Laduni.ID, Jakarta – بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم. Istri-Istri Rasulullah.
Ummul Mukminin, Juwairiyah binti Harits RA
Harits menghimpun kekuatan untuk menyerang Madinah, beberapa kabilah Arab ikut bergabung. Kegiatannya ini diketahui oleh Nabi SAW, dan beliau mengirim Buraidah bin Hushaib al Aslamy untuk mengecek kebenaran berita ini. Setelah memperoleh informasi yang lengkap dan benar, beliau memimpin pasukan untuk meyerang mereka, sehingga terjadilah pertempuran Bani Musthaliq atau al Muraisi’, karena terjadi di mata air al Muraisi milik Bani Musthaliq di Qudaid.
Juwairiyah binti Harits seorang yang cantik jelita dan wajahnya selalu berseri-seri. Jika berjalan, ia selalu menundukkan pandangannya (ghadul bashar). Sebelumnya ia telah menikah dengan Musafi bin Shafwan. Sekitar tiga hari sebelum terjadinya perang Bani Musthaliq ini, Juwairiyah bermimpi melihat bulan terbit dari arah Yatsrib (Madinah), kemudian jatuh ke pangkuannya. Ia menafsirkan, bahwa kelak ia akan menjadi istri dari pemimpin Madinah, yakni Nabi SAW.
Ketika ia menjadi tawanan pasukan muslim, ia sangat berharap mimpinya itu akan menjadi kenyataan. Tetapi saat pembagian ghanimah, ia jatuh ke tangan Tsabit bin Qais. Ketika Juwairiyah menyampaikan keinginannya untuk dibebaskan, Tsabit bersedia memenuhinya dengan tebusan sembilan uqiyah emas. Maka ia menemui Rasulullah SAW dan berkata,”Wahai Rasulullah, aku adalah putri pimpinan dari kaum ku Bani Musthaliq, yaitu Harits bin Abu Dhirar, dengan musibah yang menimpa ku ini, tentu engkau mengetahui keadaan aku. Sementara Tsabit menentukan tebusan kebebasan ku yang begitu tinggi, yang di luar kemampuan ku. Karena itu aku menghadap engkau untuk memperoleh jalan keluar dari masalah ku ini…!”
Mendengar keluhan Juwairiyah ini, Rasulullah SAW bersabda: “Aku akan memberikan jalan keluar yang lebih baik dari semua itu, aku akan memberikan harta kepadamu, jadi engkau bisa membayar tebusan kebebasanmu dari Tsabit, setelah itu aku akan menikahimu..!” Juwairiyah pun sangat gembira mendengar ini, yang secara tidak langsung adalah lamaran Nabi SAW atas dirinya. Ini juga berarti mimpi yang dialaminya sebelum terjadinya pertempuran telah menjadi kenyataan, seperti yang didambakannya.
Karena itu segera saja ia menyetujui dan menerima jalan keluar yang diberikan Rasulullah SAW. Pernikahan Nabi SAW dengan Juwairiyah ini ternyata berdampak besar. Para sahabat yang mempunyai tawanan dari Bani Musthaliq, serta merta membebaskan mereka dari tawanan atau perbudakannya
Hal ini dilakukannya sebagai wujud penghargaan mereka atas Nabi SAW dan kepada Bani Musthaliq, yang putri pimpinannya menjadi salah satu Ummahatul Mukminin. Para sahabat itu berkata: “Mereka adalah besan Rasulullah SAW.”
Diriwayatkan ada 100 keluarga sahabat yang membebaskan sekitar 700 orang tawanan Bani Musthaliq tanpa sepeserpun meminta uang tebusan. Sungguh suatu keberkahan besar dari pernikahan Nabi SAW ini. Juwairiyah dinikahi Nabi SAW pada bulan Sya’ban tahun 6 hijriah, ketika ia berusia 20 tahun. Ia wafat di Madinah pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 50 hijriah, dalam usia 65 tahun. Tetapi riwayat lain menyebutkan bahwa ia wafat pada tahun 56 hijriah pada usia 70 tahun.
Ummul Mukminin, Ummu Habibah RA
Ummu Habibah RA adalah anak dari tokoh kaum musyrik Makkah Abu Sufyan bin Harb. Pada masa jahiliah ia menikah dengan Ubaidillah bin Jahsy, dan kemudian bersama-sama memeluk Islam. Karena tekanan dan siksaan dari kaum musyrikin, mereka berdua ikut berhijrah ke Habasyah. Sayangnya disana Ubaidillah murtad dan mati dalam keadaan musyrik (beragama Nashrani).
