Pada abad XXI, elite di partai politik terbesar di Indonesia kebingungan dalam membahasakan kritik atau ledekan. Ia pasti memiliki perkamusan politik saat berpidato atau berucap di depan publik. Kamus-kamus (lama) mungkin tak mencukupi untuk bekal bicara politik setiap hari. Ia kadang memerlukan pembahasaan berbeda demi kepuasan atau capaian “keistimewaan”.
Tokoh politik itu memilih mengurusi politik dengan ibarat sopir truk: 30 Maret 2024. Omongan ditonton ribuan orang itu memasalahkan Gibran, sopir truk, demokrasi, usia, kecelakaan, jalan tol, dan lain-lain. Kita mengetahui keinginan memberi pesan-pesan agar publik mengetahui “khilaf” dan “kesalahan” dalam berpolitik. Urusan “sopir politik” diucapkan oleh tokoh politik moncer. Kita menduga tokoh itu jarang membaca teks-teks sastra mengisahkan sopir (dan) truk.
Pada masa 1950-an, truk-truk mengisahkan gairah orang desa melakukan urbanisasi. Mereka meninggalkan desa dengan naik truk, bergerak ke kota demi pertarungan nasib. Di kota, truk-truk menjelaskan laju perdagangan dan pembangunan. Mochtar Lubis mengenang arti truk di Jakarta itu dalam garapan novel dan cerpen. Truk-truk bercerita nasib kaum miskin sebagai tenaga pembangun kota. Lakon truk pun bergerak ke desa-desa. Pembuatan jalan-jalan mengikutkan kegagahan truk sebagai pengangkut hasil-hasil pertanian. Truk masuk desa membawa benda-benda menakjubkan agar dikonsumsi warga. Truk mengangkut ide-ide baru dan imajinasi kemodernan.
Pada masa 1960-an, truk memiliki cerita-cerita heroik dan ironis. Di mata kaum demonstran, truk pengangkut ribuan mahasiswa dalam aksi-aksi demonstrasi. Taufiq Ismail (1966) memberi pujian melalui “Oda Bagi Seorang Sopir Truk”. Puisi kesaksian belatar masa kekuasaan Soekarno: Dalam tidurnja ia bermimpi/ Djalanan telah rata. Ditempuhnja/ Dengan sebuah truk baru/ Dengan klakson jang bisa berlagu/ Dan di sepandjang djalanan/ Beribu anak-anak demonstran/ Tersenjum padanja, mengelu-elukan/ “Hiduplah bapak sopir jang tua/ Jang dulu berdjuang bersama kami/ Selama demonstrasi!” Puisi mengingatkan sejarah dan penghormatan kepada sopir truk, tak melulu kaum politik.
Puisi tak berlanjut pada kesaksian tentang truk-truk mengangkut ribuan orang untuk mati atau tak pernah kembali ke rumah. Memori malapetaka 1965 memuat cerita truk. Orang-orang diangkut dengan truk, berdesakan dan berpetaka. Mereka dituduh “merah”. Di truk, nasib tak bisa dijelaskan atau diramalkan. Di kampung atau desa, suara truk sering menimbulkan ketakutan bagi para ibu dan anak. Suara mengabarkan apes, kematian, air mata, darah, dan derita. Semula, truk adalah alat transportasi. Episode politik berdarah membuat truk memberi trauma. Truk tak cuma mengangkut barang-barang. Truk malah membawa orang-orang ke penjara, daerah tak bertuan, sungai, atau kuburan.
Pemaknaan truk berlanjut ke masa Orde Baru. Truk-truk sering masuk desa atas perintah birokrat dan kaum politik. Truk mengangkut ribuan orang bergerak ke lapangan, gedung, dan alun-alun. Selama perjalanan, orang-orang di truk mengenakan kaos, baju, dan mengibarkan bendera. Mereka sedang bermain drama politik, menuruti kepentingan penguasa. Mereka berdesakan dalam bak truk. Turun dari truk, mereka menikmati pidato, berteriak, dan bertepuk tangan.
Pada masa Orde Baru, truk menjadi alat transportasi untuk kritik alias melawan. Poster berisi tulisan-tulisan menohok ditempel di bak truk. Kalimat-kalimat berani: “Suharto itu adalah kepala kominis (dalang). Kematian Bapak Sarwedi, demi kepentingan bangsa asing dan membangun negara di dalam negara (pagar makan tanaman).” Suharto itu Soeharto: presiden. Sarwedi itu Sarwo Edhi: komandan RPKAD bertugas memberantas komunis. Siapa penulis dan penempel poster di bak truk? Ia bernama Kasir Nur Simbolon, sopir truk pengangkut semen. Kasir diajukan ke pengadilan dengan dakwaan menghina presiden (Tempo, 1 Agustus 1992).
