Saat Rembulan Tiada Bersinar Lagi

SAAT
REMBULAN TIADA BERSINAR LAGI

Oleh
Kang Ide

Senandung dzikir terucap dalam
kekhusukan malam ini. Betapa besar Dia yang menciptakan segala yang ada di alam
semesta ini. Sungguh segala yang ada dalam diri manusia adalah titipan semata,
tiada yang abadi segalanya hanyalah sesaat saja. Sajadah biru bergambar masjid
alas tempatku bermunjat pada malam ini menjadi saksi betapa birunya hati.
Segala harap terucap dalam isakan tangis, segala kepasrahan dan
ketidakberdayaan jiwa. Gelap sudah dunia ini bila tidak kusebut namaNya dalam
kegalauan jiwa yang terombang-ambing oleh kepahitan dunia. Sudah berapa kali
sujudku dalam tangisan kulakukan kadang kusalahkan diri ini karena tiada mampu
bersabar menerima ujian dan cobaan yang begitu berat.

Sudah setengah satu malam makin
bertambah berdebarlah hati ini dan makin tak menentu. Mengapa calon keponakanku
tiada keluar dari perut ibunya yang tak lain adalah adik kandungku, Siti.
Berita yang begitu mengejutkan bahwa suaminya akan menikah lagi dan meminta
ijin padanya, Siti agar menikah lagi. Tiada awan tiada petir tentu saja berita
itu membuat shock Siti yang sedang hamil delapan bulan tiga minggu maju dari
jadwal sebelumnya. Ketika mendengar berita tersebut terjadi kontraksi kuat
sekali bahkan sudah keluar air ketuban, aku yang ditelpon saat itu segera
datang dan langsung membawanya ke rumah bidan. Ketakutan dan kecemasan
menyelimuti. Mondar-mandir kesana-sini bagai orang linglung. Hampir satu jam
tiada terdengar tangisan bayi sama sekali. Ya Allah, kuatkanlah dan sabarkanlah
hatinya Siti.

 

Tepat pukul jam dua dini hari suara
tangis bayi mungil menggema diruangan bersalin, Akhirnya hati ini plong
senyumpun mengembang. Dengan perasaan riang gembira keketuk pintu ruangan
tersebut dan Bu bidanpun membukakannya, dia mempersilahkan aku masuk untuk
melihat kondisi Siti sekaligus melihat keponakan pertama. “ Selamat ya, Mbak
Zaimah. Siti telah melahirkan anaknya dengan selamat. Laki-laki, gagah dan
ganteng sekali. Ngomong-ngomong dimana suaminya kok saya tidak melihatnya.” Tanya
Bu Bidan dengan penasaran. Tiada kata yang mampu terurai kecuali ucapan terima
kasih banyak dan kukatakan padanya bahwa suaminya lagi dinas keluar kota
walaupun itu adalah kobohongan mulut tapi tidak dengan hati kecilku yang sedang
bersedih akan musibah yang sedang dihadapai Siti. Bu Bidan yang sudah kukenal
itu pun menunjukan kemontokan keponakan kecilku itu. Bayi yang sudah tertutupi
rapat dengan jarik itu begitu tampan,
kulitnya merah dan wajahnya mirip sekali dengan ibunya. Sesekali lidahnya
menjilat-jilat keluar tanda dia haus ingin segera menetek asi ibunya. Akupun
segera meminta ijin kepada bidan untuk membawanya ke sisi sampingnya Siti.
Bidan berpostur gemuk itu melangkah keluar ruang persalinan.

 
Kudekati Siti yang terlihat kelelahan habis berjuang keras antara hidup
dan mati melahirkan pahlawan kecilnya. Dengan senyuman khasnya Siti
mempersilahkan aku meletakan bayinya disamping kirinya dari tempat tidurnya.
Bayi mungil itupun segera mencari-cari arah asi itu dan akhirnya dia
mendapatkan apa yang diinginkannya. “ Mbak aku sudah tidak kuat menjalani hidup
ini. Hanya inilah hartaku, aku ingin Mbak menjaganya anggaplah dia sebagai
anakmu sendiri.” Terdengar suara Siti memulai percakapan. “ tentu Siti, dan
Mbak malah bersyukur jika dia adalah anakku. Kau tahu sendiri Mbak sama sekali
tidak mempunyai anak laki-laki.” Kujawab dengan senyuman bahagia. Dalam
kebisuan malam itu Siti merasa bahwa dia ingin tidur dan aku dimintanya untuk
menunggui anaknya yang sedang keasyikan minum asi.  Dalam penungguan itu tak terasa mata ini juga
terlelap oleh kantuk yang teramat berat. Tiba-tiba kudengar suara ponakanku
menangis keras memecah kesepian malam membangunkan rasa kantukku dan kulihat
dia bergerak-gerak berontak dari belutan jarik
yang mengelilingi tubuhnya karena asinya terlepas dari mulutnya lalu kudekati
dia.

