Islam sebagai al-din al-samawi terakhir yang diturunkan, ajarannya sangat begitu sempurna dan paripurna. Meski begitu, ada kondisi-kondisi tertentu yang menjadikan ajaran Islam seakan-akan masih belum sempurna.
Hal tersebut biasanya terjadi karena adanya pembacaan atau penafsiran terhadap teks-teks suci, berupa al-Qur’an dan Hadis Nabi yang cenderung serampangan, tidak holistik, dan tidak adil, sehingga banyak menyebabkan hal-hal yang cenderung polemis. Oleh karena itu, para ulama dan pemikir muslim berusaha untuk membaca dan menafsirkan ulang teks-teks tersebut secara analitis yang utuh dan adil agar senantiasa relevan di manapun tempatnya dan kapanpun waktunya (shalih li kulli zaman wa makan).
Salah satu permasalahan dalam agama ini yang masih banyak dibicarakan dan diperdebatkan oleh banyak orang —termasuk di dalamnya umat non-muslim— adalah mengenai isu-isu perempuan. Banyak redaksi dalam al-Qur’an dan Hadis terkait perempuan yang kalau dibaca secara serampangan atau literal-tekstual akan terkesan bias gender, bahkan misoginis —meminjam istilah Fatimah Mernissi.
Al-Azhar al-Syarif, salah satu institusi keislaman yang ada di Mesir, juga turut berperan aktif ikut bersuara mengenai isu tersebut. Lembaga keislaman terbesar di dunia tersebut selalu concern dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Misalnya ketika bulan Ramadan yang lalu. Pada kesempatan tersebut, Grand Syekh al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad al-Thayyib, membuat sajian khusus berbentuk serial video yang membahas mengenai isu-isu perempuan. Sajian tersebut bisa diakses dan dinikmati melalui akun Instagram al-Azhar ataupun melalui saluran televisi lokal Mesir, Abu Dhabi, serta Arab Saudi.
Dari video-video tersebut, Syekh Ahmad al-Thayyib tampak ingin meluruskan pandangan-pandangan kurang tepat terkait perempuan yang selama ini telah terkonstruksi di dalam ruang sosial masyarakat. Dengan tegas beliau mengatakan bahwa pandangan al-Azhar dan pembelaannya terhadap perempuan itu dilandaskan pada Syari’at Islam. Beliau juga mengatakan bahwa peradaban-peradaban terdahulu telah menzalimi martabat perempuan serta telah merampas hak-haknya.
Ada beberapa poin penting yang dapat kita bahas pada tulisan kali ini.
Diantara pendapatnya beliau mengenai hal ini adalah adanya kedustaan-kedustaan terhadap perempuan yang sumbernya ialah fikih yang tidak dikenal oleh Islam, yang mengacu pada adat dan tradisi (Shaut al-Azhar: 3). Jadi dapat kita pahami bahwa konstruksi-konstruksi sosial bias gender yang tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat itu terjadi karena landasannya adalah sebuah hukum yang bersumber pada adat dan tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sahih.
Hal seperti ini tentu jelas akan merugikan hak-hak perempuan itu sendiri. Sebab kerap kali kaum perempuan dilabeli sebagai manusia yang inferior dan derajatnya di bawah kaum laki-laki. Pelabelan-pelabelan seperti ini, kelak yang bisa mengantarkan pada praktik patriarki, marginalisasi, dan subordinasi terhadap perempuan.
Dalam tradisi masyarakat kita, perempuan selalu diidentikkan dengan urusan-urusan domestik seperti belanja, memasak, mencuci, dan lain sebagainya. Padahal bisa saja perempuan masuk ke ranah urusan publik, sebagaimana laki-laki juga bisa masuk ke dalam domain domestik. Sebab gender memungkinkan untuk dirubah dan dipertukarkan. Berbeda dengan kodrat yang sifatnya pemberian dari Tuhan (al-‘Atha min al-Rabb) dan tidak bisa dirubah atau diotak-atik.
Hal ini selaras dengan fatwa Syekh Ahmad al-Thayyib pada beberapa tahun lalu yang mengatakan bahwa perempuan boleh saja jadi pemimpin, hakim, mufti, dan pekerjaan-pekerjaan yang lainnya. Semua itu terbuka untuk perempuan. Sebagaimana di al-Azhar ada seorang perempuan yang menempati jabatan strategis sebagai penasihat Grand Syekh untuk urusan pelajar asing, yang juga menjadi Direktur Markaz Tathwir, yakni Prof. Dr. Nahla al-Sha’idi. Begitu juga kalau kita tarik mundur jauh sampai pada masa Rasulullah, di sana ada seorang businessman perempuan ulung yang jasanya sangat besar dalam membantu dakwah Nabi, yaitu Sayyidah Khadijah, istri Nabi.
