Sepakbola Arab Saudi di Pangkuan Kapitalisme: Yang Beruang yang Berkuasa

Video dengan potongan kalimat “lu punya duit lu punya kuasa” akhir-akhir ini viral di media sosial. Kalimat itu dikatakan oleh pria berambut gondrong. Potongan kalimat yang dilontarkan dengan gaya khas gestur tangan tersebut mendapatkan reaksi yang beragam dari netizen. Bahkan tidak sedikit dari konten kreator memparodikan potongan video tersebut.

Usut punya usut, ternyata video viral dengan jargon “lu punya duit, lu punya kuasa” merupakan potongan video yang diambil dari unggahan video kanal youtube Seadanya dengan judul “TENTANG MANUSIA DAN AKALNYA – BAYEM SORE” yang diunggah pada 7 Juli 2022.

Kalimat “lu punya duit, lu punya kuasa” saya rasa sangat pas untuk menggambarkan bursa transfer sepakbola dalam satu tahun terakhir ini. Pada bursa transfer sepakbola eropa, yang digelar dua kali dalam setahun (musim dingin dan musim panas), umumnya klub yang punya materi lah yang bakal jadi pemenang.

Saya ambil contoh, ketika ada dua klub memperebutkan pemain yang sama. Katakanlah yang lagi ramai saat ini adalah Arda Guler, wonderkid Turki, yang jadi incaran Barcelona dan Real Madrid. Singkat cerita, dalam drama perebutan pemain 18 tahun tersebut, Madrid lah pemenangnya. Menurut presiden Barcelona yakni Joan Laporta, El Barca kalah kekuatan finansial dari Real Madrid.

Real Madrid sukses mendapatkan pemain bernama Arda Guler dari Fenerbahce dengan biaya transfer 20 juta euro plus bonus. Jika dirupiahkan setara Rp 335 miliar. Barca dalam hal ini kalah bersaing. Sebab, mereka saat ini tak punya banyak uang seperti Madrid. Dalam hal ini Madrid telah berkuasa atas Barca.

Tidak hanya bursa transfer klub eropa saja yang memanas, tetapi klub-klub Arab Saudi juga demikian. Sepakbola Arab Saudi, kalau Anda ingin tahu, saat ini sedang bergeliat. Khususnya klub-klub yang berpartisipasi di Saudi Pro League (kompetisi sepakbola Arab Saudi). Klub-klub Saudi mendatangkan pemain-pemain bintang Eropa dengan biaya selangit.

Setelah Cristiano Ronaldo yang sudah membela Al-Nassr sejak musim lalu, berikutnya migrasi besar-besaran pemain dan pelatih Eropa ke Arab Saudi terjadi pada bursa transfer musim panas 2023. Karim Benzema, Ngolo Kante, Ruben Neves, Marcelo Brozovic, Sergej Milinkovic Savic, Steven Gerrard dan yang terbaru yakni Jordan Henderson adalah beberapa nama hebat yang “manggung” di Arab Saudi.

Mereka berani hijrah ke Liga Arab Saudi alasan salah satunya adalah karena uang. Seperti kita ketahui bahwa tim-tim sepakbola di negara Timur Tengah tersebut memang sangat jor-joran dalam mengeluarkan fulus demi membeli pemain incarannya. Tak tanggung-tanggung, gaji yang ditawarkan kepada pemain tersebut bahkan bisa berlipat-berlipat dari gaji pemain di klub sebelumnya.

Misalnya, gaji Karim Benzema di Al Ittihad diperkirakan menyentuh angka 171,5 juta poundsterling, atau sekitar Rp3,1 triliun untuk per musimnya. Mega Kontrak Benzema di Al Ittihad ini jauh lebih tinggi dibanding gaji yang diterima Benzema bersama klub raksasa Spanyol, Real Madrid. Di Real Madrid pada musim terakhirnya Benzema dilaporkan mendapatkan gaji senilai Rp 392,871 miliar per tahun. Artinya, gaji yang didapat Benzema di Al Ittihad 8 kali lipat lebih besar daripada yang diterimanya di Los Blancos.

Artinya apa? bahwa kekuatan finansial klub-klub Arab Saudi ini sukses menguasai dunia persepakbolaan saat ini. Dengan uang yang sangat melimpah, maka segala sesuatunya bisa lebih mudah. Termasuk membeli pemain bintang.

Dengan modal yang besar, sebuah klub sepakbola akan dapat dengan enteng merayu pemain yang diinginkannya untuk bergabung. Iming-iming gaji besar, fasilitas klub yang memadai, dan jaminan masa depan yang lebih baik, adalah beberapa hal yang ditawarkan klub saudi kepada pemain top Eropa.

