial membuat pelbagai program acara televisi menjadi sangat dangkal, defisit secara substansi. Melihat tayangan televisi selama Ramadan, kita serasa ada di tengah pasar malam, di mana semua stasiun televisi menayangkan kegemerlapan, pesona fisik, dan hal-hal lain yang superfisial. Selama Ramadan, sinetron, kuis, komedi, hingga reality show dikemas dengan sangat alim selama 24 jam, mulai sahur hingga tiba waktu sahur lagi. Artis-artis yang semula tampil dengan pakaian terbuka tiba-tiba berbondong-bondong memakai jilbab dan berbaju takwa. “Kesalehan instan” yang terasa begitu aneh dan dibuat seolah-olah nyata terjadi. Imajinasi yang ditawarkan televisi relatif mudah membius logika akal sehat pemirsa.
Sebagaimana kodratnya yang terus membutuhkan dan menghendaki akumulasi keuntungan, penyusupan kapitalisme ke momen-momen religi-kultural itu selalu dilakukan bersamaan dengan penarikan laba dalam jumlah besar. Lebih lanjut dikatakan Firdaus, berlawanan dengan industri yang menarik laba dari proses itu, momen yang ditunggangi tersebut hampir selalu dirugikan. Tentu saja kerugian itu bukan soal materi dan kekayaan, tapi lebih berkaitan dengan semacam “erosi”, pengeroposan makna yang dimiliki oleh momen-momen itu.
Hal ini sudah diingatkan sewindu lalu. Hasil Survei Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyebut dari 45 program acara 15 stasiun televisi di Indonesia selama bulan puasa 2015 diperoleh indeks kualitas keseluruhan 3,25 dibawah angka standar baik 4. Televisi cenderung mempertontonkan tayangan sensasional dan kualitas rendah. Hal ini menunjukkan minimnya perhatian industri televisi sebagai pendidik. Industri media sebagai usaha ekonomi didahulukan. Sisi idealisme diantaranya memberikan informasi yang benar dalam isi benar dan cara, dikesampingkan. Televisi jadi alat pembodohan dan perusak moral (Kompas, 26/6/2015).
Gencarnya promosi produk-produk konsumsi pada bulan Ramadan sangat mungkin mengeroposkan, kalau tidak malah membelokkan, makna religiusitasnya. Ketika sebuah perusahaan makanan menggunakan momentum puasa sebagai ajang promosi besar-besaran misalnya, perusahaan itu hampir dipastikan akan mengeruk keuntungan material yang banyak. Akan tetapi, kualitas nilai bulan suci yang ditunggangi itu justru tidak mendapat keuntungan apa-apa. Sebaliknya, ia mengalami pengeroposan makna, atau bahkan pengalihan makna yang barangkali berlawanan dengan makna awal momen itu.
Jika Ramadan menjadi bulan introspeksi diri, dan peningkatan keimanan umat muslim, maka produk komoditi membuat momen itu sekadar jadi huru-hara pemujaan terhadap bentuk fisik yang dianggap “sempurna”, hasrat konsumsi yang telah dikomodifikasi, dan banalitas makna religiusitas Ramadan. Yasraf A Piliang (2005) menyebutnya sebagai posspiritualitas, kondisi bercampurnya nilai-nilai spiritual dengan nilai-nilai materialisme, bersekutunya yang duniawi dengan yang Ilahiah, bertumpang tindihnya hasrat dengan kesucian, sehingga perbedaan di antara keduanya menjadi kabur.
Jauh dari Hakikat
Di balik gemerlapan dan hal-hal superfisial itulah, dipropagandakan keasyikan terhadap hal-hal yang berada di luar kesadaran diri. Jauh dari hakikat Ramadan yang mempunyai dimensi sosial dan dimensi ketuhanan. Artinya puasa tidak hanya mengajarkan manusia untuk menyembah dan berbakti kepada Allah. Puasa juga membawa ajaran untuk mengembangkan perilaku-perilaku humanis yang bersifat horizontal. Puasa membawa juga ajaran untuk mengembangkan nilai keseimbangan jiwa (simpati, empati) dan raga (menahan lapar dan haus). Puasalah yang akan menuntun laku dan pikir kita untuk peduli pada pemiskinan struktural di masyarakat.
Seharusnya dalam spirit Ramadan, menjadi penting dan relevan untuk mempelajari dan bahkan untuk menggugat keberadaan pasar yang tak berpihak terhadap nilai-nilai kehidupan umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa. Oleh karena itu, bila yang tampak sekarang Ramadan identik dengan ramainya pasar dan tingginya tingkat konsumsi masyarakat, maka sesungguhnya hal itu tidak lepas dari spirit Ramadan yang dibelokkan oleh kekuatan pasar.
Religiositas harusnya dilihat bukan hanya sebagai trend temporal saat bulan puasa, tapi sebagai ekspresi rasa dan etika yang murni untuk menuju pribadi yang lebih berkualitas secara vertikal dan horizontal. Dengan demikian, di antara hikmah penting dari ibadah puasa Ramadan adalah mendidik umat untuk mempunyai irama kehidupan bersama yang damai, cerdas secara sosial, berkeseimbangan antara perilaku duniawi dan akhiratnya sehingga idealitas masyarakat yang baldatun toyyibatun warobbul ghafur dapat terwujud dalam kehidupan umat.
Baca Juga
https://alif.id/read/purnawan-andra/posspiritualitas-ramadan-b249076p/