Berbeda dengan karya Hafis Azhari yang menarasikan kejatuhan Orde Baru berdasarkan keterlibatan sang tokoh yang berkecimpung dalam kancah otoritarianisme. Tapi, Panji Sukma dalam novel terbarunya “Kuda” (2022) justru menarasikan kejatuhan Orde Baru ke dalam era mistisisme yang kian memudar hingga saat ini. Tokoh utamanya, Empu Manyu dan Kuda Anjapiani (anaknya) berkecimpung dalam perang bintang di tengah pertikaian sengit kaum politikus yang mengabdi demi kepentingan militerisme.
Sudut pandang Hafis cenderung mudah membawa pembaca pada upaya muhasabah dan introspeksi diri. Ia menampilkan tokoh “Saya” yang bertahun-tahun mengabdi, namun kemudian terperosok ke lubang galian yang – tanpa ia sadari – telah diciptakan oleh tangannya sendiri. Pengabdian itu tak ubahnya sosok Eliezer yang terpaksa harus patuh dalam kesesatan berbuat dan berperilaku. Namun, pada karya Panji Sukma maupun Leila Chudori dalam “Laut Bercerita” lebih cenderung Eropasentris, yang menekankan warna pada perkembangan struktural karya sastra.
Panji Sukma lebih fasih menuturkan absurditas dalam kaitan antara doktrin atasan kepada bawahan yang cenderung sewenang-wenang. Sebagaimana Arok Dedes (Pramoedya Ananta Toer), fungsi keris sebagai jimat mengandung makna magis. Ini pun berbeda dengan realisme magis pada cerpen Supadilan Iskandar, “Batu Keramat Sang Wartawan” (litera.co.id). Ia lebih cenderung pada pola penarasian yang jenaka, di saat pemihakan pada takhayul menjadi guyonan atau dagelan omong kosong bagi masyarakat milenial (pasca modern).
Berbeda pula dengan Felix Nessi (Orang-orang Oetimu) yang mengambil sudut pandang kejenakaan model Perasaan Orang Banten, perihal tokoh-tokoh agama dan politisi kampungan, atheisme terselubung dari para tokoh agama, yang memolitisasi Tuhan untuk kepentingan prestise duniawi belaka. Namun pada “Kuda”, persaingan abadi yang turun-temurun dari peradaban leluhur terus dikembang-biakkan. Sebuah narasi keris pusaka (jimat) yang sengaja dimanfaatkan untuk membunuh lawan dan pesaingnya. Ia dipakai pula untuk membalas dendam karena faktor irihati dan kedengakian. Di tangan penguasa Orde Baru, ia berperan selaku alat untuk memberi kutukan, negosiasi kekuasaan, dan simbol pembalasan dendam kesumat.
Sebagaimana tokoh Haris dan Arif yang menjalani lelaku dengan puasa mutih 40 hari untuk mendapatkan pencerahan Sang Pencipta. Empu Manyu berjumpa dengan Abdul Aziz, teman masa kecil, pejabat militer, yang memesan keris kepadanya. Nama besar Empu Manyu kemudian meroket di kalangan jenderal-jenderal dan pejabat-pejabat militer. Perjalanan selanjutnya bisa dibayangkan. Para tokoh politik Orde Baru berbondong-bondong memesan keris sakti kepada Empu Manyu.
Pengalaman Panji Sukma lebih kaya nuansa dan berwarna, ketimbang realisme Hafis Azhari dalam Pikiran Orang Indonesia. Absurditas mistik seakan menyelimuti tragedi kematian demi kematian yang dialami tokoh-tokohnya. Termasuk tokoh Marini dan anaknya yang diidentikkan dengan nasib naas akibat kutukan dari keris pusaka tersebut.
Dendam kesumat yang membara, dibingkai dengan kemasan kesantunan ala Jawa yang terus dipelihara para elit politik Orde Baru. Terjengkangnya kekuasaan Orde Baru pun tak bisa dilepaskan dari kebangkrutan “perusahaan” milik Empu Manyu yang semakin kehilangan konsumen dan para pelanggannya. Barangkali, tak terkecuali karya-karya sastra yang selama ini menginduk di bawah ketiak kekuasaan Orde Baru, yang konon telah kehilangan roh dan jiwanya, serta terpelanting kesaktiannya.
