Pada masa Orde Baru, murid-murid SD belajar mengenai Indonesia dengan mengenali suku-suku. Pengenalan melalui busana, upacara, makanan, rumah, lagu, tari, dan lain-lain. Konon, pengajaran itu menguatkan keindonesiaan. Bocah-bocah mengerti bhinneka tunggal ika. Buku pelajaran disokong acara-acara di televisi, rubrik di majalah, dan berita-berita di koran.
Kini, murid-murid SD dan pelbagai pihak mulai memberi perhatian untuk Kalimantan. Perhatian memusat ke pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara terletak di Kalimantan Timur. Imajinasi keindonesiaan perlahan dibesarkan melalui kebijakan-kebijakan pemerintah dan keramaian pendapat publik. Kalimantan menjadi referensi. Suku-suku di Kalimantan perlahan terpelajari lagi.
“Kami berharap agar diutamakan terlebih dahulu pembangunan sumber daya manusia,” permintaan disampaikan oleh Ketua Dewan Adat Dayak Kabupaten Penajam Paser Utara kepada Presiden Joko Widodo (Jawa Pos, 15 Maret 2022). Kita mungkin telat belajar atau lama lupa untuk mengenali suku Dayak. Pada 1991, Balai Pustaka menerbitkan buku berjudul Suku Dayak gubahan Djumri Obeng. Buku dinikmati para murid SD, mendapat stempel: “Milik Negara, Tidak Diperdagangkan.”
Penerbit menjelaskan: “Dengan membaca ‘Suku Dayak’ kalian akan mengetahui tempat tinggal, agama, serta adat istiadat orang-orang Dayak itu. Dalam sajak-sajak berikutnya, kita akan menemui uraian mengenai pengobatan, adat melamar, perkawinan, kepercayaan terhadap buaya, gerhana alam, kelahiran, dan kematian.” Murid-murid di SD membaca puisi dalam misi menguatkan kebhinnekaan. Pada masa Orde Baru, buku itu cetak ulang tiga kali sampai 1995.
Bocah-bocah mungkin memilih puisi ketimbang materi di buku pelajaran kadang menjemukan atau pidato kepala sekolah sering menganjurkan persatuan dan kesatuan tapi miskin cerita. Di hadapan buku, murid-murid tak cuma bergumul dalam imajinasi. Mereka diajak mengerti keragaman di Indonesia memerlukan pengisahan, bukan cuma materi pelajaran dan soal-soal ujian.
Di kesusastraan Indonesia, Djumri Obeng sering menggubah cerita pendek dan novel. Pada masa 1960-an, ia sempat belajar teater di Solo. Pada masa Orde Baru, ketekunan Djumri Obeng menulis puisi-puisi bertema Dayak seperti sesuai kehendak rezim Orde Baru berslogan persatuan dan kesatuan. Pengenalan suku-suku dianjurkan untuk selaras dan menjadikan Indonesia mulia. Puisi-puisi mungkin memiliki titipan pesan sesuai misi-misi pemerintah.
Murid-murid saat membaca puisi mungkin memerlukan penjelasan tambahan dari guru atau orang-orang memahami suku Dayak. Puisi cukup merangsang keinginan mengerti kebhinnekaan. Kita membaca puisi berjudul “Dayak Kenyah”, perkenalan singkat: Kami datang dari Apo Kayan/ berjalan kaki menembus gunung dan hutan,/ secara bergelombang// Bila tanah subur kami temukan/ kami dirikan pondok untuk kediaman/ Bila ada suku yang menghalang/ kami tak gentar maju berperang. Dulu, murid-murid terbiasa berimajinasi bahwa suku-suku di pelbagai tempat menjalani tata cara hidup tradisional. Mereka dianggap jauh dai imzpian-impian muluk berdalih pembangunan nasional. Murid-murid tak peka kadang meremehkan atau membuat perbandingan sembarangan dalam kehidupan suku-suku di seantero Indonesia.
Kita mengandaikan masa lalu memiliki khazanah bacaan berupa ratusan buku puisi atau cerita untuk anak-anak. Buku membekali keinginan saling menghormati dan bersaudara demi memartabatkan Indonesia. Buku-buku pelajaran tak memadai memicu keinginan belajar kebhinnekaan. Pengandaian itu susah terwujud saat rezim Orde Baru memilih tebar slogan dan rajin memerintah atas nama persatuan dan kesatuan.
Kita berlanjut membaca puisi berjudul “Adat Kelahiran”. Djumri Obeng tak perlu cerewet dalam mengenalkan adat: Saat istri melahirkan/ Kumandangkan terus bunyi-bunyian/ Pukul gong/ Pukul gendang/ Pukul semua tabuh-tabuhan/ Jangan sampai tangis anakmu/ terdengar oleh binatang-binatang hutan// Sebab itu adalah pantangan/ Anakmu sial sepanjang zaman. Murid-murid SD di Jawa, Sumatra, atau Kalimantan penasaran dengan keberagaman tata cara hidup di pelbagai adat. Mereka telanjur disubukan dengan sekian mata pelajaran. Keinginan mengerti adat istiadat sering tertunda atau gagal gara-gara tak ada juru cerita atau referensi kepustakaan.
Halaman demi halaman dibuka, murid-murid mengenali suku Dayak Punan, Dayak Benuaq, Dayak Tumbit, Dayak Batang Lupar, Dayak Rambai, Dayak Kapuas, dan lain-lain. Kita simak puisi berjudul “Suku Dayak Kapuas, Ngaju, dan Dayak Katingan”. Puisi pendek tapi mengabarkan kemajuan-kemajuan: Suku Dayak Kapuas/ Ngaju dan suku Dayak Katingan/ adalah suku-suku termaju di Kalimantan/ Mereka tinggal di sepanjang sungai Kapuas,/ di kota-kota, dan/ di pinggir sungai Kahayan// Agama mereka,/ Kristen Protestan, Islam, dan/ ada juga yang masih beragama Kaharingan/ Pemuda-pemudanya cerdas dan gagah berani/ Banyak yang belajar di perguruan tinggi. Pada masa lalu, murid-murid dibingungkan dengan pidato mengenai pelestarian adat dan kemajuan sebagai bukti kesuksesan pembangunan nasional. Puisi berpamrih menjelaskan itu menjadi contoh.
Pada pembaca dewasa bisa menjajarkan buku berjudul Suku Dayak dengan Kalimantan Tempo Doeloe (2013) dengan editor Victor T King. Rekaman mengenai Kalimantan dari pelbagai masa ditulis oleh orang-orang dari pelbagai negara. Mereka mengisahkan segala hal di Kalimantan, tak ketinggalan suku Dayak. Victor T King menjelaskan: “Pulau Kalimantan, pulau terbesar ketiga di dunia, terletak di tengah kepulauan Indonesia dalam imajinasi orang-orang Eropa. Pulau ini sering dikaitkan dengan misteri, bahaya dan kegembiraan. Gambaran ini diciptakan bertahun lalu oleh para pengelana, penjelajah, petualang serta administrator Eropa dan telah terpatri dengan jelas di kalangan masyarakat Eropa pada awal abad XX.”
Masa lalu terbaca lagi. Kita pun mengikuti berita-berita terbaru mengenai IKN Nusantara dan Kalimantan. Warisan buku dari masa Orde Baru berjudul Suku Dayak cukup membuat kita menambahi ingin mengerti suku-suku di Kalimantan. Begitu.
https://alif.id/read/bandung-mawardi/puisi-dan-rekaman-masa-lalu-b242537p/