Senyum Indonesia dalam Buku Durian on My Head

Seorang ibu berjaket oranye dan berkerudung hitam sedang mengendarai motor dengan keranjang penuh tumpukan durian di belakangnya. Tak ada raut sedih dan letih tergambar di wajahnya. Ia bahkan tersenyum lepas tanpa beban, seolah ingin berbicara “Hidup ini tak usah dibawa terlalu serius

Itulah potret dari puluhan foto yang ada dalam buku “Durian on My Head” karya Masoud Soheili, sutradara muda Iran yang pernah mendapat 40 penghargaan dunia. Di sebuah Kafe di bilangan barat Teheran, Masoud mendedah perjalanannya selama tinggal di Indonesia.

“Menurut saya, orang Indonesia itu sangat mudah menjalin komunikasi dengan siapa pun. Saya sudah mengunjungi banyak negara, termasuk negara-negara serumpun dengan Iran yang secara bahasa dan budaya sangat dekat. Sejujurnya, hati saya lebih tertambat pada Indonesia”, tuturnya sambil menyeruput minuman herbal Behlimo. Kata-kata Masoud seperti menghantarkan rasa hangat di tengah suhu musim dingin yang kian beku.

Agaknya, pengakuan ini bukan sekedar basa basi karena Masoud sedang berhadapan dengan saya, orang Indonesia. Dalam bukunya, ia berkali-kali menuliskan pengalamannya itu. Masoud menyadari, senyum orang Indonesia telah mengubah kesulitan menjadi kemudahan. Bahkan, sakit, penderitaan, kesengsaraan, dan kematian pun tidak bisa menghilangkan senyum dari wajah orang Indonesia. Catatan ini ia tuliskan setelah bertakziah ke salah satu tetangganya di Indonesia. Ia tak menjumpai raungan dan ratapan yang berlebihan, bahkan kerabat yang ditinggal tetap menyambutnya dengan senyuman.

Baca juga:  Syaikh Yusuf al-Makassari dan Karyanya (2): Tajul Asrar fi Tahqiq Masyrabil Arifin

Di bagian lain ia bercerita, pernah memasuki masjid di kawasan Jawa Barat yang di depannya tertulis spanduk “Anti Syiah”. Ia terpaksa masuk karena merasa lelah dan tidak menemukan tempat lain untuk istirahat. Beberapa jamaah memang awalnya memandang aneh saat mengetahui ia berasal dari Iran dan mayoritas penduduk Iran adalah syiah. Tapi melihat Masoud yang berbaur dan shalat berjamaah dengan mereka, perlahan suasana menjadi cair. Bahkan akhirnya Masoud bermain pingpong dan tertawa bersama mereka. Ya, Masoud mulai percaya “Tertawa adalah obat dari segala sakit dan masalah”.

Ya, senyuman itu pula yang menyelamatkan Masoud dari rasa takut ketika tersesat di sebuah desa terpencil pulau Sulawesi. “Ketika itu malam hari dan lampu di desa padam. Saya berlari di tengah kegelapan dan keputusasaan setelah tidak berhasil menemukan tempat berlindung. Tiba-tiba terdengar bunyi motor. Di antara sorot lampu motor, seseorang tersenyum ke arahku”. Seulas senyum itu ter-cupture kuat dalam memori Masoud yang membuatnya selalu ingin kembali dan kembali datang ke Indonesia.

Buku “Durian on My Head” semacam kado Masoud untuk senyuman dan keramahan yang ia terima selama mengunjungi Indonesia. Buku bilingual (Indonesia-Persia) yang terbit tahun 2021 ini tidak hanya menonjolkan estetika dalam gambar, tapi juga dilengkapi dengan narasi perjalanan yang kuat. Sebagai sutradara yang juga merangkap penulis skrip, Masoud memang memiliki keahlian memilah dan membangun cerita. Keceriaan dan woles menjadi benang merah dari seluruh foto Masoud. Seperti diungkap Garin Nugroho di halaman awal buku ini. “Foto-foto Masoud secara sederhana dan kuat berfokus pada wajah manusia dalam pekerjaan sehari-hari. Kekuatannya terletak pada pilihan karakter yang mengusung citra kerja dan keceriaan”.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (31): Durratun Nasihin dan Kontroversi di Balik Kepopulerannya

Lalu kenapa buku ini diberi judul Durian? Apakah karena perempuan fogogenik penjual durian itu? Atau karena Masoud sangat menyukai buah durian? Barangkali bisa menjadi salah satu jawaban. Masoud sendiri menjawab dengan agak berkelakar “Saya dengar dalam Bahasa Indonesia ada peribahasa bagai mendapat durian runtuh, artinya orang itu akan mendapat keberuntungan. Tapi dipikir-pikir kalau benar durian itu mengenai kepalanya. Dia akan mati duluan sebelum mendapat keberuntungan”.

Meski disampaikan dengan candaan tapi ada nada keseriusan dalam kalimatnya. “Dan saya percaya, setidaknya saya telah mendapat ‘durian runtuh’ itu”. Ya, undangan untuk melakukan kegiatan fotografi di Indonesia itulah yang dimaksud oleh Masoud sebagai ‘durian runtuh’nya. Betapa tidak, tawaran itu datang di saat kerinduannya sangat memuncak untuk kembali ke Indonesia. Kerinduan itu terbaca dari sorot matanya yang menerawang seperti mengenang kembali masa-masa ia menjadi mahasiswa ISI Yogyakarta dan tinggal di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

Lebih dari itu, setelah saya membaca dan mengamati lembar demi lembar buku “Durian on My Head” sesungguhnya ada pesan lebih dalam lagi yang ingin disampaikan penulis. Durian hanyalah simbol. Sebagaimana buah durian yang sering disalahpahami oleh orang yang belum mengenalnya, masih banyak keunikan budaya Indonesia yang belum dikenal, salah satunya adalah budaya hidup woles, kerja keras tapi tetap riang. Inilah kebahagiaan sejati yang auranya juga dirasakan Masoud seperti yang dituliskan dalam bukunya. “Sekarang, yang menarik bukan lagi tujuan akhir atau kisah perjalannnya. Tapi teman seperjalanan yang membuatku senang dan bahagia. Mereka adalah orang-orang yang ramah dan baik hati dengan senyumnya yang manis”.

Baca juga:  Resensi Buku: Ibuku Chayank Muach!

https://alif.id/read/afifah-ahmad/senyum-indonesia-dalam-buku-durian-on-my-head-b241857p/