Kebangkrutan Empu Manyu tak ubahnya dengan kebangkrutan kesaktian dunia militer kita. Kekayaan yang selama ini mengalir berputar-putar di kalangan militerisme (tak terkecuali kerajaan Sambo) harus dialokasikan kepada kepentingan kemaslahatan yang semestinya. Empu Manyu lambat laun semakin kehilangan pamor dan status sosialnya. Di era disrupsi saat ini, Panji Sukma cukup jenius menggambarkan sosok Empu Manyu sebagai pengejawantahan manusia-manusia serakah yang “gagal paham”. Bisa juga mereka gagal dalam membaca arus transformasi, karena didesak oleh perubahan dan pergeseran nilai-nilai moral dan kebudayaan.
Pada prinsipnya, Empu Manyu tak ubahnya sebagian seniman kita yang gagap menghadapi atmosfer peradaban milenial, ketika simbol-simbol mistitisme maupun takhayul di dunia kesastraan semakin diabaikan dan dicuekin oleh generasi muda kita (baca: Sastra, Takhayul dan Kebuntuan Ideologis, www.kompas.id).
Secara implisit, Leila Chudori dan Hafis Azhari juga menyinggung perihal tarik-menarik di kalangan elit politik militerisme. Suatu persaingan dan pertikaian abadi yang pada hakikatnya adalah kesibukan mencari-cari kemenangan yang tak pernah berakhir, tak pernah ada pemenang yang sejati. Karena, yang mesti diperjuangkan justru upaya-upaya untuk mencari keadilan bagi segenap rakyat.
Kita pun bisa menyaksikan narasi genuine yang digagas Panji Sukma, ketika peradaban kekuasaan Jawa terperangkap ke dalam jaring-jaring kutukan leluhur yang turun temurun. Termasuk yang dialami Empu Manyu dan anaknya sendiri, yang kemudian harus menerima kutukan-kutukan itu tanpa pandang bulu.
Novel Panji Sukma yang digagas sebelum era kejatuhan vonis terhadap Ferdi Sambo dalam kasus penembakan terhadap ajudannya, jauh-jauh hari telah ditulis dalam narasi magis yang menakjubkan, bahwa ketika Empu Manyu mengalami kebangkrutan, sosok Kuda Anjapiani akhirnya tewas ditembak ajudan Abdul Aziz, ayah kandungnya sendiri.
Sisi lain realisme magis, kita menemukan juga pada karya Faisal Oddang (Puya ke Puya) yang seakan telah menemukan identitas penciptaannya sebagai sastrawan Indonesia. Nampak berbeda gaya penuturannya dengan Hafis Azhari yang cenderung memandang rezim Orde Baru dari sisi dominasi kekuasaan yang militeristik. Hafis tidak melakukan eksplorasi absurditas mistik, karena jauh-jauh hari ia pun menolak pembangunan absurditas (sebagaimana Eka Kurniawan) ke dalam ending kisah-kisah yang ditururkannya (baca: Memahami Skizofrenia dari Karya Sastra, kompas.id)
Eksplorasi yang dilakukan Panji Sukma memberikan kompleksitas tafsir makna atas novel kontemporer kita. Ia menghadirkan sisi lain permainan kekuasaan Orde Baru yang tak tersentuh oleh Seno Gumira Adjidarma maupun Hafis Azhari. Sisi absurditas yang ditampilkannya bukan mengadopsi gaya literatur Barat (Eropa) melainkan digali dari eksplorasi berdasarkan proses kreatif penulisnya. Di sisi lain, warisan militerisme Asia, seperti Jepang (bushido samurai) hingga leluhur Jawa (keris sakti) seakan memberikan teks-teks sastra yang khas Indonesia.
Pada prinsipnya, ending yang diwartakan “Kuda” maupun “Sang Keris” mengharapkan adanya keselarasan dan kemaslahatan. Karena bagaimanapun, absurditas yang menjadi eksplorasi Panji tak ubahnya Pikiran Orang Indonesia yang dinarasikan Hafis Azhari, yang sama-sama mengandung esensi bahwa segala sesuatu (terlebih kekuasaan) yang diawali dengan kejahatan dan keserakahan, kelak akan berlangsung dalam keruwetan dan kekacauan yang terus-menerus menyertainya. []
https://alif.id/read/irawaty-nusa/sastra-takhayul-dan-keris-orang-jawa-b247234p/