Syekh Ahmad al-Thayyib juga menegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah manusia pertama yang berusaha mengangkat harkat dan martabat perempuan, yang mana mereka hampir saja tenggelam dan hilang dari peradaban umat manusia (Shaut al-Azhar: 3). Sebab tradisi masyarakat Arab pra-Islam penuh dengan dominasi kaum laki-laki. Kalau lahir seorang bayi perempuan, maka itu dianggap sebagai aib, sehingga mereka dengan bengis tega menguburnya secara hidup-hidup.
Hal semacam ini kalau dibiarkan secara terus-menerus, kelak eksistensi perempuan akan lenyap karena tindak-tindak marginalisasi yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Karenanya, Nabi Saw hadir ditengah kondisi masyarakat yang demikian, salah satu agenda besarnya adalah merubah tatanan tersebut, sehingga kaum laki-laki bisa lebih memuliakan dan menghargai hak-hak perempuan.
Begitu juga dengan kehadiran dan keberadaan Islam, Syekh Ahmad al-Thayyib juga memberikan penekanan bahwa Islam merupakan agama pertama yang memberikan prioritas terhadap kemerdekaan dan keadilan bagi perempuan, serta al-Qur’an adalah kitab suci pertama yang mempunyai misi untuk mengembalikan perempuan kepada kemuliaannya. (Shaut al-Azhar: 3).
Tesis ini sekaligus bisa menjadi jawaban atas miskonsepsi orang-orang Barat yang berasumsi bahwa Islam adalah agama yang menindas perempuan dan sangat membatasi ruang geraknya, yang pada akhirnya memunculkan semacam counter respon atas asumsi tersebut yang biasa dikenal dengan feminisme beserta mazhab-mazhab-nya , walau itu juga masih banyak diperdebatkan oleh kalangan intelektual muslim.
Salah satu pandangan Syekh Ahmad al-Thayyib yang bisa mengonfirmasi hal ini adalah mengenai permasalahan poligami. Beliau mengatakan kalau praktik poligami yang banyak terjadi dalam waktu dewasa ini akibat kurangnya pemahaman yang baik terhadap al-Qur’an dan Hadis. Sebab poligami sering kali berdampak pada ketidakadilan terhadap perempuan dan anak.
Kalau kita membaca ayat tentang poligami yang termaktub pada Surah al-Nisa: 3, ayat tersebut turun dalam tradisi kaum laki-laki Arab yang pada saat itu gemar menikahi banyak perempuan. Ditambah mereka juga tidak bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya tersebut. (Lihat Hasyiyah al-Shawi ‘ala al-Jalalin: 430) Jadi konteks poligami dalam ayat ini adalah semangat mengurangi jumlah istri, bukan malah bermaksud menambah jumlah istri.
Begitu juga praktik poligami adalah salah satu hal rawan yang bisa menyebabkan ketidakadilan terhadap perempuan-perempuan yang dinikahinya. Oleh karenanya, di akhir ayat tersebut ada sebuah peringatan, kalaupun tidak mampu berbuat adil diantara mereka, maka cukup menikahi satu perempuan saja. Sebab yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya terhadap kaum perempuan.
Dari paparan yang telah diulas di atas, dapat ditarik benang merah bahwa apabila al-Qur’an dan Hadis tentang perempuan dibaca secara analitis, utuh, dan adil, maka dapat dipahami kalau agama Islam itu sangatlah memuliakan perempuan. Kehadirannya di tengah-tengah umat manusia, salah satu tujuan agungnya adalah mengangkat harkat dan martabat kaum hawa serta mengembalikan pada kemuliaan-kemuliaannnya.
Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh Syekh Ahmad al-Thayyib dan al-Azhar, yang selalu memberikan perhatian terhadap kedudukan perempuan dalam berbagai kesempatan. Sebab menurut beliau perempuan itu mewakili setangah dari masyarakat. Jika tidak peduli pada mereka, layaknya jalan dengan satu kaki saja. Yang ada hanyalah pincang.
Referensi:
Nubaiwah, Ahmad. (2023). Pembelaan Kami terhadap Perempuan Bersandarkan pada Syari’at Islam. Shaut al-Azhar. Hal. 3. (29 Mei 2023).
Al-Shawi Ahmad. 2020. Hasyiyah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain. Kairo: Dar al-Imam al-Syafi’i.
Baca Juga
https://alif.id/read/hvy/risalah-grand-syekh-al-azhar-terkait-isu-isu-perempuan-masa-kini-b248097p/