Kubangunkan Siti yang tertidur pulas,
kugerak-gerakkan tubuhnya sekali, dua kali dan berkali-kali tetapi tiada
jawaban, kulihat dibawah kakinya keluar darah makin lama mengalir banyak,
hatipun segera bergetar mulutpun sudah kebingungan mau berkata apa saat ku
dekati wajahnya ku letakkan tangan ini ke hidungnya tiada hembusan dan
airmatapun jatuh terurai tak beraturan. “ Siti, bangunlah……buka matamu.
Jawablah aku, Siti. Apa kau tak ingin melihat anakmu tumbuh besar.” Rengekku
dalam tangis berkepanjangan. Kata-kataku sudah serak memanggilnya namun tiada
jawaban sama sekali. Bidan datang tergopoh-gopoh mendekatiku “ Bu Bidan
tolong….tolonglah Siti. Bangunkan dia dari tidurnya, dia adalah adikku
satu-satunya” jeritku dalam kekalutan. Kusalahkan diriku sendiri kupukuli
kepala berkali kali atas segala kelengahan ini.

Hujan turun mengguyuri bumi,
pohon-pohon menggugurkan daun-daunnya yang kering. Rumahku kini kembali ceria
dengan jerit tangis keponakanku setelah seratus hari kematian Siti yang tiada
terduga sama sekali. Biarlah muara air mata ini berganti dengan keceriaan.
Matahari mulai tenggelam diufuk barat, biarlah semuanya tenggelam dalam album
kenangan. Kini album itu telah kuganti yang baru, lembaran-lembaran baru akan
dimulai diriku dengan Mohammad Nur Aziz, nama yang kuberi untuk keponakankanku
agar dia kelak mempunyai cahaya perkasa seperti sosok Nabi Muhammad ketika
ditinggal mati ayah dan ibunya, setidaknya mempunyai makna paling dalam pada
saat kurasakan waktu kepergian ibunya.

Panggilannya Aziz dan sekarang dia
sudah bisa tersenyum kala melihat aku mendendangkan lagu nina bobo meskipun
hati ini hancur berkeping-keping mengingat Siti, “ Siti anakmu kini sudah
tersenyum padaku tentu alangkah bahagianya kau seandainya kau lihat anakmu yang
sudah tumbuh dan sehat” batinku tanpa terasa airmata jatuh diatas pipi Aziz
lalu kubersihkan pipinya dengan ciuman. Kucium dia berkali-kali tiada tangisan
tetapi tawa yang ada. Kupandangi mata beningnya begitu putih bersih, “ matamu
begitu polos, wajahmu begitu tampan. Siti alangkah senangnya kau nak, jika
ibumu disisimu” dan airmatapun melelah laksana es krim yang mencair satu
persatu jatuh pelan tapi pasti. Hari-hari yang indah hari-hari saat bersama
Aziz makin saja aku mencintainya sepenuh hati bagai anakku sendiri. Tiada
kubedakan antara Dini dengan dua anak perempuanku justru kedua anak perempuanku
gembira, mereka merasa memiliki boneka hidup yang bisa diajak bermain, mereka
begitu menyayangi Aziz. Suamiku pun mendukung agar aku menjaga Aziz dengan
baik, betapa bahagianya semua orang dirumah begitu menyayangi Aziz. “ Siti,
kami begitu menyayangi anakmu semoga dia nanti bisa menjadi kebangganmu kelak.”
Kupandangi foto-foto waktu kau masih kecil , mirip sekali Dini dengannya.

Lima tahun sudah hari-hari bahagia itu
kurasakan bersama keluarga dan Aziz, seperti biasa minggu yang cerah minggu
yang bersemangat untuk memulai kerja bakti keluarga jadwal sudah terbentuk,
bagian dalam rumah sudah bersih semuanya tinggal bagian halaman depan, semuanya
pun dengan semangat membersihkan rumput-rumput yang sudah tumbuh menjulang
keatas. Aziz pun tak kalah sibuk membantu namun juga sekali-kali mengganggu,
rumput yang sudah dikumpulkan dalam satu wadah diangkatnya lalu ditaburkan keatas,
“ kakak, hujan turun nih, hujan rumput kak,” dia sebarkan rumput itu diatas
kepala kedua anak perempuanku, kedua anakkupun mengejarnya dan Aziz
berlari-lari kecil, keduanya menggendong Aziz diatas kepala, diapun geli
tertawa terpingkal-pingkal. Aku yang melihatnya tersenyum lalu kubawakan mereka
makanan kecil dan teh hangat. “ Siti, anakmu kini sudah besar, dia begitu
cerdas dan pintar seperti kamu. “ 
kenangku saat kulihat kelincahan Aziz.

Siti adalah gadis juara, dikamarnya ada
sepuluh buah piala dia dapatkan dari kerja otaknya. Hampir setiap sekolah dari
SD sampai SMA dia adalah sang juara kelas. Bahkan ketika dia masuk ke
universitas negeri luar biasa encer otaknya dia berhasil menggondol predikat
komlaut di jurusan kesehatan. Dari segi fisik dan kepintaran aku jauh dari dia.
Dia cantik, wajahnya mirip Desi Ratnasari, ngomongnya ceplas-ceplos, begitu
lihainya dia berbicara jikalau dia diskusi bersama orang lain. Aku tak tahu dia
yang begitu sempurna menurut orang awam menikah dengan seorang yang bernama
Warsono yang pekerjaan hanyalah seorang Polisi jika dipikir-pikir tidak sepadan
sama sekali. Kala menikah dengan Warsono, Siti sudah berprofesi sebagai Bidan
PNS. Kesibukannya luar biasa baginya hidup itu adalah melayani orang lain.

