Menolong sesama tanpa syarat. Mencintai seseorang tanpa mengharap balasan. Kurang lebih seperti itu bunyi slogan yang sering saya baca di meme media sosial atau diskusi di kedai-kedai kopi.
Slogan itu tidak hanya sekadar bunyi-bunyian, tetapi mewujud nyata dalam sebuah aksi atau gerakan. Saya menemukannya pada komunitas GUSDURian Mojokutho Pare Kediri yang bergerak di isu kemanusiaan.
Mereka mendirikan Rumah Kemanusiaan GUSDURian (RKG), yang merawat mbah-mbah sepuh, yang tidak tahu di mana keluarganya atau bahkan sengaja ‘dibuang’ oleh anaknya sendiri.
Komunitas ini dikoordinatori oleh Anugrah Yunianto atau yang akrab disapa Antok Mbeler.
Penulis kebetulan satu group WA di Jaringan GUSDURian. Mas Antok sering membagikan foto, video, yang dilakukan oleh komunitasnya dalam mendampingi para lansia. Saya kemudian tertarik untuk meliputnya sebagai bahan praktik moderasi yang baik. Bahwa apa yang dilakukan olehnya adalah potret wajah moderasi yang sesungguhnya. Memanusiakan manusia.
Hal ini sesuai dengan empat pilar moderasi. Yaitu, menghargai nilai-nilai kebangsaan, nilai toleransi, anti kekerasan, dan menghargai tradisi dan budaya.
Antok memberikan teladan bahwa nilai-nilai kebangsaan seperti gotong royong dan membantu sesama adalah pilar atau pondasi utama untuk merawat bangsa ini.
Beberapa kali saya melihat dan membaca postingan yang ia bagikan. Ia memberitakan mbah-mbah dampingannya itu sedang dibawa ke rumah sakit untuk proses pengobatan, atau ia menceritakan dengan detil jika ada mbah-mbah yang sudah meninggal berikut dengan proses perawatan jenazahnya, disholati, dan diantar ke tempat peristirahatannya terakhir.
“Innalillahhi telah wafat Mbok Yah, semoga damai di sisi-Nya. Saat ini sedang proses disucikan.”
Begitulah kurang lebih postingan yang sering dia wartakan.
Saya lalu tertarik untuk bertanya kepadanya, bagaimana kisahnya hingga ia terbesit ingin mendirikan rumah lansia ini?
“Pada tahun 2015, kami mendapati seorang mantan PSK di Pasar Loak Pujasera Pare. Dia terkena penyakit stroke. Tidak bisa ngapa-ngapain, dan ndak punya keluarga. Akhirnya kami temani hingga meninggal. Berawal dari situ akhirnya terus bertambah jumlahnya hingga sekarang,”ujar Antok.
Niat baik yang dilakukan oleh Antok itulah yang akhirnya membawanya ke dalam dunia lansia hingga saat ini. Tercatat, sejak tahun 2008 ia melakukan kegiatan ini sudah ada ratusan lansia yang dirawatnya. Sampai ia lupa berapa jumlahnya yang ditemani.
Tidak hanya lansia, tetapi juga anak-anak jalanan yang didampingi olehnya. Saat saya melakukan wawancara (10/10), ada 33 lansia dan 14 anak-anak jalanan yang ia dampingi saat ini.
Antok tidak sendirian, tetapi juga ditemani oleh adiknya yang mempunyai jiwa yang sama. Yunita Maria atau yang lebih akrab disapa Mama Nita. Mama Nita ini yang mengatur keuangan dan makanan yang dikonsumsi oleh para lansia.
“Saat awal-awal mendirikan rumah lansia ini mas, untuk menghidupi para lansia dengan makan tiga kali sehari dengan menu yang berbeda-beda, saya mencari rongsokan (barang bekas), sementara adik saya, Mama Nita, memijat khusus anak dan perempuan. Dari penghasilannya itu lalu dikecakke untuk konsumsi para lansia”, kenang Antok.
