Saat mencatat nama-nama ulama asal Priangan di Tatar Sunda (Jawa Barat) dalam catatan harian pribadinya di tahun 1889, Snouck Hurgronje banyak menyebut sesosok ulama bernama “Kijahi Moelabaroek van Garoet” atau Kiyai Mulabaruk dari Garut.
Sepanjang tahun 1889 hingga 1891, Snouck Hurgronje (w. 1936) melakukan rihlah keilmuan mengelilingi pesantren-pesantren tua yang ada di wilayah Sunda (Jawa Barat dan Banten) serta Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dalam rihlah intelektual tersebut, Snouck ditemani oleh Haji Hasan Mustapa (w. 1930), sahabat karibnya yang pernah berjumpa saat keduanya berada di kota suci Mekkah, pada tahun 1885.
Dalam catatan harian tersebut, Snouck mencatat ratusan nama ulama di Sunda-Jawa-Madura, serta jaringan keilmuan dan genalogi intelektual yang saling menghubungkan antar mereka dengan ulama-ulama Melayu-Nusantara lainnya, serta dengan ulama-ulama di Mekkah.
Saat mencatat nama-nama ulama di wilayah Tatar Sunda, Snouck banyak menyebut nama sesosok ulama yang tampaknya menjadi poros utama jaringan keilmuan dan mahaguru para ulama Sunda di paruh pertama abad ke-19 M (1800 – 1850). Sosok tersebut bernama Kiai Mulabaruk yang bermukin di Kabupaten Garut.
Sebagaimana dicatat Snouck, sosok “Kijahi Moelabaroek” pada masa hidupnya memiliki ratusan murid yang berasal dari berbagai pelosok wilayah Tatar Sunda, utamanya Priangan. Pesantren yang menjadi basis tempatnya bermukim dan mengajar terletak di Mulabaruk, salah satu kampung yang termasuk pada wilayah administrasi distrik Sukawening, afdeling (kabupaten) Garut.
Di pesantrennya, “Kijahi Moelabaroek” mengajar beberapa kitab “tingkat tinggi”, seperti kitab tasawuf “al-Insân al-Kâmil” karya al-Jîlî (w. 1424 M), kitab tafsir “Anwâr al-Tanzîl” karya al-Baidhâwî (w. 1286 M), kitab fikih “Minhâj al-Thâlibîn”, “Raudhah al-Thâlibîn” dan “al-Majmû’ syarh al-Muhadzab” yang mana kesemuanya adalah karya al-Nawawî (w. 1277 M).
Selain itu, terdapat kitab-kitab lain dalam bidang ilmu tata Bahasa Arab (nahwu dan sharaf) yang diajarkan di Pesantren Mulabaruk sebagaimana disinggung oleh Snouck, yaitu kitab “shorof”, “awamil”, “al-ajurumiyyah” dan juga “Alfiyyah ibn Mâlik”.
Snouck juga menyebut sejumlah nama ulama besar dan berpengaruh di wilayah Priangan yang menjadi anak murid dari “Kijahi Moelabaroek” ini. Dalam catatannya, Snouck mengungkapkan jika “Kijahi Moelabaroek” mampu menempatkan para muridnya menjadi kelompok ulama yang memiliki pengaruh besar di Priangan, setelah terlebih dahulu “Sang Kijahi” merekomendasikan murid-muridnya itu untuk melanjutkan masa studi mereka ke Jawa, Madura, lalu ke Makkah.
Di antara murid Kiyai Mulabaruk yang tercatat dalam list Snouck adalah (1) Kiyai Muhammad Razi Sukamanah [Mohammad Razi Soekamana, Soetji] yang pakar ilmu nahwu; (2) Raden Haji Yahya [Raden Hadji Jahja] yang menjabat penghulu kepala di Garut; (3) Kiyai Muhammad Arif Sumedang [w. 1888] yang pakar ilmu fikih; (4) Kiyai Muhammad Shohih Bunikasih Cianjur [w. 1885]; (5) Kiyai Bunter [Kijahi Boenter] dari Tanjungsari Sumedang yang pakar ilmu tata bahasa Arab dan wafat di Makkah; (6) Kiyai Hasan Basori [Hasan Bacri] Kiarakoneng Garut [w. 1865] yang pakar ilmu qira’at; dan (7) Kiyai Cipari dari Wanaraja [Kijahi Tjipari] yang merupakan sahabat dari Kiyai Hasan Basori Kiarakoneng.