Banyak orang menyukai sosok Siti yang
begitu Supel tiada pamrih jika ada lain membutuhkan bantuannya. Malam-malam
terdengarlah suara ketukan dirumahnya, seorang laki-laki setengah baya meminta
Siti membantu persalinan istrinya yang sudah keluar air ketubannya dengan
tanggap Siti pun bersama lelaki tersebut segera menuju kesana setelah berhasil
menyelesaikan pekerjaanya sebagai Bidan, Sitipun segera berpamit kepada
pasangan muda tersebut dengan tersipu malu pemuda tengah baya itu menyerahkan
lembaran uang ala kadarnya,” Bu Bidan ini yang kami punya, mohon diterima
dengan ikhlas” kata lelaki baya itu. Dengan tegas Siti hany berujar, “ biarlah
uang ini hadiah untuk anak Bapak yang baru saja lahir. Selamat ya pak, semoga
bahagia selalu.” Pemuda baya itu tersipu malu lagi saat Siti menyerahkan
kembali lagi uangnya. Mulianya akhlaq Siti tapi hal itu tidak diimbangi dengan
kondisi rumah tangganya, suaminya ternyata punya kebiasaan buruk, dia senangnya
marah-marah tiada menentu. Segala yang dia mau harus segera dan cepat.

Lima tahun sudah pernikahan namun Siti
dan Warsono belum dikarunai seorang anak. Warsono selalu menyalahkan Siti,
perilakunya memulai memburuk saja dia suka pulang malam bahkan terkadang mabuk.
Beberapa bulan kemudian tanpa terduga Siti telah mengandung hampir dua bulan
bukannya senang dengan kondisi istrinya namun makin menjadi saja perilaku
Warsono. Terakhir berita didapat bahwa Warsono telah menghamili anak gadis
orang lain dan harus menikahinya. Sampai akhirnya Siti harus meninggal ketika
melahirkan Aziz.

Sore hari yang cerah secerah hati kami,
aku, suamiku, kedua anak perempuanku dan Aziz akan berangkat menuju toko
perbelanjaan dikota dan alhamdulillah bertepatan tanggal muda, gajiku dan suami
yang berprofesi sebagai guru cukup untuk membeli baju-baju bermerek yang cocok
untuk golongan menengah kebawah. Namun entah mengapa sore ini hatiku tidak
enak, perasaanku tiada menentu bahkan terkadang mata ini cedutan (bergerak
sendiri: ) kata orang jawa ini pertanda tidak baik. Aku segera menampik
perasaan yang was-was.

Kamipun segera menuju keluar pintu
rumah namun tiba-tiba ada sebuah mobil kijang tahun sembilan puluhan berplat
nomer Jakarta berhenti didepan rumah dan keluarlah seseorang yang aku benci
selama ini dan tak akan kulupakan seumur hidup, ya dialah Warsono mantan
suaminya Siti dan ayah kandungnya Aziz. Dengan wajah kerasnya dia memasuki
pagar dan melihat kami dan tatapan matanya langsung menuju ke Aziz, akupun
segera menggendong Aziz erat-erat. “ mbakyu tanpa basa-basi, mohon maaf aku
harus membawa anakku ini,” tanyanya padaku dengan keras. Suamiku segera
menghalangi tangannya yang ingin mengambil paksa Aziz dari gendonganku. “ War,
apa gunanya Aziz bagimu. Sekarang kau telah bahagia dengan wanita lain. Siti
telah kau tinggalkan sampai meningggal, lalu dimana tanggung jawabmu sebagai
seorang laki-laki,” bentak suamiku, aku tak menyangka suamiku bisa berkata
keras padahal dia adalah sosok pendiam. “ Aziz sudah bahagia dengan kami,
jangan kau ganggu dia.” Tegasnya. Siapa yang mengira tiba-tiba pistol Warsono
segera dikeluarkan dari sarungnya dan mengarahkan ke kepala suamiku, “ jangan
banyak bacot kami segera serahkan anakku ke sini atau suamimu ku tembak,”
bentaknya keras kepadaku.

