Sejarah Kodifikasi Tafsir Al-Qur’an dari Masa ke Masa

Salah satu yang menjadi tolok ukur kebanggaan bangsa Arab (dahulu) diantaranya ialah nasab mulia. Banyak dari mereka yang menghafal nasab keluarga untuk menyombongkan diri. Mereka memiliki ingatan yang kuat. Mudah bagi mereka menghafal nasab.

Keistimewaan “hafalan” tersebut yang kemudian menguntungkan bagi Islam dalam periwayatan ilmiah baik riwayat hadist maupun al-Qur’an pada masa Islam masuk di tengah-tengah peradaban saat itu. Termasuk dalam periwayatan tafsir bi al-Ma’tsur (baik dari Nabi Saw ataupun sahabat).

Syekh Muhammad Fatih Ustmani dalam kitabnya al-Madkhal ila at-Tarikh al-Islamy (114) berkata:

فخصائص الامة العربية: فى فكرها وثقافتها كانت ثعين على ظهور التاريخ…فهي أمة تميزت: بالحفظ والرواية, وبالبلاغة والشعر, وبالحرص على الأنساب والفخر بها- وكل من هذه الثلاثة معين على ازدهار التاريخ….

“Keistimewaan bangsa Arab baik dalam pemikiran maupun peradaban mereka sangat membantu dalam proses munculnya sejarah. Bangsa Arab memiliki keistimewaan dengan hafalan dan periwayatan mereka, balaghah dan syair mereka, juga mereka akan dengan semangat menghafal nasab mereka dan membanggangkan diri dengannya. Ketiga hal inilah yang membantu perkembangan sejarah bangsa Arab”

Masa kodifikasi atau penulisan tafsir al-Qur’an dimulai dari akhir masa pemerintahan Bani Umayyah dan awal mula pemerintahan Bani Abbasiyah. Saat itu tafsir masih menjadi bagian dari ilmu hadist. Belum ada kitab yang secara khusus menghimpun terkait tafsir al-Qur’an surat per-surat, ayat per-ayat dari awal sampai akhir.

Baca juga:  Makna Jihad dalam Al-Qur’an

Setelah generasi tabi’in, secara khusus sebagian ulama dari kalangan tabi’ at-tabi’in sambil mengumpulkan hadist mereka juga mengumpulkan riwayat tafsir yang bersumber dari Nabi Saw, sahabat Nabi dan kalangan tabiin.  Diantara kalangan tabi’ at-tabiin yang menulis tafsir pada awal masa penulisan ialah Sufyan bin ‘Uyainah (w 198 H), Waki’ bin al-Jarrah (w 197 H),  Syu’bah bin al-Hajjaj (w 160 H), Yazid bin Harun (w 117 H), Abdu Razak bin Himam (w 211 H), Adam bin Abi Iyas (w 220 H), Ishak bin Rahawaih, Ruh bin Ubadah, Abdun bin Hamid (w 249 H), Sunaid, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan yang lainnya.

Namun, dari sekian banyaknya tafsir tersebut tidak ada satupun kitab fisik yang sampai pada kita, hanya ada riwayat yang bersumber dari mereka dalam kitab-kitab tafsir ulama generasi selanjutnya.  (Baru setelahnya) Generasi ulama yang memisahkan tafsir al-Qur’an menjadi satu fan ilmu khusus dan independen (terpisah dari fan hadist) terjadi pada generasi setelah tabi’ at-tabi’in. Mereka menafsiri al-Qur’an sesuai runtutan al-Qur’an (ayat per-ayat, surat per-surat).

Nama-nama seperti Ibnu Majah (w 273 H), Ibnu Jarir at-Thabari (w 310 H), Abu Bakar bin al-Mundzir an-Naysaburi (w 318 H), Ibnu Abi Hatim (w 327 H), Abu al-Syaikh bin Hibban (w 369 H), al-Hakim (w 405 H) dan Abu Bakar bin Mardawaih (w 410 H) adalah beberapa nama mufassir saat itu.

Baca juga:  Tafsir al-I’jaz al-‘Ilmi: Respon atas Perbedaan Dua Kelompok Besar

Kebanyakan penafsiran mereka  (dinisbatkan) pada Nabi Saw, sahabat dan tabiin, serta tabi at-tabiin dengan men-tarjih beberapa riwayat yang bersumber dari pendapat murni (ar-Ra’yi) dan istinbath sebagian hukum, serta i’rab untuk sebagian lafadz yang dibutuhkan.

Kemudian permasalahan muncul pada generasi setelahnya. Banyak dari kalangan ulama tafsir saat itu yang hanya memasukkan sanad-sanad riwayat serta qaul-qaul tanpa mempedulikan dari mana asalnya. Mereka hanya mengandalkan “kumrenteg” hati untuk menjadikannya sebagai sandaran tafsir.

Sehingga generasi selanjutnya menyangka bahwa penafsiran tersebut memiliki dasar riwayat yang jelas. Banyak dari kalangan mereka yang menjadikan penafsiran secara pribadi, untuk kepentingan politik, fanatisme madzhab dan yang lain sebagainya. Hal inilah yang kemudian menjadikan tafsir bi al-ra’yi (pendapat murni) banyak ditentang keberadaannya di kalangan ulama.

Setelahnya, kemudian datanglah generasi ulama yang mahir dalam pelbagai ilmu pengetahuan. Sehingga mereka memetakan penafsira al-Qur’an sesuai dengan fan ilmu tertentu, sesuai dengan bidang  keilmuan masing-masing, perorangan.

al-Wahidi dalam kitab al-Basith atau Abu Hayyan dalam kitab al-Bahr dan an-Nahar hanya membahas tafsir dari segi i’rab kalimat serta perbedaan pendapat ke-i’raban kalimat di dalamnya. Ahli fikih seperti al-Qurtubi membahas tafsir dari sisi fan fikihnya.

Ulama yang mendalami fan ilmu logika dan filsafat seperti Fakhr ad-Din al-Razi memenuhi penafsirannya dengan qaul-qaul bijak bestari dan para ahli filsafat. Al-Tsa’labi dan al-Khazini membahas dari sisi kisah serta peristiwa sejarah dalam al-Qur’an dan serta Ibnu Arabi yang bergelut di dunia tasawuf adalah salah satu dari sekian yang mengeluarkan makna-makna isyarah dalam al-Qur’an. Sedangkan ahli bid’ah, tujuan mereka tidak lain hanyalah menggunakan (penafsiran) al-Qur’an sebagai alat untuk  kepentingan pribadi.

Baca juga:  Kitab Ushul an-Nayyirat, Kitab Ilmu Qiraat Terbaik Karya Ulama Perempuan 

Demikian tafsir setelahnya dari masa ke masa berkembang sesuai jalur yang telah ada. Para ahli tafsir terus menemukan hal baru (dengan bersandar pada qaul lama yang relevan) dalam al-Qur’an untuk menyikapi persoalan kehidupan umat di dalamnya. Wallahu a’lam.

Ref, Syekh Muhammad Fatih Ustman, Al-Madkhal ila at-Tarikh al-Islami, 1992 (Beirut: Daar an-Nafais)

Syekh Jalaludin al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur;an, 2008 (Beirut: Muassasah ar-Risakah Nasyirun)

Syekh Manna’ al-Qattan, Al-Mabahis fi Ulum al-Qur’an (Surabaya: Al-Hidayah).

https://alif.id/read/aju/sejarah-kodifikasi-tafsir-al-quran-dari-masa-ke-masa-b240810p/