Mengutip sebuah puisi berjudul Tamadun Semu (2020) Kemarau yang Hujan/Hujan yang Kemarau/Kiranya Bayangan Siapa Menanamkan Bencana.
Hari belakangan ini kita mengalami kondisi cuaca yang cukup ekstrim, menurut ilmu pengetahuan alam rentang April-Oktober itu mestinya musim kemarau, tetapi beberapa kali hujan terjadi. Ilmuwan pun turut bersepakat jika sumber utamanya adalah perubahan iklim.
Perubahan iklim secara nyata menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup manusia. Kita sudah mengalami cuaca ekstrem, mulai hujan di saat kemarau, tanah longsor, juga kenyataan kebakaran hutan di beberapa daerah. Perubahan iklim tidak hanya berdampak bagi petani pada waktu musim tanam yang tidak menentu, ikan di lautan, tanah mongering, dan cuaca panas yang tidak normal sekaligus udara dingin terjadi secara berlebihan.
Sejak dunia digemparkan dengan keberadaan covid-19, seolah hal itu menjadi fokus utama dari semua pihak. Sehingga banyak yang melupakan suatu hal yang sebenarnya cukup penting disoroti yaitu perubahan iklim.
Padahal sebenarnya covid-19 mesti jadi cerminan bahwa lingkungan tempat kita hidup, bumi tempat kita berkehidupan sedang tidak baik baik saja. Keharmonian yang berlangsung sejak bertahun-tahun lamanya mulai tergerus dengan kepentingan pembangunan, dan ambisi sesaat beberapa manusia.
Perubahan iklim menjadi tantangan bagi ekologi, sirkulasi yang dahulunya sehat terancam keruh akibat ulah manusia sendiri. Dalam ranah penanganan perubahan iklim yang nantinya juga berdampak pada ekologi semua kalangan, berbagai pihak mestinya turut terlibat, ambil andil demi menyelamatkan anak cucu kelak.
Sastra tidak tanggung menyoroti perubahan iklim, ajang penghargaan kesusastraan yang cukup bergengsi di Indonesia turut menggaungkan tema perubahan iklim. Salah satu misalnya, Ubud Writers Festival 2020, perubahan Iklim jadi pilihan, tersebab iklim yang kian banyak menelan kelangsungan hidup.
Perubahan iklim juga mengantarkan Eka Kurniawan membuat cerita Tayib dan Siti dalam buku terbarunya yang berjudul Sumur (Gramedia, 2021). Kita barangkali sudah mulai sepakat bahwa perubahan iklim ini bukan hanya persoalan lahiriah sebagai manusia, melainkan sudah masuk ke ranah batin.
Eka Kurniawan pun menyiratkan demikian, iklim tidak diceritakan sebagai persoalan lahir, iklim juga jadi persoalan batin. Kekeringan di suatu desa menjadi latar utama cerita, membuat konflik batin bagi kehidupan sosial.
Karya sastra diolah Eka untuk menyentuh dimensi emosi dan nalar pembaca. Eka mengawali karya ini dengan gaya khasnya, langsung tanpa basa-basi pada pokok persoalan yang akan menjadi tema besar cerpen sepanjang 48 halaman ini.
Itu dulu. Di tahun-tahun belakangan mereka melihat mata air lebih sering menjadi hamparan lumpur. Hujan jarang datang dan kemarau memanjang hingga sebelas bulan dalam satu tahun. Tentu saja hanya sedikit air yang mengalir ke parit, dan lebih sedikit yang diperoleh petak-petak sawah. Air yang sedikit itu harus dibagi-bagi, dan di percabangan parit, mereka memasang pintu air, (halaman, 4).
Pembaca langsung dibawa pada kondisi mencekam, ketidakadaan air di suatu latar tempat yaitu sebuah sumur. Pembacaan sebenarnya sudah bisa terlihat dari halaman sampul yang didesain Umar Setiawan.