Kasus itu terjadi di Indonesia saat Soeharto sedang berkuasa dan menjadikan komunis adalah musuh besar. Kemunculan poster di bak truk bermula dari obrolan kaum awam, tak bermaksud menghina atau mengganggu stabilitas politik. Iseng justru mengantar Kasir ke pengadilan. Truk sebagai alat transportasi dan sumber mencari nafkah malah menimbulkan petaka politik.
Episode-episode sejarah truk turut bercerita Indonesia. Truk membawa ingatan-ingatan tentang modernisasi, pembangunan, demonstrasi, kematian, dan kekuasaan. Truk-truk masih terus melintas di jalan-jalan meski jadi sasaran tuduhan kerusakan jalan dan kemacetan. Truk belum mau berhenti menceritakan kita dan Indonesia. Truk diceritakan para sastrawan melalui cerpen, puisi, dan novel dengan pelbagai misi dokumentasi zaman, kritik sosial, atau renungan modernisasi. Truk pun bisa berhadapan dengan kekuasaan saat dijadikan sebagai simbol nasib sopir.
Di Cina, truk menjadi simbol sejarah kekuasaan dan ambisi menggapai kesuksesan hidup. Mo Yan melalui novel autobiografi berjudul Di Bawah Bendera Merah (2013) mengisahkan truk. Mo Yan ingat truk bernama Gaz 51. Truk itu ketakjuban. Mo Yan bercerita: “Kami diberi tahu bahwa Gaz 51 buatan Soviet, sisa dari perang 1950-an melawan agresi Amerika Serikat dan membantu Korea. Lubang peluru dari pesawat Amerika Serikat di bak menjadi bukti bahwa truk itu bermandikan kemenangan. Ketika api perang berkobar, truk itu telah menerjang ke depan dengan heroik di tengah hujan peluru dan, sekarang pada masa damai, kendaraan itu mengepulkan debu saat merobek jalan.” Bagi Mo Yan dan bocah-bocah di desa, truk itu obsesi kecepatan dan keagungan. Mereka selalu takjub saat melihat truk melintasi di jalan. Mereka menonton dengan mata terbelalak sambil berangan menjadi sopir, tentara, atau pengusaha.
Truk terus memberi cerita. Truk sering bersinggungan dengan kekuasaan dan arus modernisasi. Truk melintasi jalan sejarah, bergerak terus ke masa depan. Truk dalam puisi Taufiq Ismail memang jarang teringat oleh pembaca. Truk dalam novel Mo Yan memberi pukau sejarah (politik) Cina. Kita memang jarang melakukan selebrasi imajinasi truk dalam jagat sastra Indonesia. Sejak awal abad XX, penceritaan cenderung ke kapal, kereta api, dan mobil.
Kini, kita diajak lagi memikirkan politik dan (sopir) truk. Para tokoh politik memang ingin bersuara dan menghindari salah tingkah saat mengurusi demokrasi. Mereka berusaha menggunakan bahasa dan membuat ibarat agar memikat. Kita mengerti kesibukan berpolitik membuat mereka jarang menikmati senggang dengan membaca teks-teks sastra dan menekuni bacaan-bacaan sejarah.
Berpolitik makin membuat kita dibujuk berpikir picik. Kita mendingan menikmati imajinasi dengan larik-larik Afrizal Malna (1995) dalam puisi berjudul “Malaikat dan Musim Dingin di Atas Truk”. Kita memasuki dokumentasi Indonesia: Seperti rombongan truk yang/ mengangkut pekerja murah ke sebuah kota,/ mengasingkannya dari pengertian ayah dan ibu./ Menggenang – malaikat itu – seperti bersama bahasa Jawa yang menangis di atas truk, kehilangan banyak/ puisi di kantor imigrasi. Kita meragu kaum politik berani membaca puisi-puisi gubahan Afrizal Malna. Ia mencantumkan truk dalam puisi tapi melampaui kebingungan kita dalam masalah politik dan (sopir) truk setelah hajatan demokrasi. Begitu.
Baca Juga
https://alif.id/read/bandung-mawardi/sastra-dan-sopir-truk-b249523p/