Siti Nurbaya Bakar dan Rusaknya Lingkungan Hidup: Pemerintah Gagal Menjalankan Fungsi Manusia sebagai Khalifah

Beberapa waktu yang lalu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar menggemparkan jagat maya dengan tweet-nya yang mengatakan bahwa “Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi”. Pernyataan menteri LHK ini jelas memunculkan perdebatan, di mana pernyataan tersebut seolah lebih mementingkan pembangunan dibanding merawat alam. Di sini penulis bukan mencoba menyalahkan atau membenarkan menteri LHK, namun di sini penulis akan mencoba melihat fenomena kerusakan alam dalam perspektif Islam.

Pada dasarnya kerusakan alam yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia telah disebutkan dan tergambarkan di dalam Al-Qur’an. Misalnya seperti pada Q.S  Ar-Rum:31:

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Lantas apakah manusia memang diturunkan ke bumi dengan tujuan menghancurkan bumi? Tentu tidak, pada ayat di atas pun manusia diperintahkan untuk bertobat dari kesalahan yang mereka perbuat yang mengakibatkan kerusakan alam. Sedangkan tujuan manusia seperti selain beribadah adalah menjadi khalifah. Seperti yang disebutkan pada Q.S Al-Baqarah: 22:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُون

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”

Menurut At-Thabari dalam tafsirnya bahwa penggalan ayat di atas bermaksud menyatakan bahwa Allah menetapkan khalifah bagi diri-Nya yang Allah tugaskan untuk mengelola dan menegakkan hukum atas nama-Nya di bumi. Khalifah itu adalah Nabi Adam dan siapa pun yang melaksanakan tugas-tugas tersebut untuk meneruskan fungsi Nabi Adam dalam ketaatan kepada Allah serta menegakkan keadilan di tengah makhluk-Nya. Adapun yang melakukan penumpahan darah dan perusakan maka mereka tentu tidak pantas disebut sebagai khalifah Allah. Jadi di sini Al-Thabari memaknai khalifah sebagai wakil Allah di bumi.

Baca juga:  Mengenang Abah Achmad Zuhdy, Kamus Berjalan Inspirasi Para Santri

Senada dengan pendapat dengan Al-Thabari di atas, seorang peneliti bernama Muhammad Qomarullah dalam penelitiannya berjudul “Lingkungan Dalam Kajian Al-Qur’an: Krisis Lingkungan Dan Penanggulangannya Perspektif Al-Qur’an”, mengatakan bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah untuk menjadi mandataris Allah secara fungsional, karena manusia lah yang pantas mengemban amanah tersebut setelah langit, bumi dan gunung tidak mampu melakukannya. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam Q.S Al-Azhab: 72.

Dalam ayat di atas, penunjukan manusia sebagai khalifah pun sebenarnya mendapat penentangan dari malaikat, yang memprediksi bahwa manusia akan melakukan perusakan hingga pertumpahan darah satu sama lain. Dan benar saja hal itu terjadi. Dan Allah sendiri di dalam Al-Qur’an yang menyebutkan hal itu bahwa banyak manusia merusak bumi. Lalu mengapa Allah tetap menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi, kalau Allah sendiri menyebutkan bahwa banyak manusia yang merusak bumi, dan itu seolah membenarkan para malaikat? Allah sendiri menjawab keraguan para malaikat dengan mengatakan “Aku lebih mengetahui apa yang kamu tidak ketahui”.

Prof. Quraish Shihab memaknai perkataan Allah tersebut dengan mengatakan bahwa hal ini mengisyaratkan bahwa memang perusakan dan pertumpahan darah itu dapat  terjadi oleh manusia yang ditugaskan sebagai khalifah.  Namun menurutnya itu adalah dampak dari diberikannya manusia sebuah potensi, yang disebut sebagai inisiatif. Inisiatif itulah yang menghiasi diri manusia yang melahirkan rekayasa, kemajuan dan perubahan. Namun inisiatif yang dilakukan manusia ini memang dapat keliru sehingga menimbulkan dampak negatif. Tetapi manusia berinisiatif namun salah, masih lebih baik daripada mereka yang tidak berinisiatif sama sekali.

Baca juga:  Gus Sholah Kembali ke Pesantren

Penafsiran Prof. Quraish Shihab di atas seolah menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi besar bagi kemajuan, walaupun bisa saja melakukan kesalahan. Namun yang menjadi masalah adalah mereka yang merusak alam hanya untuk keuntungan pribadi. Bukan kemajuan dan kemaslahatan bersama. Dengan dalih kepentingan ekonomi, justru yang terjadi adalah perusakan alam. Hal ini jelas menurut penulis adalah penggunaan inisiatif yang salah, dan bukan seperti yang diinginkan Allah. Dan mungkin seperti kata Al-Thabari, bahwa mereka ini tidak pantas disebut sebagai khalifah sama sekali.

Oleh sebab itu, di dalam Al-Qur’an terdapat ayat lain yang menegaskan agar manusia menjaga alam dan menghindari segala bentuk perusakan. Seperti di dalam Q.S Al-A’raf: 56:

وَلَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَٰحِهَا وَٱدْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ ٱلْمُحْسِنِينَ

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.

Menteri LHK dalam tweet-nya juga sebenarnya menuliskan “Misalnya di Kalimantan dan Sumatera, banyak jalan yang terputus karena harus lewati hutan. Sementara ada 34 ribu desa dan hutan. Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi”.

Baca juga:  Al Makin dan “Research University”

Jika deforestasi yang dimaksudkan oleh menteri LHK adalah untuk kepentingan rakyat seperti yang dicontohkan dalam tweet-nya ini, maka sebenarnya ini selaras dengan ajaran Islam yang menjalankan fungsi manusia sebagai khalifah. Namun pada kenyataannya terdapat banyak pembangunan yang dampak kerusakan alamnya lebih besar dibanding manfaatnya untuk masyarakat. Jika pada akhirnya pembangunan dan deforestasi yang dilakukan lebih banyak membawa kerusakan, maka pemerintah dalam hal ini telah gagal menjalankan fungsi manusia sebagai khalifah.

Dengan demikian, semestinya manusia menghindarkan diri dari inisiatif-inisiatif yang memberikan dampak buruk bagi kemaslahatan, khususnya bagi Bumi atau Alam. Menghindarkan diri dari apa yang diprediksikan oleh malaikat. Dan memenuhi kewajiban dari Allah sebagai khalifah sesuai yang diperintahkan. Apalagi bagi mereka yang memiliki wewenang terhadap kemaslahatan manusia, seperti para pemimpin rakyat dan wakil rakyat di atas sana. Setiap kebijakan yang dilakukan semestinya dilakukan atas dasar kemaslahatan bersama, dan bukan hanya untuk keuntungan ekonomi yang sifatnya sementara.

Daftar Pustaka

Qomarullah, Muhammad “Lingkungan Dalam Kajian Al-Qur’an: Krisis Lingkungan Dan Penanggulangannya Perspektif Al-Qur’an”, dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an Hadis, Vol. 15, No. 1. 2014.

Shihab, M. Quraish Shihab. Khilafah: Peran Manusia di Bumi. Ciputat: Lentera Hati, 2020.

https://alif.id/read/ats/siti-nurbaya-bakar-dan-rusaknya-lingkungan-hidup-pemerintah-gagal-menjalankan-fungsi-manusia-sebagai-khalifah-b240800p/