Di tengah Pandemi yang mengamuk, beberapa pesantren, termasuk pesantren kami, mengambil keputusan yang begitu dilematis: mengembalikan santri yang sebelumnya justru dipulangkan lebih awal. Sementara tak bisa dimungkiri, tak ada pesantren yang tanpa kerumunan. Dan karenanya, pesantren dinilai rentan menjadi klaster penularan. Tetapi, pesantren harus tetap berlanjut, kegiatan di pesantren harus kembali hidup. Meskipun harus banyak melakukan siasat dan penyesuaian, meskipun senantiasa diliputi kecemasan.
Tak terhindarkan, di hadapan virus, pesantren yang dipercaya sebagai otoritas keagamaan sama rapuhnya bahkan dengan otoritas kesehatan. Karena virus benar-benar tidak pandang siapa-siapa. Apakah ia seorang tukang becak, pemuka agama, bahkan dokter maupun saintis. Sebab virus hanya memandang ada atau tidak peluang untuk hinggap. Itulah mengapa yang kuli bisa terjangkit, yang kiai atau santri juga bisa, yang dokter dan ilmuwan bisa pula.
Pesantren dengan penuh kerendahhatian mengakui kerapuhan fisiknya. Pesantren ‘beriman’ terhadap imbauan-imbauan dari pemerintah dan fatwa-fatwa dari otoritas kesehatan. Pesantren yang sebelumnya senantiasa terbuka dikunjungi kapan saja, oleh siapa saja, kini harus menutup gerbangnya rapat-rapat. Santri-santri yang sebelumnya dapat sesekali berbaur dengan masyarakat, kini sama sekali tak diperkenankan meninggalkan kompleks. Pun sebelum kembali ke pesantren, para santri dan pengurus diminta melakukan karantina mandiri, rapid test, dan lain-lain. Dalam satu tarikan nafas yang sama, pesantren tak putus-putusnya merapalkan dzikir dan wirid, tak henti-hentinya melangitkan doa.
Apa yang disampaikan oleh Dr. (Hc.) K.H. Afifuddin Muhajir, Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo yang kini juga menjabat Rais Syuriah PBNU dan Ketua DPP MUI Bidang Fatwa, pada sebuah wawancara yang termaktub dalam Majalah Tanwirul Afkar bernomor 546 penting disimak. Terutama bagi kita yang ingin sungguh-sungguh memahami sikap pesantren yang sebetulnya.
“Perlu digarisbawahi, Pondok Pesantren tidak akan menerima semua santri yang mau kembali. Pesantren hanya menerima santri-sanri yang diyakini atau diduga kuat negatif Corona dengan menggunakan Rapir-test dan semacamnya. Ini artinya, pesantren tetap taat aturan, khususnya terkait dengan protokol kesehatan. Memang protokol kesehatan yang maksimal tak mungkin dilakukan oleh pesantren.”
“Memang untuk sepenuhnya Pondok Pesantren tidak akan bisa menerapkan protokol kesehatan. Mungkin hanya 75% yang bisa dilakukan oleh pesantren dari protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintan. Berarti tinggal 25% yang tidak dilakukan. Nah, 25% yang tersisa itu dilengkapi dengan doa-doa dan riyadloh-riyadloh. Jadi 75% adalah ta’lim al-thibbiyah, protokol kesehatan. Sementara 25% sisanya kita sempurnakan dengan riyadloh–riyadloh, doa-doa, tadhorru’ kepada Allah Swt. Dengan demikian lengkap menjadi 100%.”
Sepintas jawaban Kiai Afif, memang terkesan ganjil lantaran seolah-olah menomorduakan doa, dan lebih memberikan porsi lebih pada ikhtiar dalam bentuk protokol kesehatan. Walaupun sesungguhnya tidak demikian. Tidak ada yang lebih diprioritaskan antara ikhtiar dan doa. Keduanya dijalankan sekaligus, sesuai proporsinya masing-masing. Di sinilah keadilan tidak melulu berarti sama rata. Sama rata tidak selalu identik dengan adil.
Dari sisi lain, kepatuhan pesantren terhadap protokol kesehatan mencerminkan betapa kokohnya intelektualitas pesantren, termasuk dalam memandang wabah. Mari kita ingat, bahwa pesantren mengemban amanat untuk mencerdaskan umat, tak terkecuali dalam membaca virus yang juga kita sebut sebagai takdir Tuhan itu. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, ulama Hanabalah yang tunggal guru dengan pakar tafsir kenamaan, Ibn Katsir, menulis dalam al-Da’ wa al-Dawa’, “Secerdas-cerdasnya orang cerdas (al-faqih kull al-faqih) adalah ia yang berupaya menolak takdir dengan dengan takdir.” Menolak virus dengan protokol kesehatan adalah bentuk konkret yang diajarkan pesantren kepada kita.
Tetapi faktanya, intelektualitas juga punya kerapuhannya sendiri. Ia tidak bisa menjamin ketenangan batin di tengah-tengah krisis seperti sekarang. Oleh karena itu, pesantren hendak menggenapi semua itu dengan laku-laku spritual, dengan doa, amalan-amalan, mengakui kerapuhan itu sendiri di hadapan Tuhan. Di samping tentu, karena kita berkeyakinan bahwa doa adalah senjata pamungkas.
Keyakinan seperti itu tidak bisa dikesampingkan. Seperti kata John C. Lennox, Profesor Matematika dari Universitas Oxford, dalam Where is God in Corona Virus World, “Dalam masa harapan adalah hal yang kita cari.” Profesor yang dalam beberapa karyanya kerap meng-counter pandangan-pandangan atheisme ini pun mengutip Mattia Ferraresi, jurnalis Italia.
“Air suci bukanlah pembersih tangan dan doa bukanlah vaksin …Tetapi bagi orang orang percaya, agama adalah sumber fundamental bagi kesembuhan spiritual dan harapan. Agama adalah obat melawan keputusasaan, menyediakan dukungan psikologis dan emosional yang tak terpisahkan dari kesejahteraan pribadi seseorang. (Agama juga menjadi penawar bagi kesepian, yang diakui oleh beberapa ahli medis sebagai isu kesehatan publik yang paling mengkhawatirkan dalam zaman ini.)”
Dalam beberapa manakib Imam al-Syafi’i, antara lain yang ditulis oleh Ibn Abi Hatim al-Razi dengan judul Adab al-Syafi’i wa Manaqibuh, tertuang pernyataan sang Imam bahwa ilmu itu hanya ada dua macam. “Ilmu agama dan ilmu dunia. Ilmu untuk agama adalah fikih. Adapun ilmu untuk dunia adalah ilmu medis.” Dan kini, di masa-masa krisis, tampaklah bahwa kedua ilmu tersebut sama-sama dihargai betul-betul oleh kalangan pesantren. Intelektualitas dan relijiusitas sama-sama dijunjung, diletakkan sesuai maqamnya, alih-alih dipertentangkan sama sekali. Dan terbukti, keduanya bisa berjalan harmonis secara beriringan.