Sebelum suaminya murtad, Ummu Habibah, yang nama aslinya adalah Ramlah binti Abu Sufyan, memimpikan wajah suaminya terlihat sangat buruk dan menakutkan. Keesokan harinya, suaminya memutuskan untuk memeluk agama Nashrani. Tentu saja Ummu Habibah menjadi panik, namun demikian Allah meneguhkan pendiriannya dan tetap bertahan dalam keislamannya. Ketika Nabi SAW mengirimkan surat kepada Najasyi, lewat sahabat Amr bin Umayyah adh Dhamry, beliau juga menyampaikan lamaran kepada Ummu Habibah RA, dan meminta tolong Najasyi menyampaikan lamarannya ini. Najasyi menyuruh seorang wanita bernama Abraha untuk menyampaikan berita ini sekaligus menjemput Ummu Habibah.
Memperoleh kabar ini, Ummu Habibah begitu gembira, sehingga ia melepas perhiasan yang dipakainya dan diberikannya kepada Abraha, beberapa benda berharga yang dimilikinya juga diberikannya kepada utusan Najasyi tersebut. Najasyi yang saat itu baru saja memeluk Islam, menikahkan Rasulullah SAW dengan Ummu Habibah, dan memberikan mahar sebanyak 400 dinar emas. Orang-orang yang hadir pada majelis Najasyi saat itu juga diberikan hadiah uang dinar dan juga makanan.
Ummu Habibah pun berangkat ke Madinah untuk dipertemukan dengan Rasulullah SAW. Najasyi mengirimkan banyak sekali barang-barang hadiah dan minyak wangi ke Madinah, sebagai bingkisan pernikahan beliau itu. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Muharram tahun 7 Hijriah. Sebagian riwayat menyatakan bahwa pernikahan terjadi pada tahun 6 hijriah, dan Ummu Habibah baru pindah ke Madinah untuk tinggal bersama Rasulullah pada tahun 7 hijriah. Mengenai tahun kewafatan Ummu Habibah, banyak perbedaan pendapat, sebagain meriwayatkan tahun 44 hijriah, ada yang tahun 42 hijriah, 55 hijriah atau juga 50 hijriah, wallahu a’lam.
Saat berlangsungnya perjanjian Hudaibiyah, Abu Sufyan yang masih kafir datang ke Madinah, ia menyempatkan diri untuk mengunjungi Ummu Habibah. Saat melihat kasur terhampar, Abu Sufyan akan mendudukinya, tetapi putrinya tersebut bergegas melipat dan menyingkirkannya. Tentu saja Abu Sufyan terkejut, ia bertanya, “Apakah aku tidak boleh duduk di atasnya? Tidak pantaskah aku untuk mendudukinya?”
“Kasur ini hanya untuk Rasulullah SAW,” Kata Ummu Habibah dengan tegas, “Ayah masih kafir dan tidak suci, bagaimana mungkin aku akan membiarkan ayah akan mendudukinya?”
“Setelah kita berpisah, ternyata engkau mempunyai perangai yang buruk,” Kata Abu Sufyan dengan kecewa.
Tentu saja hal itu bukan perangai buruk Ummul Mukminin, Ummu Habibah RA. Sebaliknya hal ini adalah wujud kecintaan dan penghormatannya kepada Nabi SAW, jauh melebihi kecintaan pada siapapun di dunia ini, termasuk orang tuanya sendiri. Hal sama juga ditunjukkannya ketika ayahnya meninggal dunia.
Walau meninggalnya dalam keislaman, Ummu Habibah memakai wewangian pada malam ketiga setelah kewafatan ayahnya. Ia berkata, “Sebenarnya saya tidak terlalu suka memakai wewangian, tetapi Rasulullah SAW bersabda bahwa seorang wanita tidak boleh berkabung lebih dari tiga hari, kecuali untuk suaminya. Ia boleh berkabung selama empat bulan sepuluh hari jika suaminya meninggal.
Karena itu saya memakai wewangian agar tidak dianggap masih berkabung atas kematian ayah saya.”
Ummul Mukminin Shafiyah Binti Huyyai RA
Shafiyah binti Huyyai bin Akhthab RA adalah seorang wanita Bani Israel, masih keturunan Nabi Musa dan Nabi Harus AS. Dia adalah putri salah satu pemimpin Yahudi Khaibar, Huyyai bin Akhthab. Ia telah menikah dua kali sebelum pernikahannya dengan Nabi SAW. Suaminya yang pertama adalah Salam bin Masykam. Setelah berpisah dengan Salam, ia dinikahi oleh Kinanah bin Abul Huqaiq ketika mulai berlangsungnya Perang Khaibar.
