Praktik Riba pada Masyarakat Arab Pra Islam

Dalam ilmu ushul fiqih dikenal istilah Maqashidus Syari’ah atau disebut juga Maqashid Khamsah. Istilah yang diusung pertama kali oleh Imam Al-Ghazali tersebut merujuk pada lima tujuan utama disyariatkannya hukum-hukum syariat yang salah satunya adalah hifzhul mal (menjaga harta).
 

Spirit hifzhul mal diejawentahkan dalam hukum-hukum muamalah (transaksional), yang mana hukum-hukum tersebut dibuat untuk menghindari berbagai macam mudarat dalam sebuah transaksi. Salah satunya dengan melarang transaksi yang mengandung riba. 
 

Sebenarnya praktik larangan melakukan transaksi ribawi bukan aturan baru, Allah juga melarang riba pada umat terdahulu. Allah berfirman:
 

وَأَخْذِهِمُ ٱلرِّبَوٰا۟ وَقَدْ نُهُوا۟ عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلْبَٰطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَٰفِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
 

Artinya, “Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS An-Nisa: 161).
 

Ayat ini menceritakan tentang kaum Yahudi yang melanggar larangan Allah dengan melakukan riba. Fakta ini secara implisit juga menjelaskan bahwa praktik riba sudah terjadi sangat jauh sebelum era Rasulullah saw.
 

Dalam syariat Islam, riba adalah praktik terlarang. Al-Qur’an dan sabda Rasulullah sangat keras melarang hal tersebut. Ayat 278-279 surat Al-Baqarah secara literal menyebutkan  ancaman serius bagi pelaku riba, yaitu diperangi oleh Allah swt dan Rasulullah saw.
 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ (٢٧٨)  فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا۟ فَأْذَنُوا۟ بِحَرْبٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۖ 
 

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman (278). Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (QS Al-Baqarah: 278-279).
 

Dalam banyak riwayat, Rasulullah saw pun melarang riba dan menyebutkan dampaknya, berikut di antaranya:
 

إذا ظهر الزنا والربا في قرية، فقد أحلوا بأنفسهم عذاب الله
 

Artinya, “Ketika zina dan riba telah tampak pada sebuah desa, maka sungguh penduduknya telah mempersilakan diri mereka untuk terkena azab Allah.” (HR Al-Hakim).
 

اجتنبوا  السبع الموبقات” قيل: يا رسول الله، وما هن؟ قال: “الشرك بالله، والسحر، وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق، وأكل الربا، وأكل مال اليتيم، والتولي يوم الزحف، وقذف المحصنات الغافلات المؤمنات
 

Artinya, “Rasulullah bersabda: Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan. Lalu ditanyakan pada Rasulullah: Apa saja wahai Rasulullah?. Rasulullah menjawab: Syirik, sihir, membunuh nyawa tak bersalah, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan jihad, dan menuduh zina pada wanita mukminah yang menjaga kehormatannya dan tidak tahu-menahu tentang apa yang dituduhkan padanya.” (HR Abu Dawud).
 

Larangan syariat terhadap praktik ribawi memang sangat keras, maka tak heran jika Syekh Ibrahim Al-Bajuri menempatkan riba sebagai dosa terbesar keempat, setelah syirik, membunuh, dan berzina. (Hasyiyatul Bajuri ‘ala Fathil Qarib, [Jakarta, Darul Kutubil Islamiyyah: 2007], juz I, halaman 661).
 

Praktik Riba di tengah Masyarakat Arab Pra Islam

Sebagaimana keterangan di atas, praktik riba sudah berlangsung ratusan tahun sebelum Rasulullah saw lahir. Entah siapa yang memulai dan bagaimana penyebarannya, praktik riba sudah terjadi di daerah Hijaz pada era Rasulullah saw.
 

Mengenai bentuk transaksi ribawi yang terjadi di masyarakat Arab pra Islam ini, Imam Malik meriwayatkan sebuah atsar dari Zaid bin Aslam ra sebagai berikut:
 

عن ‌زيد بن أسلم ؛ أنه قال: كان الربا في الجاهلية، أن يكون للرجل على الرجل الحق، إلى أجل. فإذا حل الحق، قال: أتقضي، أم تربي فإن قضى، أخذ. وإلا زاده في حقه. وأخر عنه في الأجل
 

Artinya, “Dari Zaid bin Aslam, ia bercerita tentang praktik riba di masa jahiliyyah, ketika seseorang memiliki hutang yang telah jatuh tempo, ia akan ditawari: ‘Utangmu kau bayar sekarang atau kau tambah? Jika ia memilih menambah, jumlah yang harus ia bayar bertambah dan batas waktu pembayarannya akan diundur.” (Al-Muwaththa’, [Abu Dhabi, Mu’assasah Zayed bin Sulthan Alu Nahyan: 2004], juz IV, halaman 971).
 

Imam At-Thabari menggambarkan praktik riba di era jahiliyah dengan lebih detail. Ia mengutip atsar Ibnu Zaid yang menuturkan kisah tersebut dari ayahnya. Menurut ayahnya, bentuk riba pada era jahiliyah adalah dengan melipatgandakan nominal dan menambah umur hewan jika utangmya berupa hewan.
 

Misalnya ada seseorang memiliki piutang, ketika sudah jatuh tempo ia akan menawarkan, “Akan kau bayar sekarang atau kau tambah?” Jika yang ditagih belum sanggup membayar, maka jika utangnya berupa uang, batas waktu pembayarannya akan diperpanjang hingga tahun depan dan akan dilipatgandakan nominalnya.
 

Misalnya berhutang 100 dirham, maka ia harus membayar 200, jika sampai jatuh tempo berikutnya masih belum dapat membayar, maka waktunya diperpanjang lagi dan tanggungan hutangnya menjadi 400, demikian seterusnya.
 

Jika utangnya berupa hewan, misalnya utang unta berumur satu tahun, maka jika setelah jatuh tempo dia tidak sanggup membayar, maka batas waktunya diperpanjang namun ia harus mengganti utangnya dengan unta umur dua tahun.
 

Jika di tahun berikutnya ia tidak mampu melunasi utang tersebut, maka waktunya diperpanjang lagi dan ia harus mengganti dengan unta umur empat tahun.
 

Inilah yang dimaksud dalam surat Ali ‘Imran ayat 130: 
 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوا۟ ٱلرِّبَوٰٓا۟ أَضْعَٰفًا مُّضَٰعَفَةً ۖ 
 

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.”
(Jami’ul Bayan, [Kairo, Dar Hajar: 2001], juz VI, halaman 50).
 

Di masa sekarang, bentuk transaksi semakin beragam. Sebagai seorang muslim, sebelum melakukan suatu transaksi tentu kita perlu mengetahui bahwa transaksi tersebut tidak dilarang syariat.
 

Hal ini sangat penting, selain agar terhindar dari dosa melakukan transaksi terlarang, juga untuk memastikan semua harta kita halal sehingga diberkahi oleh Allah swt.
 

Ustadz Rif’an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan, Purworejo

https://islam.nu.or.id/syariah/praktik-riba-pada-masyarakat-arab-pra-islam-v3Nc8