Dengan ketakutan kuserahkan Aziz ke
Warsono. Aziz menangis keras ketika berada dalam gendongan Warsono, dia
berontak sekuat tenaga ingin turun dan merangkul kepadaku, dipukulinya wajah
bapaknya, ditendangnya perut Warsono sambil memanggil namaku “aku mau sama
budhe, lepaskan” jeritnya. Akupun hanya bisa menangis sekeras-kerasnya, “ War, jangan
kau ambil Azis, biarkan dia hidup bersamaku,” harapku pada Warsono. Aku hanya
bisa merengek seperti anak kecil ketika langkah Warsono mulai meninggalkan
halaman depan rumah, kedua anakku hanya bisa menangis ketakutan sedangkan
suamiku terdiam tak tahu harus berbuat apa. Mobilpun mulai melaju pelan-pelan
menuju kedepan meninggalkan rumah, aku segera berlari cepat mengejar mobil itu,
“Aziz, jangan pergi nak. Aziz aku sayang kamu. Aziz…….” Ucapku dalam
keputusasaan kala mobil itu telah tenggelam bersama matahari.

Hari-hariku sekarang berubah menjadi
kelabu. Sepi yang terasa tiada tawa riang Aziz, tiada rengekannya ketika
meminta susu, tiada tangisnya yang mau tidur jika tak gendong. Alangkah sepi
hari-hariku, hidup seakan tiada bermakna sama sekali. Kami sekeluarga hanya
membisu seperti malam-malam sepi mengenang Aziz tersayang, Aziz yang malang.
Kusalahkan diri ini untuk yang kedua kalinya mengapa aku tak mempertahankan
Aziz, membiarkan dia pergi bersama Bapaknya yang tak bertanggung jawab

 

Kubuka album foto Aziz sejak dari bayi
sampai sekarang. Kadang aku tersenyum sembari airmata keluar terkadang pula
isak tangis keluar tersedu-sedu kala teringat amanah Siti sebelum meninggal
dunia. Dialah Aziz keponakanku yang masih ada ikatan darah denganku setelah ibunya
meninggal. Kesepian, kekosongan itupun hanya terobati kala sepertiga malam
tiba, kuadukan segalanya pada sang Pencipta atas segala kesedihan mendalam ini,
atas segala kerinduan ini pada Aziz tercinta. Biarlah berurai airmata ini maka
legahlah segalanya dalam kepasrahan takdir.

Aziz, bagaimanahkah hidupku tanpamu,
bagaimanakah kuharus menjalani hari-hari sepi ini bila kau tiada disisiku.
Kabar berhembus Azizku kini sudah tidak di daerah ini lagi, dia bersama
bapaknya beserta ibu dan adik tirinya pindah ke Jakarta. Sakitnya hati ini
begitu dalam. Pikirian selalu was-was dengan keadaannya, akankah dia mendapat
perlakuan baik dari bapak dan ibu tirinya. Tuhan, hanya pada-Mu aku memohon
lindungilah dia dari segala bala. Begitu sayangnya Budhe padamu Aziz, rinduku
serasa hambar bila tiada kau didepan menari-nari sambil bernyanyi lucu, sungguh
ya Allah aku tak sanggup lagi mengenang Aziz dia begiti lucu dan menawan
hatiku. Biarlah segalanya ku pasrahkan kepada yang membuat hidup, Dialah
penentu segala takdir, dan aku percaya akan garis hidup di alam semesta ini
bahwa mungkin inilah jalan yang harus aku tempuh, berpisah dengan keponakan
laki-lakiku tersayang. 

Delapan tahun sudah berlalu tapi tiada
kabarmu Azizku sayang, bagaimanakah keadaanmu sekarang, nak? Apakah kau bahagia
dengan orang tuamu sekarang? Mungkin kini kau telah besar dan pintar seperti
ibumu. Ah biarlah kau disana aku disini yang penting Aziz bahagia selalu. Aku
harus hidup bersama kehidupanku meskipun tiada Azizku, biarlah hari-hariku
kembali seperti dulu sebelum Siti dan Aziz hadir dalam kehidupan masa-masa
menjelang tua ini. Aku harus kembali menjalani kehidupan sehari-hari menjadi
Guru disalah satu sekolah SMP negeri didaerah ini. Biarlah aku belajar
melupakan segala yang pernah ada dalam ingatan yang saat ini mengendap dalam
hati kecil.

Pagi-pagi ini aku harus berangkat ke
sekolah tempat aku mengajar di SMP 02. seminggu yang lalu aku telah berjanji
kepada murid-murid dikelas delapan bahwa hari ini ada praktek biologi yaitu
membedah perut burung. Kalau banti sudah selesai prakteknya aku berjanji untuk
menggoreng burung dara tersebut bersama-sama sekaligus merayakan atas
keberhasilan nilai biologi yang mendapat nilai rata-rata anak delapan puluh,
aku bangga pada mereka semua yang tiada bosan untuk terus belajar biologi.
Makanya pagi ini aku harus membawa wajan, kompor dan pisau agar persiapan
awalku nanti tidak mengurangi jam mengajar diawal pelajaran. Pukul tujuh pagi
tepat jam praktek pun akan dimulai dan aku sudah mempersiapkan segalanya di laboratorium
biologi yang lumayan besar tempatnya daripada dikelas. Anak-anak begitu
antusias mendengarkan penjelasanku sebelum praktek ketika aku akan menjelaskan
teori yang terakhir tiba-tiba Pak Mirjan kepala sekolah mengetuk pintu dan
mengatakan bahwa ada murid baru pindahan dari Jakarta.

