Pemerintah sedang memberi masalah. Publik gampang berpolemik. Masalah itu rumah. Berita-berita bermunculan menjelaskan nalar dibuat pemerintah berkaitan gaji, tabungan, dan rumah. Konon, kebijakan ingin mendapat mufakat ketimbang debat-debat. Pemerintah mengaku memikirkan nasib jutaan orang agar memiliki dan menghuni rumah. Pikiran itu berpijak konstitusi dan situasi zaman mutakhir. Sekian hari lalu, pihak pemerintah mengumumkan penundaan kebijakan bertema rumah setelah kritik, keluhan, dan saran berdatangan.
Polemik atau debat rumah gara-gara pemerintah itu disampaikan menggunakan bahasa-bahasa “terang’ tapi bisa saling serang. Imajinasi belum terlalu diperlukan agar pemerintah atau pihak-pihak berkepentingan tak menggampangkan pengertian manusia dan rumah. Mereka dalam membuat kebijakan-kebijakan tak bereferensi puisi.
Kini, kita “cuti” dulu dari debat-debat menantikan keterangan dan keputusan resmi pemerintah. Kita memilih masuk dalam puisi-puisi, mengetahui rumah memang terlalu bermasalah. Rumah tak sekadar alamat atau penghuni. Rumah memiliki makna “imbuhan-imbuhan” melampaui bangunan. Di kesusastraan Indonesia, ribuan puisi mengenai rumah memberi godaan imajinasi beragam: dari hunian sampai kutukan.
Puisi apik tapi pelik digubah AJ Erwin (2014) berjudul “Perawi Tanpa Rumah”. Puisi berpusat rumah tapi mengingatkan pedih, ironi, sangkalan, hasrat, sejarah, kehilangan, dan lain-lain. Petikan agak membuat pembaca merinding: Orang-orang tak lagi/ merindukan rumah./ Orang-orang tak lagi/ mencatat kitab darah./ Orang-orang tak lagi/ beriman pada rumah/ langit, dan kitab darah. Rumah pernah terlalu penting dan penentu. Pada masa dan situasi berbeda, rumah bisa disangkal dan ditinggal. Orang tak wajib berjanji kembali atau rindu.
Kita ikut dibuat meragu: “tak lagi beriman pada rumah.” Kita berpikiran rumah itu mengawali sejarah keluarga atau membentuk arus pengisahan darah-daging dengan tokoh-tokoh utama. Waktu-waktu berlalu dan kejadian berakibat rumah tak selalu tegak sebagai kiblat pengisahan dan pengesahan silsilah keluarga. Erwin memberi seruan telak: “beriman pada rumah”. Beriman itu susah.
Pembaca beralih ke puisi bisa menerbitkan tawa kecil. Puisi itu berjudul “Rumah Tangga” gubahan Joko Pinurbo (2017). Puisi ingin lucu tapi terbatalkan jika pembaca telanjur merenung. Joko Pinurbo menulis: Bertandang/ ke rumahmu,/ aku mendaki/ jalan berundak-undak/ serupa tangga./ Jalan berundak-undak/ yang tersusun/ dari batu bata/ merah hati. Hatimu. Pembaca menduga bakal romantis. Joko Pinurbo masih mempermainkan mata dan perasaan pembaca: Masuk ke ruang/ tamu, aku lanjut/ menapaki tangga/ menuju kopimu.// Tangga kayu/ yang membuat kakiku/ gemetar karena rindu. Pada rumah, ia mengingatkan hati dan rindu. Keinginan masuk ke rumah membawa dan mengikutkan perasaan-perasaan.
Pada abad XXI, puisi-puisi bertema rumah sering mendebarkan. Kesanggupan orang menghuni rumah atau “berumah” dipengaruhi urusan-urusan demografi, bisnis properti, krisis iklim, dan lain-lain. Rumah dalam pembentukan pengertian berbeda dengan kamus-kamus lama.