Yang dilakukan olehnya, bagi saya, adalah murni karena unsur kemanusiaan. Sementara itu, mengangkat harkat martabat kemanusiaan adalah nilai utama dalam moderasi. Dalam menolong sesama, ia tidak mengenal suku, agama, dan juga status sosial seseorang. (Buku Saku Moderasi Beragama: 2019, hal.14).
Bagi kebanyakan orang pasti akan memandang rendah seorang mantan PSK. Bahkan merasa jijik dengannya. Tetapi tidak dengan Antok.
“Kita tidak memikirkan siapa dia, tapi manusia berhak layak untuk mendapatkan pertolongan, apapun profesinya mereka adalah manusia yang patut dihargai”, terang Antok.
Ada banyak kenangan oleh Antok dengan para lansia yang rata-rata sudah wafat. Di antaranya ada salah satu Ibu yang hidupnya menjadi TKW bertahun-tahun asal dari Blitar, dan waktu pulang—masa tuanya sakit—lalu dibuang anaknya di tempat sampah di daerah Karang Dinoyo Kepung Pare Kediri. Hal seperti itu yang membuat dirinya tidak bisa tinggal diam.
“Sampai saat ini kami tidak ada yang dibayar, karena sifatnya volunteer, ini adalah amanah. Romo Nunu pernah berpesan dan beliau bilang kepada saya, apakah kamu akan diam ketika melihat ketidakadilan di sekitarmu?”.
Menjadikan Rumah Bersama
Siapapun itu yang datang, ia terima. Asal tidak memiliki riwayat penyakit tertentu yang dapat membahayakan yang lain. “Tidak ada syarat mas, asal tempat masih ada, dan tidak terkena penyakit seperti HIV, kami menerima,”jelas Antok.
Bahkan yang berbeda keyakinan pun ia menerimanya, dari golongan mana pun. Sepertinya ia sudah selesai dengan persoalan yang berkaitan dengan ideologi atau keyakinan. Mungkin konteks kaus yang pernah viral dengan quotes “Humanity Above Religion”, menurut hemat saya, cocok dengan konteks ini. Atau dengan bahasa lain yang pernah diucapkan oleh almarhum Gus Dur: “Agama jangan jauh dari kemanusiaan”.
Di rumah lansia ini semuanya diterima. Ketika saya bertanya dari latarbelakang agama apa saja lansia yang pernah menghuni di rumah ini?
“Wah, agamanya macam-macam mas, ada Hindu, Konghucu, Buddha, Nasrani, namun 90 persen Muslim,” ujarnya.
Bagaimana caranya Anda merawat jenazah yang itu berbeda-beda agamanya?,”tanya saya penasaran.
“Ya diibadahkan atau diupacarakan sesuai keyakinannya masing-masing. Karena saya di GUSDURian jadi mengenal banyak jaringan lintas agama,”jawabnya.
Hak-hak para lansia terutama dalam agama yang ia yakini telah diberikan. Demikianlah moderasi. Ia menghormati dan menghargai apa yang diyakini oleh orang lain.
Dalam Buku Saku Moderasi dijelaskan, “orang moderat akan memperlakukan mereka yang berbeda agama sebagai saudara sesama manusia dan akan menjadikan orang yang seagama sebagai saudara seiman.”
Inspirasi bisa datang dari mana saja. Perjalanan Antok masih panjang. Apa yang dia lakukan bersama komunitasnya hari ini adalah bagian dari merawat nilai-nilai yang selalu dipraktikkan oleh para leluhur kita, pendiri bangsa ini. Saya yakin, di setiap sudut ruang wilayah yang kita huni, ada banyak Antok-Antok yang lain, yang ikut serta merawat nilai baik dari moderasi.
Di akhir wawancara Antok mengutip pernyataan Bunda Teresa, bahwa kemiskinan yang terbesar adalah bukan orang tidak bisa makan, tetapi kemiskinan terbesar adalah karena tidak dicintai, tidak dihargai, dan tidak dihormati. Oleh sebab itu, kami berupaya untuk mewartakan karya cinta kasih kepada sesama.
Artikel ini terbit atas kerjasama alif.id dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Kemenag dan LTN PBNU.