Tanpa basa-basi banyak Pak Mirjan
segera menyuruh murid baru itu masuk. Tiada awan, tiada hujan maupun petir
tiba-tiba airmata ini jatuh berlinang membasahi kacamata minusku, dia dan
dialah yang kutunggu selama delapan tahun yang lalu. Tak salah lagi dialah
keponakanku yang selalu ada dalam setiap doa-doaku, Mohammad Nur Aziz nama yang
kuberi setelah Siti meninggal. Aziz melihatku dengan perasaan tak menentu
dengan berlari kencang menujuku yang tak kuasa menahan ketakjuban takdir, dia
segera mendekap aku erat-erat. Perasaan senang dan terharu bercampur dalam deru
tangis pagi itu, kuciumi pipi dan kening Aziz lalu aku tatap dari ujung rambut
sampai kakinya untuk membuktikan bahwa ini adalah Dini anak dari Siti adik
kandungku. Sujud syukur berkali-kali atas segala kemurahan takdir Allah pada
hambanya yang tiada kuasa berbuat, “ ya Allah terima kasih atas segalanya,
Engkau telah pertemukan aku dengan Aziz yang selama ini kurindu setiap malam,
sungguh Engkau maha pengasih lagi maha penyayang.” Doa sujuku terlontar. Semua
murid dan Pak Mirjan hanya bisa terdiam dalam keterharuan suasana saat itu.
Mereka semua memberikan ucapan selamat atas bertemunya keponakaan tersayang,
aku dan Aziz hanya bisa tersenyum bahagia sambil sesekali menyeka airmata
dengan sapu tangan.

Bapak nya Aziz, Warsono sudah tahu
bahwa aku adalah gurunya dan alhamdulillah dia tidak memindahkannya bahkan
sesekali kami sedikit demi sedikit mulai mau bertegur sapa atau sekedar
menanyakan kabar. Aku hanya bisa berharap semoga dia telah berubah menjadi
lebih baik. Sebagai manusia biasa aku harus bersikap sebagai makhluk Allah yang
didalam suara hati ini ada salah satu sifatNya Al-Ghafur yang maha pengampun,
aku anggap ini adalah urutan cerita hidup manusia. Sudah kumaafkan segala
perbuatan Warsono yang lalu dan Alhamdulillah dia mau bersimpuh dikakiku dan
suamiku seraya meminta maaf atas segala khilaf dan kesalahan yang lalu.
Sekarang aku dan mantan suami Siti itu sudah tiada lagi perasaan tidak suka
atau perasaan dendam semua sudah dimulai dari nol, menjaga silaturahmi yang
sudah terputus delapan tahun yang lalu. Aku pun semakin senang dengan
ditugaskan kembali lagi Warsono di daerah ini sekaligus aku bisa memuaskan
rindu yang tertahan itu pada Aziz

Sudah sebulan aku merasakan bulan dalam
hatiku bersinar lagi dengan kehadiran Aziz. Betapa bahagianya hati ini tiada
terucap dengan kata-kata kala kami sekeluarga dan Aziz berlibur ke pantai pada
hari minggu, tempat dimana Aziz inginkan sejak kecil. “ terima kasih budhe,
telah mengajak aku kesini. Inilah tempat yang kuimpikan selama ini.” Ucap Aziz
seraya memeluk pundakku. Aziz dan kedua anak perempuanku bermain air laut yang
kadang pasang surut. Ketika air pasang mereka berlari mendekati pinggiran
pantai tapi jika air itu surut mereka dengan wajah kegagah-gagahan mereka
mengejar air laut dari belakang lalu ketika air kembali pasang lagi menerpa
tubuh, mereka tertawa-tawa bersama-sama melihat saku celana mereka yang penuh
dengan pasir lalu mereka mengeluarkannya dan menghamburkan pasir itu ke udara.
Yang tak kalah menariknya, ketika aku sedang berjalan-jalan di pasir putih itu
bersama suamiku tiba-tiba dari belakang Aziz dan kedua anakku berlari-lari
cepat dan melompat kepundak kami lalu kami tersungkur jatuh, dengan muka marah
aku gelitiki tubuh mereka, kami bersama-sama saling tertawa terbahak-bahak.
Sore mulai akan tiba, sebelum pulang kami minum es kelapa muda. “ betapa
nikmatnya hidup ini, Siti seandainya kau bersama kami, tentu…” tangan suamiku
segera menutup bibirku dengan jarinya, “ sudahlah bu, Siti sudah bahagia dialam
sana. Jangan kau buat dia bersedih lagi dengan rasa rindumu itu.” Suara suamiku
mengalun pelan seperti suara angin yang bertiup menerbangkan rasa rinduku pada
Siti.

