Dalam khazanah kesusastraan di Indonesia, Ahmad Tohari menjadi nama penting yang harus dicatat. Ia telah mendapat banyak penghargaan dan karya-karyanya pun dikenal dunia internasional. Ciri khas karya Tohari adalah pewartaan suara orang yang termarjinalkan, yakni masyarakat pinggiran dan kaum papa. Dalam karya-karyanya, unsur kelokalan sangat kental terutama Banyumas. Secara geografis, Banyumas pun dapat disebut wilayah pinggiran, jauh dari ibu kota dan jauh pula dari pusat kebudayaan Jawa (keraton).
Sastra Ahmad Tohari telah banyak disorot dan dikaji. Namun aspek yang kerap diteropong adalah simbolisme perlawanan terhadap hegemoni dominan baik hegemoni sosial, ekonomi, politik maupun budaya. Di sisi lain, sebagai sebuah mimesis dari alam budaya Banyumas, pada karya-karyanya juga mengandung nilai-nilai kearifan masyarakat Banyumas.
Sebagai sebuah representasi realitas sosial budaya, manusia yang ada dalam cerita-cerita Ahmad Tohari pun memiliki alam pikirannya sendiri yang merupakan sublimasi alam pikir manusia Banyumas. Hal ini yang menjadi kajian Teguh Trianton dalam bukunya “Inyong Banyumas” untuk dapat menangkap alam pikiran wong Banyumas melalui karya Ahmad Tohari.
Kajian
Karya-karya yang dibedah oleh penulis antara lain novel Ronggeng Dukung Paruk (RDP), Di Kaki Bukit Cibalak (DKBC), Orang-Orang Proyek (OOP), Kubah dan Bekisar Merah (BM). Sebagai sebuah kajian antropologi sastra, penulis menelaah wong Banyumas dalam novel dari berbagai aspek budaya mulai dari bahasa, ide, pengetahuan, kepercayaan, perilaku hingga agama para tokohnya.
Tak hanya mendeskripsikan permukaan, penulis mencoba menggali orientasi hidup wong Banyumas, orientasi dalam bekerja/ berkarya, orientasi memandang waktu, serta bagaimana hubungan antar manusia dan hubungan manusianya dengan alam. Trianton menemukan nilai-nilai yang melandasi masing-masing orientasi tersebut. Bahkan, dia menangkap aspek mikroskopis alam pikiran yang fundamental dari manusia Banyumas yakni inti hakikat hidup mereka yang melandasi semua perilaku wong Banyumas.
Pada penelaahan orientasi hidup misalnya, aspek-aspek yang menunjukan hal tersebut di novel-novel Tohari dibeberkan dalam buku ini. Dari bahasa yang digunakan, narasi yang diucapkan, gagasan yang disampaikan hingga perilaku dan kebiasaan ditemukan kesamaan nilai yang diyakini/ dialami para tokohnya yaitu nrima ing pandum atau berserah diri pada Yang Maha Kuasa.
Konsep nrima dijelaskan oleh penulis bukanlah fatalistisme mutlak. Dalam novel, pemahaman berserah diri pada Tuhan seringkali berangkat dari pengalaman hidup para tokohnya dan atas dasar rasionalitas yang kuat. Misal pada tokoh Karman (Kubah), seorang pengikut partai komunis yang telah melalui pergulatan hidup hingga akhirnya belajar pasrah dari seorang pengemudi rakit dan setelah dia menjalani masa tahanan. Atau tokoh Darsa (Bekisar Merah) yang akhirnya pasrah pada garis yang telah ditetapkan Tuhan setelah mengalami berbagai kesulitan dan kesalahan dalam hubungan rumah tangga. Dan perjalanan menuju keberserahan diri pun dialami oleh tokoh dalam novel lain seperti Srintil (RDP) dan Kabul (OOP).
Nrima ing pandum menunjukan bahwa orientasi hidup wong Banyumas sangat spiritual. Inti dari nilai ini adalah kesadaran bahwa hidup adalah “dari dan menuju Tuhan” ; sangkan paraning dumani, sebuah konsep yang merupakan falsafah spiritual orang Jawa. Kesadaran sangkan paraning dumadi inilah yang menjadi inti hakikat hidup manusia Banyumas. Penulis menemukan bahwa inti hakikat ini sekaligus secara simultan mempengaruhi bagaimana wong Banyumas memandang pekerjaan, waktu, hubungan dengan manusia, juga hubungan dengan alam.
Sebagaimana yang disampaikan penulis dalam buku, tulisannya merupakan upaya pelestarian nilai kearifan lokal Banyumas yang dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan sebagai pembelajaran budi pekerti. Namun dari sisi antropologis, kajian ini menjadi penting karena memperlihatkan posisi Banyumas dalam khazanah kebudayan Jawa. Banyumas, sebagai wilayah pinggiran , dengan karakter budayanya yang egaliter, terbuka, vulgar dan terkesan tanpa unggah ungguh, yang merupakan antitesis dari budaya keraton yang mapan dan menjadi patron, pada dasarnya memegang nilai kearifan yang ideal dan adiluhung sebagaimana di istana (keraton).
“Narasi Budaya dari Dalam” yang menjadi atribut buku ini pun menjadi sahih karena beberapa alasan. Pertama, objek yang dikaji adalah teks yang merekam alam budaya dan masyarakat Banyumas. Ini dibuktikan dari pernyataan Ahmad Tohari sendiri bahwa ruang inspirasi karyanya adalah tempat dia tinggal (Banyumas). Artinya, teks sastra Tohari merupakan kristalisasi dari realitas budaya yang ada. Kedua, penulis merupakan peneliti kebudayaan Banyumas yang memahami budaya setempat dan meskipun dia orang Banyumas tapi mampu berjarak sehingga kajiannya objektif.
Di sisi lain, meski kajian dalam buku ini sudah sangat mendalam, namun belum diuraikan dengan banyak hubungan kausalitas antara nilai-nilai kearifan yang ditemukan dalam novel dengan karakter blakasuta-nya wong Banyumas. Sebab, karakter blakasuta lah yang menurut saya menjadi keunikan dari wong Banyumas. Blakasuta merupakan karakter terus terang apa adanya, atau blak-blakan. Dalam konteks berbangsa, blakasuta penting karena ia mengandung prinsip egaliter dan kesetaraan.
Secara keseluruhan, kajian dalam buku ini memberi sumbangsih bagi pemahaman budaya Indonesia dengan menunjukkan bahwa nilai-nilai kearifan hidup tak bersifat elitis, namun dapat hadir di tempat yang jarang tersorot, bahkan daerah pinggiran yang di permukaannya sangat kontradiktif dengan budaya yang mapan (kota-keraton). Ini berlaku juga di semua wilayah pinggiran, masyarakat di pegunungan yang jauh, atau pedalaman rimba yang dari kaca mata mainstream (modern-kota) disebut wilayah tertinggal. Dan, menurut hemat saya buku ini pun menjadi penting di tengah masyarakat yang kerap terjebak dalam stigma, steriotipe dan syak wasangka.
Judul: Inyong Banyumas : Narasi Budaya dari Dalam
Penulis: Dr. Teguh Trianton, M.Pd
Penerbit: Jejak Pustaka
Cetakan: Pertama, Januari 2022
Tebal: viii + 276 halaman
ISBN: 978-623-5700-90-8
https://alif.id/read/pws/sastra-banyumas-di-tengah-hegemoni-budaya-b242390p/