Ia pernah bermimpi melihat pecahan bulan jatuh ke pangkuannya. Ketika mimpi ini diceritakan kepada ayahnya, dengan marah Huyyai menamparnya dan berkata, “Apakah engkau ingin menikah dengan raja Madinah?”
Ketika menjadi istri Kinanah, ia juga pernah bermimpi melihat matahari berada di dadanya. Mimpi ini diceritakan pada suaminya, lagi-lagi ia hanya mendapat kemarahan dan ucapan yang sama, “Sepertinya engkau ingin menikah dengan raja Madinah..!!”
Ketika perang Khaibar berakhir dengan menyerahnya orang-orang Yahudi, Shafiyah menjadi salah satu tawanan. Suaminya, Kinanah dibunuh karena melakukan pengkhianatan atas perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Ketika sahabat Dihyah al Kalbi datang kepada Nabi SAW meminta hamba sahaya wanita, beliau memberikan Shafiyah kepadanya.
Beberapa sahabat Anshar yang melihat hal ini, datang kepada Nabi SAW dan memberikan pendapat dan pandangannya: “Wahai Rasulullah, Bani Nadhir dan Bani Quraizhah (Dua kabilah Yahudi di Madinah), akan merasa sangat tersinggung jika putri pemimpin Yahudi dijadikan seorang hamba sahaya, karena itu, sebaiknya engkau menikahi Shafiyah saja.”
Nabi SAW memahami maksud sahabat-sahabatnya tersebut. Ia memanggil kembali Dihyah al Kalbi dan Shafiyah, beliau memberikan uang tebusan kepada Dihyah untuk kebebasan Shafiyah. Dalam riwayat lain, beliau memberikan atau menyuruh Dihyah memilih wanita lain sebagai hamba sahayanya.
Kemudian Nabi SAW bersabda kepada Shafiyah: “Wahai Shafiyah, engkau sekarang bebas. Engkau boleh kembali kepada kaummu, atau kalau engkau bersedia, masuklah ke dalam agama Islam, dan aku akan menikahimu..!”
Mendengar penawaran ini, dengan sukacita Shafiyah berkata, “Wahai Rasulullah, sudah lama aku ingin menjadi istrimu sejak aku masih beragama Yahudi. Karena itu bagaimana mungkin aku akan bisa berpisah denganmu, sedangkan saat ini aku telah memeluk Islam..!”
Nabi SAW pun menikahi Shafiyah, dengan mas kawin pembebasan dirinya status sahaya. Dalam perjalanan pulang ke Madinah, di suatu tempat bernama Ash Shahba’, Nabi SAW mengadakan walimah atas pernikahannya dengan Shafiyah. Ummu Sulaim merias Shafiyah dalam acara walimah ini.
Nabi bersabda pada sahabat-sahabatnya “Barang siapa memiliki makanan, hendaklah dibawa kesini!” Para sahabat datang dengan berbagai makanan, seperti kurma, buah pir,manisan,minyak zaitun, makanan dari tepung, keju, dan lain-lain. Mereka menempatkan pada sebuah alas makan dari kulit.
Inilah yang menjadi hidangan acara walimah tersebut. Nabi SAW tinggal Ash Shahba’ selama tiga hari sebelum meneruskan perjalanan pulang ke Madinah.
Diriwayatkan dari Shafiyah sendiri, bahwa ia dinikahi Nabi SAW ketika usianya belum genap 17 tahun, yakni pada tahun 7 hijriah, dan meninggal pada bulan Ramadhan tahun 50 hijriah, dalam usia 60 tahun.
Ummul Mukminin, Maimunah Binti Harits RA
Maimunah binti Harits RA nama aslinya adalah Barrah, nama Maimunah diberikan Rasulullah SAW setelah beliau menikahinya. Dua orang saudaranya menjadi istri paman Nabi SAW, yaitu Ummu Fadhl Lubabah binti Harits menjadi istri Abbas RA, dan Salma binti Harits menjadi istri Hamzah RA. Ayahnya adalah Harits bin Hazn. Ia juga masih termasuk bibi dari Khalid bin Walid dari pihak ibu. Menurut sebagian riwayat, sebelumnya ia telah menikah dua kali, salah satunya dengan Abu Rahn bin Abdul Uzza.