Sudah dua hari Aziz tidak masuk
sekolah, apakah dia sakit setelah kepergiannya bersamaku ke pantai kemarin. Aku
menyesal telah mengajaknya terlalu malam pulang kerumah. “mendingan aku kerumah
Aziz daripada pikiran ini tak menentu” niatku. Sepulang sekolah kukayuh sepeda
tua ini menuju kerumah Aziz yang jaraknya hampir tiga kilometer dari rumahku.
Setibanya didepan rumah Warsono, kulihat rumah yang dulu ditempati dengan Siti
sekarang sudah berubah. Terasnya sekarang sudah dikeramik dan dibuat kubah
kerucut yang dicat hijau laut makin menambah kesejukan. Ku pencet bel rumah
tiga kali. Dibukalah pintu rumah itu, keluarlah seorang Wanita berumur tiga
puluhan, “ oh…ini toh mbakyu nya si Siti yang mati terkapar saat melahirkan si
bandel Aziz” suara wanita itu terus memplototi wajahku dan sesekali bibirnya
meludah menghinaku. Dengan hati yang panas aku segera membalasnya, “ jadi ini
juga toh wanita murahan yang menghancurkan rumah tangga Siti. Aku baru tahu
rupanya, wajahmu tak secantik wajah Siti. Kulitmu aja belang seperti tidak pantas
bila dibandingkan dengan Siti. Dasar wanita liar.” Jawabku dengan sengit. Aku
tak rela wanita itu menghina adikku dan Aziz yang kucintai. “ pergi dari
sini….wanita kampung ” sahutnya dengan keras. Aku tak mau pergi dari hadapannya
sama sekali. “ aku kesini bukan menemui wanita jalang seperti kamu, aku mau
bertemu Aziz keponakanku. Temukan aku dengan dia maka aku akan keluar dari
rumah panas ini ” kataku dengan tegas. Tiba-tiba wanita itu segera menjambak
rambutku dengan kuat dan akupun tak mau kalah kujambak pula rambutnya. Dan
terjadilah pertempuran luar biasa yang belum pernah ku alami. Teriakan dan
jeritanpun  sudah tak dapat dihindari
lagi. 

Dari dalam muncullah Warsono bersama
Aziz yang sedang memakai jaket tebal. “ sudah-sudah, hentikan pertengkaran ini ”
lerai Aziz dengan suara lantangnya. Aziz segera memegang tanganku, “ budhe,
Aziz tidak sakit kok” suara Aziz menghentikan tanganku yang ingin segera
meninju mulut kasar istri Warsono. Ku usap keringat Aziz yang keluar dari
sela-sela jaket tebal dengan sapu tangan. “ Aziz tidak apa-apa kan, Aziz tidak
sakit kan. Budhe khawatir dengan keadaaanmu, le” tanyaku. “ Aziz, Cuma demam
sedikit. Nanti juga bakalan sembuh. Sekarang budhe segera pulang saja. Malu
dilihat tetangga.” Suara Aziz pelan dan mengajakku keluar halaman untuk segera
pulang. Sedangkan istri Warsono segera dibawa masuk paksa. Sebelum pulang Aziz
segera membetulkan rambutku dengan tangannya yang kini sudah semakin perkasa.
Aku pun segera melambaikan tangan tanda kepulangan. Dan kukayuh sepeda tua
dengan senyuman setelah melihat keadaan Aziz yang baik-baik saja.

Mengapa pagi ini hujan kok tidak
berhenti sejak jam empat pagi sampai jam enam lewat lima belas menit tiada
pertanda akan berhenti, bagaimana ya nanti dengan keberangkatanku kesekolah, biasanya
aku berangkat dengan mengendarai sebuah sepeda onta. Berkali-kali aku melihat
jam tangan yang kutaruh disebelah kiri tangan tapi belum juga tiada pertanda
hujan akan berhenti, Bagaimana ini, aku harus berangkat sekarang juga” batinku
namun entah mengapa pagi ini aku mendengar suara gagak bersiul ketika aku tadi
sholat shubuh. Apakah ini pertanda buruk, tapi ah aku tidak percaya dengan
hal-hal yang berbau supranatural atau paranormal. Tiba-tiba telepon berdering
keras sekali mengkagetkan kecemasan pagi ini. Segera ku angkat gagang telepon
itu, “ mbak, Aziz mbak……?. Siapa ini ya? Jawabku pelan. “ Warsono! Aziz jatuh
dari sepeda motornya saat pagi ini berniat mau ngantar mbak kesekolah, ! suara
warsono yang kelihatan panik, “ Dia sekarang dibawa ambulan di rumah sakit
islam, mbak aku tunggu di Rumah sakit” suara semakin panik kelihatan
tergesa-gesa sekali dan segera menutup telepon. “ ujian apalagi ini ya Gusti
Allah pada Aziz, selamatkan dia” doa terlantun dalam kepanikan pula . Dengan
cepat segera kupanggil ojek yang ada diseberang jalan.

