Rindu Platonis

Seorang Gus muda yang energik dan inspiratif bercerita. Katanya ia dulu pernah suka pada teman sekampusnya. Suka yang mendalam. Meski rasa hati itu sudah lama, namun terkadang Ia masih ingin menuliskan suara hatinya pada gadis yang pernah singgah di hatinya itu. Anehnya, sang pujaan hati tidak sempat dipacarinya. Kini keduanya sama-sama telah berkeluarga. Cinta ilusionis, cinta Platonis.

Gadis pujaan hati Sang Gus itu menikah dengan jodohnya yang lain. Kini sudah beranak pinak. Didorong rasa takjub, saya menuliskannya untuk anda. Gus teman saya itu menulis begini: “Sebenarnya aku ingin menuliskan sesuatu. Sesuatu itu, namamu. Ku ngin menuliskannya di dadaku. Namun, untuk apa kulakukan. Sebab namamu sudah terukir di dalam hatiku.” Dan tulisan itu tak pernah sampai pada alamatnya..

Ada benarnya, ternyata cinta itu tidak selalu fisik saja. Cinta itu bisa hati saja. Seperti kisah sang Gus aktivis dan gadisnya. Cintanya dapat melewati banyak waktu hingga menua. Bisa jadi, Sang Gus dengan gadisnya andai dipersatukan dan menjalani kehidupan nyata bersama takkan seindah kata-kata atau benar-benar indah. Wallahua’lam.

Allah SWT tetaplah Maha Penulis kisah kehidupan terbaik. Tentu saja lengkap beserta melodramanya. Jadi ingat potongan syair d’Masiv. “Syukuri apa yg ada. Hidup ini anugerahNya. Mari jalani hidup ini dan berikan yang terbaik.” Kapan waktu Sang Gus berkata padaku lagi. “Kian kita cari wujud Cinta, dia semakin abstrak. Karena Cinta seperti udara. Ada tanpa raga.” Sambil termangu, saya hanya bisa bilang, “Saya belum sampai di maqom itu, tapi berusaha memahami, Gus.” Hidup itu memang unik.
*
Paragaraf di atas ditulis sahabat saya di akun facebook-nya. Keren ya… Sebagaimana ketakjuban dia pada Sang Gus, saya pun takjub pada caranya memahami sebuah fenomena dan melodrama. Drama tentang apa yang dia sebut cinta ilusionis, cinta platonis. Sebuah rasa yang secara sadar dinikmati dan dijalani seseorang tanpa harus memilikinya, bahkan (lebh dari itu) tanpa harus mengatakannya! Cinta Platonis, cinta yang berangkat dari apa yang dikatakan Filosof Yunani, Plato sebagai dunia idea. Segala sesuatu di dunia ini (menurutnya) tak lebih dari terjemahan dunia idea, yang tak lain sumber dari segala sesuatu, segala bentuk pengenalan tentang apa saja.

Baca juga:  Gus Ulil: Al-Ghazali dan Ilmu Kalam

Cinta platonis adalah ‘manifestasi konsep keindahan tentang idea cinta. Karena berangkat dari konsep ideal, maka cinta platonis akan dianggap keluar dari garisnya kala disampaikan, bahkan kalau cinta itu menjadi kenyataan kehidupan. “Aku tidak mau orang lain tahu tentang siapa orang yang kucintai itu, termasuk dia sendiri yang kuanggap sebagai cinta idealku. Selamanya aku akan tetap menyimpan cinta ideal yang sempurna ini dalam hati dan alam pikirku sendiri. Tidak untuk kuinformasikan kepada siapaun. Tidak akan pernah! Justru dengan begini, aku bisa merasakan keindahan dan kemurnian cinta itu. Cinta yang istimewa.”

Seperti sederet kalimat itu, pernyataan bahkan eksekusi cinta adalah sesuatu yang tak perlu, karena hanya akan mendaratkan idea cinta pada realitas kehidupan yang tak semuanya indah. Cinta platonis akan selalu menyelamatkan cintanya dari ‘kekeruhan’ duniawi, yang hanya akan mengotori (indahnya) cinta. Tentu konsep cinta ini tidak disarankan pada kita yang sudah pasti akan mengjhadapi dan menjalani kehidupan ini seberapapun pahitnya. Karena sejatinya, indahnya cinta (mawaddatan) tak lebih dari sekadar etape kejiwaan yang memancar dari sebuah niatan luhur untuk hidup bersama, mencipta ketenangan hidup (sakinatan) demi mencapai status tertinggi bernama kasih-sayang sejati (rahmatan).

Tapi toh, kadang idea cinta sebagai konsep ideal perlu dihadirkan. Di kala memang dunia menggiring kita untuk tidak mungkin memiliki sesuatu. Konsep tak harus memilki menenemukan relevansinya. Konsep Plato bisa kita hadirkan untuk menjinakkan ambisi manusia untuk selalu memiliki dan menguasai. Dalam agama, kondisi ini sering kita temukan dalam konsep ‘menahan diri’ sebagaimana sabar dan puasa. Esensi puasa adalah menahan dan meninggalkan (al-imsak) segala hal yang sebenarnya bisa dengan mudah kita kerjakan. Tapi karena kita menghadirkan konsep idea, sebuah keindahan yang dijanjikan oleh Tuhan bagi hambanya yang bertaqwa, maka makan, minum, maksiat dan segala yang membatalkan puasa, toh dengan senang hati kita tinggalkan.

Baca juga:  Penundaan Pemilu dan Godaan Legalisme Otokratis

Demikian mungkin tafsir positif tentang cinta platonis. Sebagaimana kita juga manahan rindu untuk secara sadar menjauhkan anak kita jauh ke bilik pesantren, demi sebuah konsep ideal tentang masa depan Sang Buah Hati. Ayah mana yang tak akan rindu pada celoteh anaknya yang cerdas nan jenaka. Tapi biarlah semuanya menjadi rindu platonis, demi kebenaran ideal sabda baginda. “Allah akan menjadikan seseorang menjadi baik, kala dia mengerti ilmu agama’. Saat itulah gelora rasa bernama rindu seorang ayah akan terpinggir begitu saja.

Surabaya, 29 Oktober 2018

https://alif.id/read/hakim-jayli/rindu-platonis-b247556p/