Santri Membaca Zaman (4): yang Lebih Perkasa dari Corona

“Harta yang paling berharga adalah keluarga

Istana yang paling indah adalah keluarga

Puisi yang paling bermakna adalah keluarga

Mutiara tiada tara adalah keluarga”

Penggalan lagu di atas tentu saja tidak asing bagi siapapun yang pernah menikmati film Keluarga Cemara. Sebuah lagu yang terasa relevan dengan kondisi terkini bumi pertiwi, yakni pandemi Corona yang tak kunjung berpamitan. Ketika seseorang dinyatakan positif terjangkit Corona, maka siapapun cenderung menjauh demi memutus rantai penyebaran. Tapi ada yang tetap menemani dan tak pernah pergi, yaitu keluarga. Tak berlebihan jika keluarga disebut dengan pelbagai panggilan indah seperti harta yang paling berharga, istana yang paling indah, puisi yang paling bermakna, hingga mutiara tiada tara.

Sederhananya, Corona memang datang secara tiba-tiba dan menyerang secara membabi buta. Siapapun seolah kewalahan menghadapi serangan yang tak berkesudahan ini. Siapapun dibuat tak berdaya olehnya, hingga semakin hari semakin susut teriakan lantang jumawa para manusia yang semula meremehkan Corona. Namun masih ada satu hal yang jauh berkali-kali lipat lebih perkasa dari Corona. Hal itu adalah keluarga dan kata-kata.

Yang Menjadi Masalah Saat Corona Tiba

Karena Corona mudah menyebar melalui kerumunan, maka pembatasan aktivitas menjadi pilihan yang harus dilakukan. Tentu saja hal ini bukan masalah yang mudah dihadapi oleh seseorang yang sudah terbiasa hidup berdampingan serta membutuhkan orang lain. Belum lagi kisah tentang ribuan orang yang terpaksa kehilangan pekerjaan karena tempat bekerja yang tak mampu bertahan dari jerat Corona. Juga cerita anak-anak yang mulai tak betah terus dikurung di dalam rumah, sebab dunia anak-anak adalah dunia kebebasan yang oleh Ki Hadjar Dewantara dianalogikan sebagai taman. Dunia anak-anak adalah dunia yang menyenangkan, sedangkan terus menerus di dalam rumah adalah hal yang membosankan.

Baca juga:  Rama Mangun dan Gus Dur: Persahabatan Antariman

Kondisi seperti inilah yang membuat seseorang merasa tertekan secara mental. Jika sudah tertekan secara mental, maka ia dapat disebut sebagai seseorang yang tidak sehat. Senada dengan yang disampaikan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tentang definisi sehat itu sendiri, bahwa sehat adalah kemampuan mengembangkan diri secara sosial; spiritual; dan mental. Belum lagi pepatah yang menyebutkan bahwa mens sana in corpore sano yang berarti di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat. Jika kondisi jiwa seseorang melemah, maka kesehatan fisiknya pun juga ikut melemah. Saat-saat seperti inilah yang membuat Corona lebih mudah dalam melayangkan serangannya. Oleh sebab itu, cara menghadapi Corona tak hanya menerapkan protokol kesehatan, tetapi juga perlu menjaga kewarasan.

Ketika seseorang telah memiliki jiwa yang sehat, maka tekanan (stres) karena pandemi yang belum kunjung mengundurkan diri dapat dikelola (dikendalikan) dengan lebih bijaksana. Sementara itu, di sisi lain Corona tak hanya mengancam kesehatan fisik, tetapi juga mengintai kesehatan mental manusia.

Sebut saja seperti rasa bosan gegara ruang gerak yang sempit, rasa cemas atas segala hal yang semakin terbatas, rasa takut atas keberadaan virus Covid-19, ketaksiapan dengan perubahan pola komunikasi yang cenderung pola jarak jauh, belum lagi tentang stigma-stigma negatif yang beredar tentang Covid-19, hingga kebingungan mencari informasi yang paling bisa dipercayai.

Masalah-masalah yang kompleks ini butuh segera mendapatkan solusi dan sebagaimana yang telah disebutkan sejak awal, solusinya adalah keluarga.

Solusinya adalah Keluarga

Semua aktivitas yang berbasis work from home menjadikan keluarga sebagai pihak yang paling berperan dalam menunjang aktivitas-aktivitas tersebut. Setiap anggota keluarga harus saling mengetahui hal yang dibutuhkan oleh masing-masing orang. Misalnya ayah yang membutuhkan suasana tenang untuk menyelesaikan pekerjaan kantor atau ibu yang membutuhkan bantuan untuk menyiapkan segala kebutuhan setiap hari.