Meski tidak semuanya berjalan mulus, karena ada beberapa pemain yang menolak bergabung ke klub Saudi, dengan alasan masih pengen berkarir di Eropa, tetapi manuver klub-klub Saudi di bursa transfer kali ini setidaknya sangat sukses besar.

Mayoritas klub-klub Arab Saudi yang sukses mendatangkan pemain top dunia adalah klub-klub yang punya banyak uang. Klub-klub tersebut dimiliki oleh para konglomerat Arab. Empat klub Arab Saudi, yakni Al Hilal, Al Ittihad, Al Nassr, dan Al Ahli bahkan di bawah kepemilikan yang sama.  Mereka dikuasai oleh perusahaan investasi asal Arab Saudi, Public Investment Fund (PIF). PIF memiliki 75 persen saham di setiap empat tim Saudi Pro League tersebut.

Sepakbola bukan hanya soal permainan, tapi di dalamnya juga tentang bisnis. Dalam hal ini, keuntungan adalah yang dicari oleh para pelaku bisnis industri sepakbola. Ketika sebuah klub Arab Saudi sukses memboyong pemain sekaliber Cristiano Ronaldo, misalnya, maka klub tersebut akan meraih banyak pendapatan dari sponsor, penjualan jersey, tiket pertandingan, dan lain-lain.

Industri sepakbola modern, bukan saja soal taktik main cantik, tapi bagaimana menghasilkan uang sebanyak-banyaknya. Klub sepakbola dapat menguasai jagat jika mereka punya banyak uang. Karena sepakbola adalah salah satu alat untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, maka sepakbola juga lekat dengan kapitalisme.

Lalu apa itu kapitalisme? kapitalisme merupakan sistem ekonomi politik yang cenderung ke  arah pengumpulan kekayaan secara individu tanpa gangguan kerajaan. Pendek kata,  kapitalisme  adalah  suatu  paham ataupun ajaran mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan modal atau uang. Saat ini tidak ada yang bisa membantah kedigdayaan rezim kapitalisme mendominasi peradaban dunia global. Hampir dalam setiap sektor kehidupan, logika dan budaya kapitalisme hadir menggerakkan aktivitas. Termasuk dalam aktivitas sepakbola.

Sepakbola, dengan segala keriuhannya, fanatismenya, adalah umpan manja bagi kaum pemodal. Kaum pemodal, dalam hal ini perusahaan, atau individu berlatar belakang orang kaya, sangat tertarik untuk masuk ke dalam jala sepakbola. Mereka melihat sepakbola bukan sekedar olahraga biasa, tapi sebagai ladang cuan untuk meraup kekayaan sebanyak-banyaknya. Hal ini telah dibuktikan dari banyaknya pengusaha, politisi, bahkan artis yang berlomba-lomba menanam sahamnya di klub-klub sepakbola.

Tak perlu jauh-jauh ke Eropa, kita lihat fenomena yang terjadi di Indonesia, misalnya, ketika para selebriti seperti Raffi Ahmad, Atta Halilintar, dan Prily Latuconsina, tiba-tiba membeli klub lokal. Raffi dengan Rans Cilegon FC-nya, Atta sang pemilik AHHA PS Pati FC, dan Prilly yang mengakuisisi saham Persikota Tangerang. Kehadiran orang-orang seperti mereka semakin mempertegas kenyataan bahwa pelaku bisnis, khususnya di sepakbola, bukanlah institusi negara tetapi pemilik modal besar.

Sistem ekonomi kapitalis yang terimplementasikan di dunia sepakbola memang membawa dampak positif berupa peningkatan inovasi serta kemakmuran masyarakat. Misalnya, ketika klub Saudi mendatangkan pemain-pemain bintang, maka itu berdampak pula pada kualitas kompetisi.

Akan tetapi, walau memiliki dampak positif, sistem ekonomi kapitalis juga memiliki sejumlah dampak negatif. Yang paling terasa timbulnya kesenjangan sosial serta sikap individualisme yang tinggi. Misalnya, terjadinya ketimpangan kualitas antar klub. Klub-klub elite akan terus sukses memenangkan setiap turnamen yang mereka ikuti sedangkan klub kecil hanya dapat bertengger di papan tengah hingga bawah klasemen di liga. Klub yang kaya akan semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/kaw/sepakbola-arab-saudi-di-pangkuan-kapitalisme-yang-beruang-yang-berkuasa-b248064p/