Sikap Bijaksana Seorang Muslim Terhadap Sahabat Nabi

Laduni.ID, Jakarta – Setelah kita mengetahui cerita yang terjadi antara para sahabat Rasulullah SAW, maka kita bisa petik sebuah pelajaran bahwa, “Sahabat Nabi tidak akan melangkah ataupun bertindak kecuali sesuai dengan keinginan serta syariat Rasulullah SAW.”

Inilah pemahaman kita selaku Ahlu Sunnah wal Jamaah. Seberapa muliakah sahabat Rasulullah? Allah SWT sendiri yang menyanjung mereka dalam firmanNya:

لَٰكِنِ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ جَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمُ الْخَيْرَاتُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون

Artinya: “Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At Taubah: 88)

Tak cukup itu, Rasulullah SAW pun seakan memberi petunjuk kepada kita untuk mengerti seberapa mulianya kadar para sahabatnya dalam haditsnya:

لا تسبوا أصحابي فلو أن أحدكم أنفق مثل أحد ذهبا ما بلغ مد أحدهم ولا نصيفه

“Janganlah kalian hina sahabatku, walaupun kalian menginfakkan harta sebanyak gunung Uhud. Kalian tak akan bisa menandingi infak 1 mud dari mereka (sahabatku) bahkan separuhnya.”

Kenapa sahabat Rasulullah SAW sangatlah mulia sekali?

Karena mereka telah disematkan dalam hatinya rasa cinta yang sangat besar kepada Rasulullah serta diberi kemuliaan dapat memandang corak terindah di dunia ini yaitu, “Wajah Rasulullah SAW”.

Al-Imam Al-Bushiri bersyiir:

ليته خصني برؤية وجه # زال عن كل من رآه الشقاء

“Andai saja Allah mengizinkanku untuk dapat memandang wajah yang akan menghilangkan segala kesumpekan bagi yang memandangnya.”

Maka tugas kita selaku umat Rasulullah untuk selalu memuliakan serta menghormati sahabat Rasulullah, karena patuh terhadap perintahnya sebagai bukti cinta kita kepadanya.

Sayyidi Syekh Dr. Muhammad bin Ali Ba’atiyah bertutur:

“Maka tanamkan di hati sifat memuliakan para Sahabat Nabi. Biasakan lisanmu untuk selalu beradab dengan mereka dalam ucapanmu.” (Lihat kitab As-Suluk Al-Asasiyah)

Lantas, jika ada diantara mereka sedikit gesekan seperti yang terjadi dalam perang Shiffin dan perang Jamal antara Sayidina Ali, Muawiyah dan Sayidah Aisyah, bagaimanakah sikap kita? Berada di pihak manakah kita? Apa tanggapan kita?

Al- Imam Abdullah bin A’lawy Al-Haddad dalam kitabnya Ad-Da’wah At-Tammah memberikan solusi:

“Bagi orang mukmin untuk selalu berprasangka baik terhadap para sahabat Nabi. Adapun peristiwa yang terjadi di antara mereka, maka tugas kita selaku umatnya untuk mentakwil kejadian tersebut dengan hal-hal yang baik. Tanpa ada caci maki serta hujatan kepada salah satu di antara mereka.”

Yakinlah sungguh setiap dari mereka memiliki perspektif dan pemahaman sendiri-sendiri yang dengannnya menjadikan corak keberagaman dalam hidup.

Bukankah Allah SWT sendiri telah berfirman dalam kitab suciNya:

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ عَمَّا جَاۤءَكَ مِنَ الْحَقِّۗ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا ۗوَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَجَعَلَكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلٰكِنْ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَآ اٰتٰىكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ اِلَى اللّٰهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَۙ

Artinya: “Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan.” (QS. Al Maidah: 48)

Al-Imam Ibnu Ruslan mengungkapkan dalam syairnya:

وما جرى بين الصحاب نسكت # عنه وأجرى الإجتهاد نثبت

“Adapun peristiwa yang terjadi di antara para sahabat, Hak kita untuk menahan lisan untuk mencaci atau mencibir, serta beriktikad bahwa setiap dari mereka memiliki perspektif tersendiri.”

