Pria pemilik warung penyetan itu mulai membersihkan meja dan kursinya. Sesekali nampak raut wajah kosong dan pasrah di balik topi putihnya. Berada di sisi pojok gerobak wanita paruh baya menggendong anak balita. Ia duduk sambil mencuci piring dan sendok yang tak seberapa. Tanda bahwa tidak banyak porsi terjual malam ini. Sang Pria mulai mempercepat bebersihnya, seiring dengan bunyi sirine dan megaphone yang terus-terusan memberi komando. “Bapak Ibu mohon segera menutup warung dan kiosnya, sudah masuk jam PPKM. Ayo segera!”. Jam tangan saya menunjukkan pukul 19.43 WIB.
Saya yang masih menikmati potongan bebek goreng pun tekejut. “Haiish ramasok, kurang sitik wae kok wis diobraki” ketus dalam hati. Kita ketahui bersama per tanggal 3 Juli sampai dengan tanggal 25 Juli pemerintah menerapkan PPKM atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat. Dalih yang digunakan pun jelas dan meyakinkan: untuk menekan angka kasus Covid-19. Saya tidak tahu persis berapa angka kasus Covid-19 saat ini. Yang saya tahu adalah bahwa kurang lebih 17 bulan sudah, masyarakat kenyang dengan pemberitaan Covid-19 atau lazim disebut dengan Corona.
17 bulan bukan waktu yang sebentar. Awalnya kasus itu terjadi di Wuhan, Cina. Kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia. Namun bukan itu fokus pembahasan saya. Yang jadi pembahasan adalah bagaimana saya bisa menghabiskan sisa-sisa kenikmatan bebek goreng yang ada di hadapan saya ini.
Iseng aku bertanya pada Pria pemilik warung “Setiap malam diobraki gini ya pak?”. Pria paruh baya menjawab sambil melipat lap mejanya “Iya mas. Sekarang sepi mas. Saya buka dasar jam setengah 6 sore, jam 8 malam harus tutup. Ya jadinya terjual sedikit”.
Dulu awal-awal Corona naik daun, pemerintah pernah memberlakukan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar. Tidak usah tanya ‘besar’nya seberapa, intinya saat itu toko-toko tutup dan banyak diberlakukan WFH atau Work From Home. Sampai akhirnya 17 bulan kemudian PSBB berubah menjadi PPKM. Entah, istilah apalagi nanti yang akan muncul. Semoga saja tidak ada istilah lagi, dan Corona hilang tertelan bumi. Semoga.
Sesaat setelah Pria itu menjawab, saya berpikir kenapa harus disuruh tutup sih? Kasihan lho dia, jualan belum lama, belum memenuhi standar penjualan harian, harus diminta tutup. Kenapa tidak dibiarkan buka saja? Toh yang ku lihat, pemilik warung juga menyediakan sarana penunjang Protokol Kesehatan. Nampak di samping baliho warung seperangkat alat cuci tangan, lengkap dengan sabun cair berwarna hijau. Di meja-meja juga ada beberapa handsanitizer yang tinggal separuh botol. Lantas apa lagi?
Rupanya soal kerumunan. “Katanya masih berkemungkinan untuk berkerumun mas, jadi harus tutup” tambah Pria pemilik warung.
Saya sendiri juga termasuk orang yang percaya bahwa Corona itu ada. Saya tidak mau ambil pusing, ikuti saja saran kesehatan dan pemerintah. Tapi untuk kali ini saya jadi kurang sreg gitu di hati. Daripada meminta untuk tutup, kan bisa saja warung-warung itu dibiarkan saja buka. Tapi, dengan catatan kalau ada yang pesan harus dibungkus dan dibawa pulang apabila telah melewati jam pemberlakuan PPKM. Soal nanti ada yang melanggar ataupun tidak patuh, itu lain cerita. Bagi yang melanggar okelah silahkan diperingatkan.
Saya juga teringat dengan kejadian di beberapa tempat tentang pemberlakuan PPKM di jam malam. Ada beberapa oknum yang ‘main kasar’. Saya tidak menyalahkan, cuma menyayangkan. Tapi ya bukan budaya kita kalau ngga ‘rame dulu, klarifikasi kemudian’.
Ini bukan soal apa lawan apa, ataupun keselamatan siapa dan siapa. Tapi, kalau kemudian PSBB ataupun PPKM memang terkesan lebih banyak memberatkan masyarakat, mbok yao di evaluasi tipis-tipis. Bukan dihapus, di evaluasi. Kan orang-orang pada seneng tuh rapat-rapat evaluasi. Mumpung ada masalah yang sedang hangat lho ini Pak Bu Yang Terhormat. Salah satu bentuk evaluasinya yaitu tadi, dibiarkan buka dengan syarat pembelian hanya dilayani apabila makanan dibungkus dan dibawa pulang. Jangan sampai corona juga membunuh kemanusiaan kita.
Hari ini Corona seolah-olah tidak hanya menyerang jasmani melainkan rohani manusia juga. Padahal -meminjam pendapat almarhum Pak Amin Syukur dalam Tasawuf Sosial (2012: 69)- bahwa jika sistem rohani manusia sakit maka jasmani pun akan mengalami sakit.
Pun sebaliknya, jika jasmani sakit maka rohani akan sakit. Dan jangan salah bahwa bebek goreng yang saya makan ini adalah upaya dalam rangka mengintregasikan simbiosis tersebut.
Adanya Corona ini memang sangat merugikan banyak orang dan menyerang segala lini kehidupan. Maka perlu pikiran tenang dan dingin untuk menyelesaikan. Ketidaksetujuan kebijakan, protes, dan atau melanggar pasti berpotensi ada. Namun, itu bukan menjadi alasan untuk terus menerus dijadikan kambing hitam penegasan aturan. Sesekali kita perlu memahami filosofi main layang-layang: kapan harus menariknya, dan kapan kita harus melepaskannya. Agar tujuan utama permainan tersebut tercapai yakni layang-layang terbang tinggi.
Pak Amin Syukur pernah menulis paragrap yang menarik, kiranya ini cocok untuk saya dan kita renungkan di era pandemi seperti saat ini. Beliau berkata bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk (plural), yakni masyarakat yang beraneka ragam, baik agama, suku, daerah, adat kebiasaan, dan sebagainya. Kemajemukan ini menimbulkan kesan keunikan, dan karena keunikannya itu diperlukan cara yang unik pula, yaitu perlakuan berdasarkan paham kemajemukan dan berlandaskan rasa keadilan sosial.
https://alif.id/read/ihh/ppkm-dan-curhatan-pria-pemilik-warung-penyetan-b239048p/