“ Aziz, ini budhe le. Buka matamu le,
jangan kau diam saja” tanyaku terus kepada Aziz yang saat itu dibawa oleh geledekan pesakitan dan tertidur dalam
keadaan luka parah, kepala bagian belakang terus mengeluarkan darah segar,
mengalir banyak membasahi penutup busa dan jatuh ke lantai. “ ya Allah jangan
biarkan peristiwa itu terulang lagi, “ batin ini menjerit dalam kelemahan jiwa.
Aziz-pun segera masuk ruangan UGD dan disarankan harus dioperasi sekarang juga.
Beberapa jam kemudian dokter yang akan mengoperasi Aziz sudah datang. Hanya doa
dan airmata yang terucap dalam kepasrahan sekaligus kekalutan, berkali-kali ku
hitung jari-jari ini berdzikir memohon keselamatan pada Aziz. Setelah operasi
selesai, dokter yang mengoperasi Aziz mengatakan bahwa Aziz harus dioperasi
lagi. Kuucapkan banyak terima kasih kepada dokter yang telah sigap menolong
Aziz.

Kulihat Azizku sayang Azizku malang
terbaring lemah tak berdaya di kasur. Seluruh kepalanya hampir terbaluti semua
oleh perbann hanya mata, hidung, dan mulutnya saja yang terlihat. “ aku tidak
boleh tertidur lagi, aku tak mau lengah lagi seperti aku kehilangan Siti.”
Pikirku. Airmata tak terasa jatuh diatas bumi kala aku melihat luka yang ada
dikepalanya dan luka yang ada dihatinya selama ini yang sering tidak
diperlakukan baik oleh ibu tirinya cerita Azizi ketika istirahat. “ betapa
besar derita Aziz, sabar ya le” bisikku. Hampir seminggu Aziz belum juga
sadarkan diri terkadang dia hanya mengeluh kesakitan namun tidak terbuka mata.
Betapa nestapa hati ini, “ ya Allah yang maha penyayang, sayangilah Aziz sudah
terlalu banyak kisah sedih yang dia jalani selama ini” sembari kucium  pipinya tiada tertahan butiran embun hangat
keluar dari kedua mata. Ingin rasanya aku gantikan segala luka yang dideritanya
kini, biarlah aku yang menanggung segala penderitaanmu Aziz ku sayang. Ku
selimuti tubuhnya yang terasa dingin itu aku tak mau dia kedinginan, tiba-tiba
terdengar suara Azizi, “ dingin… budhe aku kedinginan, tolong budhe aku kedinginan”
segera kudekap tubuhnya erat-erat, seraya ku katakan, “ jangan takut le, budhe
selalu disampingmu selalu.” Kupeluk dia dengan kasih sayang hampir seperempat
jam lalu keluarlah keringatnya dan kubasuh dengan handuk sungguh tiada lagi
suara yang bisa keluar dari mulut ini kecuali tangis sesegukan.

Alhamdulillah setelah masa seminggu itu
Aziz ku sayang bisa membuka matanya dan berbicara meskipun hanya pelan-pelan, “
Budhe aku kangen sama ibu aku ingin bersamanya” entah apa yang diucapkan saat
itu aku hanya bisa mengatakan “ ibumu sudah di surga, dia akan merasa senang
jika Aziz segera sembuh” dia terbatuk-batuk meminum obat cair yang aku minumkan
saat itu, “ tapi Budhe Aziz tadi bermimpi ketemu ibu.” Aku cuma bisa menangis
mendengar dia menceritakan mimpinya lalu kukecup pipinya, “ sudah Aziz jangan
ceritakan lagi Budhe gak mau mendengarkan lagi. Budhe gak mau kehilangan kamu
sesudah ibumu meninggalkan budhe sendiri” setelah ku minumkan obat Aziz
tertidur pulas.

Dokter mengatakan bahwa hari ini Aziz
akan dioperasi untuk keenam kalinya, aku berharap dia akan akan segera sembuh
dan aku berjanji kalau dia sembuh aku akan mengajaknya pergi bertamsya lagi ke
pantai tempat yang selama ini dia inginkan sejak kecil. Pukul sembilan pagi ini
operasi akan dilakukan. Dalam sujud sholat dhuha tiada doa yang terucap kecuali
demi kesembuhan Aziz semata. Hampir satu jam Aziz belum keluar dari ruang
operasi dan Alhamdulillah satu jam lebih empat puluh menit dia keluar dari
ruangan menakutkan itu tapi mengapa para perawat itu membawa Aziz tergesa-gesa
dan memindahkan ke ruangan unit perawatan intensif tidak dikamar yang selama
ini tempati.

“Ada apa ini”, segera kususul mereka
dari belakang. Saat aku mau masuk keruangan itu para perawat itu tidak
mengijikan masuk. Airmata ini hanya bisa berurai lagi saat aku lihat keadaan
Aziz dari balik pintu kaca ruangan tersebut. Entah apa yang terjadi, yang aku
tahu pasti bahwa dikepala Aziz terlihat jelas ada tetesan darah. “ takdir
apalagi ini ya Allah yang akan kau timpakan pada Aziz” pikirku dalam keresahan
paling dalam. Tim Dokter yang berjumlah dua orang itu segera melewati diriku
yang berdiri mematung sejak dari tadi memasuki ruangan dimana Aziz dipindahkan.
Sekali lagi aku hanya bisa mengintip kerja para dokter dan perawat itu dari
balik pintu kaca. Setelah hampir setengah jam salah satu perawat yang memakai
jilbab mempersilahkan aku masuk, “ anda budhenya Aziz, “ aku segera
menganggukan kepala “ silahkan masuk bu, Aziz selalu memanggil terus nama njenengan.” 