Baca juga:  Pastor Desmond Tutu dan Dukungan bagi Kemerdekaan Palestina

Selain saling mengetahui kebutuhan, setiap anggota keluarga juga perlu mendengarkan keluhan dari masing-masing anggotanya. Hal utama yang paling dibutuhkan dalam situasi yang tidak menentu saat pandemi adalah saling bergenggaman tangan dan saling mendengarkan suara setiap anggota keluarga. Hal terakhir yang tak boleh dilupakan adalah saling memberi rasa nyaman. Rumah menjadi salah satu tempat yang paling aman di masa pandemi, maka menjaga kenyamanan penghuninya adalah hal yang tak bisa ditawar.

Keluarga dalam arti umum tentu saja meliputi ayah; ibu; dan anak, sedangkan arti keluarga dalam dunia pesantren adalah kyai, ustaz, dan para santri. Tiga-tiganya berperan penting dalam menghadapi situasi pandemi seperti saat ini. Komunikasi yang baik antara kyai, ustaz, dan santri menjadi kunci kesiapsiagaan pesantren menghadapi sengkarut pandemi yang belum kunjung pergi.

Keluarga juga harus menjadi filter atas stigma-stigma negatif yang beredar di tengah-tengah masyarakat ihwal Covid-19. Di kalangan masyarakat, banyak yang masih memandang hina penderita Covid-19 hingga memunculkan sikap diskriminatif seperti mengusir dan mengucilkan.

Padahal menurut informasi dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Covid-19 dapat disembuhkan dengan pola hidup yang sehat dan protokol kesehatan yang ketat. Belum lagi stigma negatif yang menghantui perasaan masing-masing orang bahwa setiap penderita Covid-19 akan menjadi tidak berharga dan ujung-ujungnya bermuara pada rasa putus asa.

Jika pada akhirnya ada anggota keluarga yang dinyatakan positif terjangkit Covid-19, maka keluarga harus memberikan dukungan dalam pelbagai aspek. Mulai dari aspek informasi yang dapat dilakukan dengan cara memberikan petunjuk sesuai dengan penyintas Covid-19, hingga aspek emosional dengan cara memberikan perhatian & rasa cinta.

Saking pentingnya faktor keluarga untuk memerangi Corona, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Nasional memberikan slogan Iman, Aman, dan Imun sebagai strategi membentuk keluarga yang perkasa dalam melawan Corona. Strategi Iman dapat diterapkan lewat ibadah serta menolong orang lain untuk menjaga kebahagiaan diri, kemudian strategi Aman dapat diterapkan dengan cara mematuhi protokol kesehatan yang berupa 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan), dan strategi Imun dapat diterapkan melalui istirahat yang cukup; pola makan yang sehat; hingga olahraga yang teratur.

Baca juga:  Dakwah dan Pers-delicht: Kisah Haji Abdul Mu’thi dari Muhammadiyah Kudus

Komunikasi yang Tak Sekadar Basa-Basi

Pada akhirnya, keluarga yang tangguh adalah keluarga yang mampu menjaga komunikasi dengan baik. Komunikasi sangat jauh berbeda dengan percakapan basa-basi, juga bukan dengan cara bertukar pendapat yang berujung pada saling debat. Komunikasi adalah percakapan mendalam yang mampu membicarakan hal-hal penting, meskipun hal-hal tersebut terasa pahit dan sulit. Langkah awal yang dapat dilakukan untuk membangun komunikasi yang mendalam adalah belajar mendengarkan.

Sesekali seorang ayah perlu mendengarkan keluh kesah anak-anaknya tentang hal-hal remeh di sekitarnya. Terkadang anak-anak hanya ingin mendapatkan perhatian lewat telinga orang tuanya, bukan lewat harta yang berlimpah.

Sesekali seorang suami maupun istri perlu mendengarkan gerutu pasangannya tentang kebiasaan sehari-hari yang tidak mencocoki hati. Terkadang tiap pasangan hanya ingin dimengerti perasaannya dengan cara yang sangat sederhana, yakni dengan duduk takzim mendengarkan, saling berbagi perasaan. Semuanya dapat dimulai dengan pertanyaan pancingan tentang pembelajaran online untuk anak-anak, tanggapan tentang masakan yang memanjakan lidah untuk istri, dan tawaran pijat guna menghilangkan rasa lelah untuk suami.

Akhir kata, sedahsyat-dahsyatnya Corona, tak ada yang akan mampu menandingi ketangguhan keluarga. Sederhana saja, sebab keluarga adalah harta yang paling berharga; istana yang paling indah; puisi yang paling bermakna; dan mutiara tiada tara.

https://alif.id/read/ai/santri-membaca-zaman-4-yang-lebih-perkasa-dari-corona-b241685p/