Di antara ulama-ulama Sunda lainnya yang terhubung jaringan keilmuannya dengan sosok ulama besar “Kijahi Moelabaroek” ini adalah Kiyai Muhammad Hasan dan Kiyai Abdul Mu’in (keduanya berasal dari Kadu Gede), Kiyai Muhammad Shiddiq (dari Cipancur), Kiyai Abdul Ghani (dari Cikohkol), juga Kiyai Haji Mu’allim (tidak disebutkan asal tempatnya).
Di antara nama-nama murid “Kijahi Moelabaroek” yang telah disebutkan di atas, terdapat dua nama yang tampaknya penting untuk diulas lebih jauh, yaitu Kiyai Hasan Basori Kiarakoneng Garut (w. 1865) dan Kiyai Shoheh Bunikasih Cianjur (w. 1885).
Kiyai Hasan Basori Kiarakoneng merupakan ayah dari Syaikh Muhammad Garut atau yang dikenal dengan nama Mama Jabal Makkah. Sosok Syaikh Muhammad Garut disinggung oleh Snouck sebagai sosok ulama besar Sunda yang mengajar di Makkah pada paruh kedua abad ke-19 M, seorang mursyid Tarekat Qadiriah Naqsyabandiah (TQN) yang merupakan murid dari Syaikh Ahmad Khatib Sambas Makkah (w. 1876). Syaikh Muhammad Garut menurunkan sejumlah anak yang pakar dalam bidang ilmu qira’at al-Qur’an, di anatarnya adalah Kiyai Abdullah Salim di pesantren Cibunut, Suci (wafat di Garut) dan Syaikh Muhammad Siraj (wafat di Makkah).
Kiyai Hasan Basori Kiarakoneng juga merupakan guru dari Kiyai Adzro’i Bojong (Garut), ayah dari Kiyai Umar Basri (pendiri Pesantren Fauzan Garut). Kiyai Adzro’i Bojong juga berbesan dengan Syaikh Muhammad Garut (putra dari Kiyai Hasan Basori Kiarakoneng).
Pada medio tahun 2020 silam, saya berkesempatan menziarahi makam Kiyai Hasan Basori Kiarakoneng yang terletak di bilangan Karangpawitan, Garut. Ziarah tersebut dilakukan bersama tim dari Sanadmedia.com, dan dipandu oleh Ajengan Aef Saefullah Karangpawitan dan Habib Fahmi al-Munawwar Karangpawitan.
Sosok kedua, yaitu Kiyai Shoheh Bunikasih Cianjur. Selain belajar kepada Kiyai Mulabaruk di Garut, Kiyai Shoheh Bunikasih juga tercatat pernah belajar kepada Kiyai Ubaidah Sidoresmo (Surabaya). Sementara itu, dalam sumber yang lain (kitab “Fâidah al-Muhtâj”), disebutkan jika Kiyai Shoheh Bunikasih juga pernah belajar kepada Syaikh Ibrahim al-Baijuri (w. 1860), Grand Shaikh Al-Azhar Mesir pada zamannya. Dalam kitab “Fâ’idah al-Muhtâj”, bahkan disebutkan jika Kiyai Shoheh Bunikasih adalah sosok yang memotivasi sang guru, yaitu Syaikh Ibrahim al-Baijuri, untuk menulis sebuah karya dalam bidang ilmu teologi berjudul “Risâlah al-Bâjûrî fî al-‘Aqîdah”.
Kiyai Shoheh Bunikasih (Cianjur) juga merupakan kawan satu generasi dari Syaikh Nawawi Banten Makkah (w. 1897), ulama besar dunia Islam yang mengajar di Masjidil Haram di Makkah yang berasal dari Tanara (Banten). Syaikh Nawawi Banten juga tercatat menulis sebuah karya yang berisi komentar (syarah) atas risalah karya Syaikh Ibrahim al-Baijuri di atas. Karya tersebut berjudul “Tîjân al-Darârî syarh ‘alâ Risâlah al-Bâjûrî”.
Namun demikian, saya belum masih mendapatkan informasi lebih lanjut, di mana gerangan letak “pesantren Mulabaruk” sebagai episentrum transmisi intelektual Islam di Tatar Sunda pada paruh pertama abad ke-19 M sebagaimana disinggung dalam catatan diary Snouck Hurgronje, demikian juga di mana gerangan letak makam sosok ulama besar yang sedari awal menjadi topik utama perbincangan kita kali ini; “Kijahi Moelabaroek van Garoet”?
Wallahu A’lam
Buitenzorg, 29 Juni 2022