Kita kembali ke puisi-puisi berlatar abad XX. Puisi itu berjudul “Rumah di Ujung Desa” gubahan Daelan Muhammad (1968). Rumah dijadikan sumber ajaran atau referensi pelbagai masalah. Kita mengutip: Sebuah rumah tua/ terletak di ujung desa/ Di kirinya menjulang pagar/ pengawas hak yang sadar. Rumah itu “milik”. Rumah memiliki batas-batas. Kita biasa melihat batas itu pagar. Di situ, ada kesadaran tentang tanah dan kepemilikan. Bait lanjutan: Sebuah rumah tua/ terletak di ujung desa/ Di kanannya langgar dan sumur/ menuntut budi luhur. Rumah sebagai sumber pengetahuan dan amalan-amalan beradab. Konon, rumah bukan sekadar tempat untuk makan dan tidur. Rumah mengawali pelajaran-pelajaran hidup.
Pada 1969, Djajanto Supra menulis puisi berjudul “Rumah”. Ia memilih mengartikan rumah itu awal dan akhir. Di arus waktu, kemauan memiliki awal tak memastikan sampai dalam pengalaman akhir. Rumah masih di tempat sama tapi orang dirundung bimbang atau terikat atau terpisah. Keimanan pada rumah menjadi pertaruhan tanpa mengharuskan kemutlakkan kalah dan menang.
Djajanto Supra mengisahkan: ada yang tak pernah pulang/ ada yang tak percaya/ damai bisa hidup/ di luarnya// katakan pada maut/ kalau sempat/ sebelum lebih dulu dia atau luput/ apakah dia bertanya tentang alamat// dan lebih tidak terganggu/ ketukan pintu. Manusia dan rumah tanpa janji kemanunggalan. Ia berhak lestari atau gagal dengan ironi.
Ajakan merenung rumah terasakan saat membaca puisi berjudul “Sebuah Rumah di Jepara” gubahan Adri Darmadji Woko (1963). Rumah dalam pikat kesilaman dan ikhtiar memperpanjang kenangan. Ia menulis nuansa dan citarasa kultural: barangkali aku akan merindukan lagi/ sebuah rumah yang sunyi, jalan sunyi setapak/ di sebuah desa di jepara. Kita mengira ada pengajuan biografi. Manusia dan rumah dalam janji kesetiaan. Pengisahan menimbulkan cemburu saat memikirkan rumah-rumah abad XXI. Adri Darmadji Woko dalam ingatan romantis: sinar matahari menerangi desa/ jalanan becek sehabis hujan/ warga desa bertukar kabar/ di sebuah rumah di jepara/ di halaman-halaman rumah jepara/ di desa-desa jepara. Ia memiliki alamat (rumah) kelahiran. Ia pergi meninggalkan rumah tapi merindu dalam pengujian kesetiaan bersejarah.
Kita bandingkan dengan puisi Bakdi Soemanto (1985) berjudul “Rumah di Desa Patuk, Wonosari.” Nostalgia terkuat memang rumah di desa. Pembaca menemukan klise tapi menikmati rumah sebagai asal dan katalog cerita sepanjang masa. Bakdi Soemanto menulis: kami tiba laat, siang itu/ tapi makan tetap siap masih hangat/ nasi uduk dan goreng-ayam/ air sejuk dan senyum keramahan. Kehadiran atau kunjungan ke rumah berada di desa memunculkan ketetapan tata krama, keindahan, kebaikan, kepasrahan, kerapuhan, kebingungan, dan lain-lain.
Kesaksian rumah dalam ketetapan dan perubahan: foto keluarga menyapa/ jiwa yang koyak-moyak/ kedamaian/ menyentuh kehidupan yang luka// di lantai/ kami menemukan bumi/ yang telah dilupakan/ karena kerja yang konon demi peradaban. Kita perlahan mengerti rumah-rumah di desa kadang dalam dilema-dilema biografis dan tanggapan atas perubahan-perubahan zaman.
Puisi-puisi bertema rumah terus ditulis dan menghampiri pembaca. Kita tak menjadikan album puisi itu rujukan saat mengurangi pusing memikirkan kebijakan-kebijakan pemerintah. Rumah bagi pemerintah bukan puisi tapi perhitungan anggaran, ketersediaan lahan, dan sebaran penduduk. Kita masuk puisi-puisi untuk mengetahui rumah bakal “terjebak” pembenaran peraturan (undang-undang) dan politik-papan mengabaikan sastra. Begitu.
Baca Juga
https://alif.id/read/bandung-mawardi/rumah-puisi-dan-pemerintah-b249490p/