Di tempat mana pun, sosok seorang guru merupakan instrumen fundamental dalam membentuk karakter dan pola pikir seseorang. Sosok gurulah juga yang senantiasa akan membersamai dan membimbing murid dalam menyelami luasnya samudra ilmu pengetahuan, bahkan dari titik terendah sekalipun. Guru, sebagai sosok panutan yang digugu dan ditiru selamanya akan menjadi insan yang amat berjasa dalam sejarah kehidupan manusia. Sebab kita tahu, tanpa seorang guru, kita tak ubahnya hewan yang hanya pandai berbicara.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib (seorang pintu ilmu kata nabi) pernah berkata akan betapa penting dan terhormatnya sosok guru. Bahkan, Sayyidina Ali pun rela untuk dijadikan budak bagi seseorang yang telah mengajarinya, meski hanya dengan satu huruf dan beliau juga rela ketika ada seseorang akan memerdekakannya.
أنا عبد من علمني حرفا واحدا إن شاء باع وإن شاء أعتق
Dari kutipan pernyataan Sayyidina Ali di atas terpampang jelas tentang bagaimana penting dan mulianya sosok guru. Sayyidina Ali sebagai pintu dari gudang ilmu (Rasulullah) rela dan merasa tidak mempunyai derajat ketika di depan ilmu.
Selain itu menurut Syekh Az-Zarnuji dalam kitabnya Ta’limul Muta’allim, memuliakan guru juga menjadi salah satu syarat untuk mencapai kesuksesan dan keberkahan dalam mencari ilmu.
إعلم بأن طالب العلم لاينال العلم ولا ينتفع به إلا بتعظيم العلم وأهله وتعظيم الأستاذ وتوقيره
“Ketahuilah sesungguhnya seorang pencari ilmu tidak akan memperolah kesuksesan ilmu dan tidak pula ilmunya bisa akan bermanfaat, kecuali jika mereka mau mengagungkan ilmu, ahli ilmu, dan menghormati keagungan gurunya.” (Ta’limul Muta’allim, Darul Kutub Salafy, hal 37).
Begitu pula dalam tradisi masyarakat Madura, sosok guru dalam tanda kutip “guru ngaji”, memiliki peran penting sebagai sandaran pertama kali murid menuntut ilmu agama, juga memiliki kepercayaan yang tinggi pula di mata masyarakat sekitar. Hal ini terlihat ketika bagaimana cara masyarakat Madura menghormati dan memualiakan sosok guru dalam berbagai hal, apa pun dan di mana pun.
Benar apa yang dikatakan A. Dardiri Zubairi dalam bukunya Rahasia Perempuan Madura, bahwa guru ngaji (guru rebaan dalam istilah Madura) adalah sosok orang yang wajib dimuliakan setelah orang tua kandung. Sehingga ada ungkapan masyhur bappa’ babbu’, guru, dan rato (bapak, ibu, guru, dan ratu/penguasa). Eksistensi guru dalam pandangan orang Madura harus dimuliakan lebih ketimbang sosok penguasa sekalipun.
Dardiri Zubairi juga menyebutkan alasan kenapa guru begitu mulia dan dimuliakan setelah orang tua kandung. Sebab, sosok guru adalah pendidik bathin, ia yang mengenalkan pengetahuan tentang bagaimana seharusnya hubungan antara hamba dan Tuhannya, hubungan antara manusia sesama manusia, juga hubungan antara manusia dengan alam.
Termasuk salah satu tradisi seorang murid dengan gurunya di Madura, selain tradisi nyabis (sowan) seperti yang disebutkan A. Dardiri Zubairi dalam bukunya, saya menemukan tradisi lain perihal hubungan seorang murid dan guru ngaji yang hingga kini tetap lestari. Yaitu tradisi Ser Ajem dengan seperangkat sembako lainnya.
Tradisi Ser Ajem adalah tradisi memberikan ayam kepada guru ngaji anak sebagai simbol pemasrahan dan terima kasih. Dikatakan simbol pemasrahan, sebab pemberian ini diberikan orang tua yang hendak memasrahkan anaknya untuk mengaji kepada seorang guru ngaji. Dikatakan simbol terima kasih, biasanya tradisi ini juga dilakukan ketika anaknya telah khatam, baik Iqro’ maupun Al-Qur’an.
Perangkat sembakonya pun beragam, seperti beras, telur ayam, minyak goreng, rempah-rempah dan lain semacamnya. Ini merupakan tradisi yang masih banyak untuk kita temukan tentang bagaimana cara masyarakat Madura memuliakan guru, juga relasi antara murid dan seorang guru.
Tradisi memberikan ayam sebenarnya juga bukan hanya tradisi ketika seorang anak hendak dipasrahkan atau khatam pada seorang guru ngaji. Selain itu, tradisi ini juga diberikan kepada pengasuh pesantren ketika memasrahkan anaknya untuk mondok. Secara simbolik, dua pemberian memiki makna yang sama, yaitu pemasrahan.