Aku segera memasuki ruangan yang serba
putih bersih itu. Kulihat para dokter dan perawat itu mengeluarkan airmata.
Entah apa yang terjadi pada Aziz. Dengan langkah pelan kudekati tempat
pembaringan Aziz, “ Budhe, aku sayang budhe. Tapi aku mau bersama ibu, aku
kangen sama ibu” ucapnya saat melihatku berada disampingnya. “ budhe aku
melihat disana ada awan putih bersih melayang-layang diatas sana, apakah itu
ibu budhe” tanyanya padaku namun tiada jawaban kata yang terucap yang ada
sekali lagi hanyalah airmata. Perasaanku tidak menentu, dan kulihat alat
pendeteksi jantung itu tiba-tiba garis atas hanya sesekali naik turun palan dan
pelan sekali. Kurangkul Aziz dengan sepenuh cinta yang ada, “ Budhe aku ingin
bermain bersama awan putih itu, tapi aku ingin mengajak teman-temanku bermain
disana juga” katanya dengan pelan, “ budhe awan putih itu semakin mendekat
kesini, aaa..ku caaaa..pek, aaaa…ku ingin tiii….dur “  Aziz pun menutup matanya pelan-pelan dan
senyumpun mengembang dari bibir Aziz, seketika itu dari alat itu terdengar suara
tettttttttttttttttt yang berarti sudah tiada lagi denyut jantung yang
bergetar 

“ Aziz………jangan tinggalkan budhe
sendiri, aku sayang Aziz. Buka matamu Aziz ayo buka matamu jangan membuat budhe
bersedih lagi” aku tak menguasai diri ini aku hanya bisa berteriak keras tidak
mempercayai kematiannya. Dan terlihat para dokter dan perawat hanya duduk
membisu melihat sikapku seperti orang ling-lung dan dibelakangku Warsono hanya
diam mematung sambil sesekali menyeka airmatanya, segera ku dekati dia, “War, ayo
bangunkan anakmu. Tolong War aku tidak bisa hidup tanpanya. War kamu jangan
hanya diam saja. Bangunkan Aziz sekarang juga. “ ku bentak dan kegerak-gerakan
tubuh Warsono namun tiada jawaban yang aku dapatkan darinya kecuali airmata
Warsono yang jatuh berlinang lalu aku mendekati para dokter dan perawat “
Dokter, Aziz belum mati kan. Sembuhkan Aziz dokter aku akan membayar berapa pun
meskipun rumahku jadi jaminannya” rengekku kapada dokter seperti anak kecil.
Akupun hanya duduk bersimpuh dibawah pembaringan Aziz,” mengapa semua tiada
manjawab, apa kalian bisu jawab…” teriakku mengeras diruangan yang dingin
ini,  ” ya Allah kenapa ini terjadi pada
Aziz. Sedini inikah dia kau ambil dia dariku. Aku belum mau kehilangan dia. “
salah satu perawat yang tadi mempersilahkan aku tadi masuk itu mendekatiku “
sabar ya bu, istiqfar, semua yang ada didunia tiada kekal abadi” katanya dengan
lembut sambil memegang tangan dan menuntunku untuk berdzikir.

Musim hujan kini telah berganti dengan
musim kemarau, daun-daun berjatuhan
diatas
tanah yang terasa hanyalah kering dan tandus. Begitu juga hati ini kala
kenangan terindah bersama orang terkasih itu telah berguguran. Alangkah nestapa
hati ini kala segala yang ada didunia ini tidak sesuai dengan harapan kita,
dalam sepertiga malam ini aku hanya bisa berpasrah dengan segala takdir yang
ada biarlah berputar laksana roda yang berputar. Biarlah kepergian Aziz bersama
ibunya membuat aku terluka tapi aku sadar bahwa malam hari aku berganti dengan
pagi hari yang cerah. Hidup ini harus ada dan hanya berpasrah. Selamat jalan
Aziz, selamat jalan Aziz semoga kau bahagia didunia lain sana. Dalam setiap
doa-doa malamku akan kupanjatkan untuk kalian, Siti dan Aziz.
Kalian lah
rembulanku dan k
ini
rembulan itu sudah tiada bersinar lagi dan biarlah rasa kangen ini terbawa
angin yang berhembus bersama debu yang berterbangan.  

teruntuk semua orang

yang mencintai cinta

ternyata cinta tak selamanya kekal

semua yang datang pasti pergi

          kalau
aku boleh meminta

          aku mau
cinta selamanya

          tapi
inilah dunia

          semua
hanya fana

                   cintailah
cinta sewajarnya

                   karena
suatu ketika

                   bisa
jadi terluka karenanya

                   tapi
aku percaya cinta bersama sang pemberi cinta

                   itu
yang membuat tenang bersamaNya

https://www.potretsantri.com/2021/06/saat-rembulan-tiada-bersinar-lagi.html