Tahukah kamu? Kisah seorang manusia di hutan yang dirawat oleh binatang sebenarnya bukan kisah baru. Sekitar 700-an tahun yang lalu, seorang filsuf muslim kelahiran Granada, Ibnu Thufail, menulis sebuah novel filosfisnya yang kemudian dikenal sebagai Risalah Hayy ibn Yaqzān.
Bagaimana kisahnya bermula? Ada beberapa riwayat sebenarnya, namun yang masyhur memang agak mirip seperti roman Siti Nurbaya dan Nabi Musa. Ceritanya ibu Hay adalah seorang saudari raja yang jatuh cinta pada seorang lelaki biasa bernama Yaqzan.
Selepas melangsungkan nikah siri, dan kemudian melahirkan Hayy, takut ketahuan oleh si raja yang mulai curiga, akhirnya si ibu menghanyutkan anaknya dalam sebuah keranjang yang kemudian terombang- ambing ombak di lautan sampai akhirnya sampai di sebuah pulau tak berpenghuni.
Sesampainya di pulau, Hayy kecil kemudian ditemukan oleh seekor rusa yang baru saja kehilangan anaknya. Rusa itulah yang kemudian merawat Hayy‒ mengajarinya memilah makanan dan minuman segar, mengajarinya bahasa para binatang, sampai akhirnya Hayy tumbuh menjadi seorang pemuda gagah nan bijaksana.
Apa bedanya cerita Tarzan dan Hayy? Bukan hanya roman picisan tentang dua insan berkulit putih di belantara Afrika sebagaimana jadi bahan ejekan Trevor Noah, kisah Hayy dari awal sampai akhir filosofis.
Di mana letak filosofinya? Menurut Ernest Renan, kisah Hayy ibn Yaqzān adalah kisah fenomenal yang berhasil memotret secara jujur pengembaraan seorang manusia yang haus akan hakikat segala sesuatu.
Diceritakan, sepeninggalan ibu rusanya, Hayy banyak merenung sepanjang hari sampai akhirnya menyingkap banyak hal, di antaranya adalah ruh sebagai sebab kehidupan bagi makhluk hidup.
Hayy juga kemudian banyak merenung tentang sekitarannya, tentang mineral, tumbuhan, hewan bahkan benda- benda langit yang pada akhirnya mengantarkannya pada satu simpulan tunggal: segalanya pasti memiliki pencipta.
Hayy menemukan Tuhan, namun begitu masih banyak tanda tanya di kepalanya. Siapa Ia? Bagaimana cara menyembah-Nya? Apa saja aturan-Nya?
Semua penasaran itu akhirnya terjawab, saat untuk pertama kalinya Hayy bertemu dengan manusia selain dirinya. Namanya Absal. Absal datang dari suatu pulau nan jauh. Absal datang dengan kabar mengenai Allah ﷻ, para rasul- Nya, dan syariat- syariatnya. Hayy pun akhirnya tercerahkan.
Dan ternyata bukan hanya Hayy saja, sebaliknya Absal pun tercerahkan dengan cerita Hayy bisa sampai pada kesimpulannya lewat renungan- renungannya.
Alhasil, Absal yang berangkat dari agama, dan Hayy berangkat dari filsafat, lewat tukar pikiran keduanya, mereka berdua akhirnya sampai pada hakikat segala sesuatu Yang Esa, yaitu Allah ﷻ sang Pencipta.
Oleh sebab itu, sastrawan besar Jerman, Johann Wolfgang von Goethe, ketika dimintai pendapat tentang kisah Hayy ibn Yaqzān bilang, Ibnu Thufail menulisnya untuk menggambarkan keterpautan antara akal dan wahyu, keduanya membutuhkan satu sama lain, sebagaimana halnya Hayy dan Absal yang saling membutuhkan pencerahan satu sama lain.
Dan dari paparan filosofis itulah juga, kita bisa bilang bahwa membaca kisah Hayy bin Yaqzān memang selalu terasa lebih mewah ketimbang Tarzan.