Setelah menjadi janda, ia menyerahkan urusannya kepada Abbas, suami saudaranya. Nabi SAW melaksanakan Umrah Wadha pada tahun 7 hijriah, sebagai pelaksanaan salah satu klausul perjanjian Hudaibiyah. Beliau tinggal selama tiga hari dan sebagian besar penduduk Makkah tinggal di luar kota, sehingga kaum muslimin bebas melaksanakan aktivitas dan ibadah, seperti ketika di Madinah.
Ternyata keadaan ini menarik perhatian orang-orang Makkah, sehingga ada yang kemudian memeluk Islam, salah satunya adalah Barrah. Karena keislamannya ini, Abbas menemui Rasulullah SAW, dan meminta beliau untuk bersedia menikahi Barrah. Ternyata beliau menyetujui permintaan pamannya ini, dan memberikan mas kawin sebesar 400 dirham.
Saat itu Nabi SAW dan kaum muslimin telah tiga hari berada di Makkah, datanglah Suhail bin Amr dan Huwaithib bin Abdul Uzza dan meminta beliau dan rombongan dari Madinah untuk segera meninggalkan Makkah. Beliau meminta tangguh beberapa hari untuk melaksanakan walimah dan perjamuan pernikahannya dengan Barrah, sekaligus mengundang mereka untuk hadir, tetapi permintaan ini ditolak. Akhirnya rombongan dari Madinah keluar dari kota Makkah, dan menetap di suatu tempat bernama Sarif selama beberapa hari. Beliau meninggalkan pembantunya, Abu Rafi’ RA di Makkah, dan diminta membawa Maimunah menyusul rombongan Nabi SAW.
Ketika mereka berdua sampai di Sarif, pernikahanpun dilangsungkan, dan beliau mengganti nama Barrah dengan Maimunah. Ia menikah dengan Nabi SAW pada bulan Dzulqaidah tahun 7 hijriah, ketika itu ia berusia 26 tahun. Ia meninggal pada tahun 51 hijriah ketika berusia 71 tahun di Sarif, tempat ia disusulkan dan dinikahi dengan Nabi SAW, dan dimakamkan disana. Tetapi sebagian riwayat menyebutkan ia wafat pada tahun 61 hijriah pada usia 81 tahun.
Aisyah RA menyatakan bahwa di antara istri-istri Nabi SAW lainnya, Maimunah adalah wanita yang paling salehah, dan sangat menjaga hubungan silaturahmi. Maimunah juga selalu menyibukkan diri dengan shalat dan pekerjaan rumah tangganya.
Para ahli sejarah sepakat, bahwa Maimunah adalah istri yang terakhir dinikahi Nabi SAW.
Suatu ketika Maimunah memerdekakan budak perempuannya, tetapi ia lupa tidak meminta ijin dahulu kepada Nabi SAW. Saat itu memang bukan sedang gilirannya didatangi beliau, sementara niatnya untuk memerdekakan telah begitu menguat, sehingga begitu saja ia melakukannya.
Ketika tiba giliran Nabi SAW mengunjunginya, ia berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah tuan telah merasa bahwa saya telah memerdekakan budak perempuan saya?”
“Apakah engkau telah melakukannya?” Tanya Nabi SAW.
“Sudah…!!” Kata Maimunah. Memang, Nabi SAW selalu memotivasi siapapun, apalagi keluarga dekat termasuk istri-istri beliau untuk tidak menunda-nunda jika ingin berbuat kebajikan.
Tetapi dalam kasus ini, beliau melihat ada manfaat yang lebih besar dari apa yang telah dilakukan oleh Maimunah, yakni membantu meringankan beban kerabatnya.
Beliau bersabda, “Seandainya budak tersebut engkau berikan kepada bibimu, niscaya engkau memperoleh pahala yang lebih besar.”
Putra-putri Rasulullah Muhammad SAW. Putra-putra Rasulullah ada tiga orang, dari Khadijah dua orang, yaitu Qasim RA dan Abdullah RA, sedangkan seorang lagi dari istri beliau yang berstatus hamba, yaitu Mariyah al Qibthiyah, yaitu Ibrahim RA. Bersambung, InsyaAllah. Sallu ala Nabi.
Oleh : Sayid Machmoed BSA (sumber tulisan dari utasan @sayidmachmoed)
Editor : Ali Ramadhan
https://www.laduni.id/post/read/72657/sirah-khulafa-ar-rasyidin-bagian-keempat.html