Potret Kebersamaan Masyarakat Antar-Agama di Kawasan Transmigran Sorong
Aimas adalah sebuah distrik di Kabupaten Sorong, Papua Barat, yang menjadi tujuan transmigran sejak 1979/1980. Masyarakat Aimas sebagian besar berasal dari pulau Jawa, didatangkan untuk membuka lahan pertanian, perkebunan, dan usaha peternakan dengan rata-rata setiap tahun sebanyak seribu kepala keluarga hingga berakhir pada tahun 2001.
Muhammad Rusdi Rasyid dalam Jurnal Transformasi Pascasarjana IAIN Sorong berjudul Pengembangan Pendidikan Islam Nonformal Aimas Kabupaten Sorong menyebutkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1973, transmigran yang dipindahkan umumnya berasal dari lapisan sosial ekonomi lemah, termasuk petani tanpa lahan. Keberadaan mereka bertujuan untuk mengatasi kemiskinan dan mendukung pembangunan, namun faktor-faktor seperti pendidikan rendah menjadi kendala dalam meningkatkan kesejahteraan.
Setelah proses panjang tersebut di 2024, M. Fajri Yaqin seorang anak yang orang tuanya dahulu ikut program transmigrasi tersebut menceritakan terkait keterbukaan warga Distrik Aimas itu terhadap pendatang. Baginya keterbukaan itu menyebabkan terciptanya kebersamaan hidup.
“Kami memiliki interaksi yang sangat baik sehari-hari. Meskipun saya dan keluarga merupakan transmigran, mereka sangat welcome dengan kehadiran kami. Salah satu kebiasaan yang sering kami lakukan adalah berbagi makanan. Seperti tetangga pada umumnya, di lingkungan saya senang berbagi ketika mendapat rezeki berlebih,” kata Fajri dihubungi NU Online, Rabu (30/10/2024).
Fajri mengatakan bahwa distrik tersebut warganya bukan hanya dari kalangan Muslim saja, uniknya meskipun berbagi makanan menjadi kebiasaan di sana, tetapi tetangga-tetangga yang beragama non-muslim memahami bahwa ada batasan bahwa Muslim tidak bisa mengonsumsi makanan yang tidak halal, baik secara bahan maupun cara memasaknya.
“Sehingga, sebagai contoh, apabila kami mengantarkan masakan seperti ikan bakar, tetangga kami akan membalas dengan mengantarkan bahan makanan mentah, seperti pisang, singkong dan umbi-umbian yang nantinya kami olah menjadi beberapa bahan olahan seperti keripik pisang, pisang epe khas Makassar dan sebagainya,” jelasnya.
Kegiatan Bersama
Seperti masyarakat pada umumnya, Fajri mengatakan bahwa terdapat kegiatan bersama yang dilakukan. Salah satunya adalah kerja bakti yang diadakan setiap bulan. Kegiatan ini tidak hanya membantu menjaga kebersihan lingkungan, tetapi juga mempererat hubungan baik di antara masyarakat setempat. Disamping itu, di lingkungan RT kami mempunyai kebiasaan mengadakan yasinan dan tahlilan bergilir.
“Dalam kegiatan tersebut biasanya teman-teman non-muslim mendapat berkat makanan setelah acara selesai. Uniknya, berkat tersebut diantar ke rumah-rumah oleh anak-anak, dan biasanya diterima juga oleh anak-anak non-muslim. Sehingga, memberikan kesan hangat dan menambah rasa kebersamaan,” jelasnya.
Baginya, bertetangga dengan keluarga yang berbeda agama dengannya memberikan Fajri banyak pemahaman tentang arti kebersamaan. Salah satu pengalaman yang selalu Ia ingat adalah ketika salah satu anggota keluarga yaitu ayah mereka meninggal dunia.
Dalam situasi yang berduka tersebut, dirinya bersama keluarga dan tetangga sekitar mendukung mereka baik dalam bentuk materi, moril, maupun tenaga, bahkan, hingga mengantarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya. Kebersamaan tanpa memandang latar belakang agama ini yang selalu terkesan hangat dalam pikiran dan hati seorang Fajri.
“Saya merasa nyaman dalam perbedaan. Hidup berdampingan tanpa membeda-bedakan juga membuka pandangan saya bahwa kita memang menganut agama yang berbeda, tetapi ketika menyangkut masalah kemanusiaan, empati, dan support, semua orang (dalam agama apapun) adalah makhluk Tuhan (Allah swt) yang layak dimanusiakan,” katanya.