Maka setiap kelompok yang mengajarkan untuk menghina, melaknat serta membenci salah satu dari sahabat Nabi, ketahuilah kelompok itu telah menyimpang dari ajaran mulia Rasulullah SAW.mSetiap ormas yang mendikte anggotanya untuk menafikan kemuliaan sahabat Nabi, ketahuilah sungguh mereka telah menerjang petunjuk sang Rasul mulia.

Maka Ahlu Sunnah wal Jamaah lah kelompok yang lebih memiih bijak dalam mengambil keputusan, moderat dalam menyikapi sebuah perkara dan lebih memilih menyucikan hati serta perbuatan dari kotoran dengki serta kebencian.

Sikap Seorang Muslim Terhadap Gesekan Antara Muawiyah dan Sayidina Ali

Setelah kematian dari Sayyidina Usman bin Affan, Muawiyah selaku sepupu dari Sayyidina Usman mendesak kepada Khalifah yang saat itu diemban oleh Sayyidina Ali untuk menyerahkan seluruh orang yang ikut campur dalam pembunuhan Sayyidina Usman kepadanya.

Dalam hal ini Sayyidina Ali sungguh sangat bijak dalam mengambil kebijakan serta lebih condong untuk menolak permintaan Muawiyah karena khawatir akan terjadinya kekacauan serta semrawutnya pemerintahan yang baru diemban oleh Sayyidina Ali jika permintaan itu dituruti.

Maka setiap dari mereka punya perspektif masing-masing:

Sayyidina Ali lebih memilih untuk menjaga kestabilan pemerintahan serta persatuan muslimin dengan cara mengakhirkan hukum atas para pembunuh Sayyidina Usman sampai urusan pemerintahan kembali teratur.

Muawiyah mendesak Sayyidina Ali atas dasar kekeluargaan dan penegakan hukum secepatnya terhadap para pembunuh Khalifah Usman.

Maka jika kita bisa cermati, sungguh tujuan masing-masing dari mereka baik, maka selayaknya bagi kita untuk menahan diri dari mencaci salah satu dari mereka seperti yang telah digemakan kelompok yang mengatasnamakan mereka sebagai, “Nawasib”.

Tamparan Keras Bagi Yang Menghina Sahabat Nabi Khususnya Muawiyah

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Abi Syaibah dalam kitabnya Al-mushonnaf dari sahabat Abdul Malik bin Umair berkata:

Telah berkata Muawiyah, “Sungguh aku sangat berambisi untuk meraih jabatan pemerintahan sejak Rasulullah SAW bersabda:”

يا معاوية إذا ملكت فأحسن

“Wahai Muawiyah jika kau telah menjadi pemimpin maka lakukanlah tugasmu dengan sebaik-baiknya.”

Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menyanggah hadits ini dalam kitabnya:

“Ketahuilah sungguh ucapan Rasulullah SAW ini telah membuktikan bahwa menghina dan menghujatnya atas peristiwa yang terjadi antara dia dan Sayyidina Ali ialah penyelewengan terhadap Sunnah. Sungguh perbuatan darinya dilandasi atas dasar pemahaman yang benar. Begitupun juga keputusan Sayyidina Ali, maka selayaknya kita sebagai seorang muslim untuk selalu menjaga adab terhadap mereka.” (lihat kitab As-Sowaiq Al-Muhriqah)

Kesimpulan

Maka pemahaman yang lurus ialah pemahaman yang telah diajarkan oleh para ulama serta telah mendarah daging dalam masyarakat, yaitu, “Paham Ahlu Sunnah wal Jamaah”.

Paham moderat yang mengajarkan kedamaian, persatuan serta cinta di antara kaum Islam.Tak mengajarkan untuk: Mengkafirkan, mencibir serta melaknat para sahabat Rasulullah yang mulia.

Referensi:

1. Ad-Da’wah At-Tammah, karya: Al-Habib Abdullah bin A’lawy Al-Haddad.

2. As-Sowaiq Al-Muhriqah, karya: Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitami.

3. As-Suluk Al-Asasiyah, karya: Dr. Muhammad bin Ali Ba’atiyah.\

Oleh: Sibt Umar


Editor: Daniel Simatupang

https://www.laduni.id/post/read/72594/sikap-bijaksana-seorang-muslim-terhadap-sahabat-nabi.html