Tampak sebuah sumur, dengan latar kering dengan dua orang, seorang laki-laki dan seorang perempuan. Keduanya terlihat saling bercakap, sepertinya bukan pertemuan biasa, atau memang itu adalah sebuah kisah cinta berlatar di sumur. Beberapa dugaan itu yang muncul sebelum membaca secara utuh karya Eka Kurniawan ini.
Eka memang tetaplah Eka dengan kemampuan penceritaan penuh simbol, dan kedalaman makna. Ia berhasil membenturkan pemaknaan lain dari ‘sumur’ dan ‘air’ dalam konteks simbolisme.
Kita tahu jika pemaknaan umum, air merupakan lambang kehidupan, keberkahan, kemakmuran, dan kesuburan. Sudah seharusnya jika air sebagai sumber kehidupan dan penghidupan dengan memanfaatkan keberadaannya. Air, tanpa kita sadari selama ini menjadikan terciptanya kerukunan dan kebaikan untuk semua orang. Konflik di pintu air menjadi bencana pembunuhan tampak kontradiktif dengan penyimbolan air yang memberikan harapan kehidupan.
Begitu pula dengan cerita sumur kita dapat memaknainya sebagai tempat pertemuan beberapa mata air. Dalam cerpen ini Eka menceritakan ‘sumur’ sebagai tempat pertemuan Toyip dan Siti setelah beberapa tahun tidak bersapa. Sumur jadi pusat dari latar kisah, sekaligus sumber dari konflik. Pada akhirnya Toyip dan Siti akhirnya menemukan jalan untuk mengurai benang masalah yang telah kusut, di sumur.
Mereka memang terus bertemu di sumur setiap hari, lebih dini dari kedatangan orang lain. Itu waktu-waktu terindah milik mereka, terpisahkan oleh sumur, hanya ditemani semburat samar-samar langit jingga di timur. Sering mereka bicara mengawang-awang, seandainya alam lebih ramah kepada mereka. (Halaman 43)
Kata-kata yang tak sempat diucapkan, serta perasaan yang tak sempat diungkapkan. Namun, ketika di satu sisi, menemukan kebahagian, di sisi lain memulai penderitaan. Dari konflik dan akhir dari buku, sumur justru menjadi puncak dari peristiwa tragis.
Eka telah berhasil menuliskan sebuah cerita pendek tentang pemaknaan dari perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap hidup manusia. Bahwa iklim bukan hanya persoalan lahir, tapi bisa menjadi sumber dari segala konflik.
Eka Kurniawan mengemas konflik soal sumber daya yang muncul dari perubahan iklim dalam sebuah romansa yang tragis. Fokus Eka pada nasib orang-orang di pedesaan yang hidup dan penghidupannya harus berubah karena perubahan iklim.
Selama ini kita mungkin sering mendengar cerita tentang perubahan iklim. Namun, masih sangat kurang membahas soal dampak kepada berbagai lapisan masyarakat, di kota, desa, hutan, maupun pulau-pulau kecil di Indonesia, terutama dampak secara batin.
Sumur merupakan cerita yang sangat spesial, meski buku ini hanya terdiri dari satu cerita dengan jumlah halaman tipis. Melankoli yang menaungi sebagian besar cerita telah membuat kisah roman sangat mendalam.
Cerita roman mungkin terdengar klise, tapi ketika disandingkan dengan perubahan iklim, cerita ini menjadi semacam peringatan keras bagi pola kehidupan manusia. Krisis alam ini lebih dekat dari yang kita bayangkan, dampaknya menusuk lebih dalam terus menggerus pada kehidupan. Ada dampak jangka panjang yang ancamannya nyata bukan hanya pada alam tapi manusia yang menggantung nasib padanya.
Melalui buku Sumur karangan Eka ini, kita sastra berusaha menjamah secara nyata pada lingkungan. Perubahan iklim menjadi ancaman nyata yang ditekstualisasikan Eka dengan gaya lugas, tanpa basa basi hingga menyentuh kesadaran pembaca untuk turut peduli pada perubahan ikilm yang menjadi ancaman nyata untuk kehidupan mendatang.
https://alif.id/read/maal/sastra-menjamah-perubahan-iklim-b238847p/