Selain situasi berduka, saat perayaan hari besar keagamaan umumnya dirayakan oleh penganut agama masing-masing. Namun, Fajri menceritakan karena di distrik tersebut tinggal dalam lingkungan yang beragam baik suku, adat, maupun agama, kami memiliki suatu bentuk toleransi yang tercipta. Pada Hari Raya Idul Fitri, tetangga Fajri yang berbeda agama biasanya akan berkunjung ke rumah dan mengucapkan selamat hari raya, menciptakan suasana hangat pada saat Lebaran.
“Sebaliknya, ketika hari besar keagamaan mereka, seperti Natal, terdapat dua pandangan di kalangan masyarakat muslim di lingkungan kami. Ada yang mengucapkan sebagai bentuk penghormatan dan memberikan makanan, dan ada juga yang memilih untuk tidak melakukannya. Tetapi, hal tersebut tidak mengurangi rasa damai dan kebersamaan di antara kita,” jelasnya.
Pendidikan Toleransi
Selama menempuh pendidikan di Sorong, Fajri merupakan siswa dari sekolah Islam (Madrasah). Sehingga, pendidikan toleransi dan moderasi beragama yang saya dapatkan di sekolah cenderung lebih bersifat teoritis seperti ada mata pelajaran PPKN akan tetapi tidak banyak praktik langsung. Namun, jika berbicara toleransi terhadap ras, sekolah saya sangat menekankan untuk tidak membeda-bedakan baik dalam kelompok belajar ataupun bermain.
“Misalnya dalam permainan berkelompok akan dibagi secara acak tanpa membedakan ras sehingga kami berbaur satu sama lain,” katanya.
Melalui pendidikan toleransi yang baik, praktis kata Fajri di Kabupaten Sorong sendiri hampir tidak pernah terjadi konflik semacam itu, karena beberapa antisipasi yang dilakukan oleh tokoh masyarakat melalui pendekatan kultural yang kuat, serta pesan-pesan kedamaian yang dibawa oleh organisasi masyarakat menjadi benteng sebelum terjadi perselisihan. Namun, Fajri teringat ada satu kejadian ketika dirinya masih duduk di bangku MTs di Kota Sorong tahun 2014. Terjadi konflik keagamaan yang dipicu oleh oknum, menyebabkan adanya pertikaian serius antara kalangan masyarakat Muslim dan masyarakat non-muslim.
“Alhamdulillah berkat kerjasama pemerintah melalui aparat keamanan TNI-POLRI berhasil mengamankan dan menindak cepat provokator baik dari kalangan muslim ataupun non-muslim,” jelasnya.
Kemudian, Fajri mengakui terdapat dukungan tokoh agama di Sorong yang memegang peranan penting dalam membangun kerukunan umat beragama di daerahnya, Hal ini terbukti dengan dibentuknya FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) di Sorong yang menjadi wadah pertemuan lintas agama oleh para tokoh-tokoh agama di Sorong. Disamping itu, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap tetua adat, tokoh agama di Sorong cukup tinggi, masyarakat sangat menghormati para tetua dan tokoh agama setempat
Lebih lanjut, Fajri menjelaskan bahwa Sorong sendiri secara geografisnya dibagi menjadi dua, yakni Kabupaten Sorong dan Kota Sorong, dan saya pernah merasakan tinggal di keduanya. Meski berbeda, kedua wilayah ini sudah cukup inklusif dalam hal moderasi beragama, mampu menerima perbedaan dan mendukung kerukunan antaragama. Masyarakat di sana dapat dengan “luwes” bertetangga dan berteman dengan latar belakang agama yang beragam.
Di Kabupaten Sorong, tantangan dalam bermasyarakat tidak terlalu terlihat. Hal ini karena pendekatan kultural yang kuat digaungkan oleh organisasi-organisasi masyarakat. Sehingga, kehidupan bermasyarakat di sana, sehingga menurut pengalamannya, cukup harmonis.
“Harapan saya untuk di Sorong yakni keleluasaan dalam beragama terus dipertahankan, keberagaman, serta interaksi antaragama. Moderasi beragama sudah terbentuk secara alami, namun perlu selalu dirawat dan dijaga agar anak cucu kami kelak dapat merasakan hal yang sama seperti yang kami alami saat kecil,” katanya.
“Dulu, kami bisa bermain di rumah siapa saja tanpa memandang latar belakang agama, dan saya harap suasana kebersamaan itu tetap ada di masa-masa mendatang. Saya memiliki satu tujuan untuk membangun sebuah sekolah Islam yang moderat di Sorong. Dengan demikian saya bisa berkontribusi mengambil langkah untuk mempererat hubungan antarumat beragama di sana,” tandasnya.
*) Liputan ini terbit atas kerja sama NU Online dengan LTN PBNU dan Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTKI) Kementerian Agama RI