Siyasah ala Nahdliyyah: Tiga Kaidah Ushul Fiqh yang Dipegang Warga NU dalam Berpolitik

Siyasah adalah istilah dalam bahasa Arab yang berkaitan dengan kegiatan politik ataupun otoritas politik. Menurut Abu Al-wafa Ibn ‘Aqli mendefinisikan bahwa siyasah adalah suatu kegiatan untuk mengatur masyarakat agar lebih dekat dengan kemaslahatan dan menjauhi kemadharatan.

Di Indonesia dalam rentetan sejarahnya bahwa Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam tradisional terbesar telah menyumbangkan peranannya dalam percaturan politik di tanah air. Dalam perpolitikannya, NU mempunyai pegangan atau pedoman pemikiran yang melandasinya. Dalam buku Ijtihad Politik Ulama karya Greg Fealy mengenai teori politik NU menyebutkan bahwa dasar ideologi NU adalah dari yurisprudensi (hukum) Islam yang berasal dari filsafat politik sunni pada abad pertengahan.

Teori politik Sunni ini yang diadopsi oleh NU tersebut berawal dari sejarah runtuhnya kekhalifahan Abbasiyyah dan berdirinya kekuasaan Bani Buwaihi yang beraliran Syiah, 60 tahun berikutnya diteruskan oleh Bani Saljuk dan selanjutnya bangsa Mongol melakukan penyerangan terhadap dunia Islam termasuk merebut kota Bagdad pada tahun 1258.

Dari rentetan peristiwa sejarah tersebut, para ulama ahli hukum mempunyai hanya dua pilihan, yang pertama apakah mereka akan tetap menegakkan kekuasaan mutlak yang dalam artian menentang tuntutan-tuntutan para panglima perang, atau yang kedua menyesuaikan diri dengan penguasa baru.

Dalam menjawab keadaan tersebut, para ulama ahli fiqih menggunakan pendekatan ushul fiqih yaitu dengan Dar al-mafasid muqaddam ala jalbi al-mashalih artinya menghindari bahaya diutamakan dari pada melaksanakan kebaikan. Pilihan pertama tadi beresiko akan timbulnya kekacauan yang bersifat horizontal dan vertikal baik antara masyarakat dengan penguasa yang baru atau masyarakat dengan masyarakat sendiri, hal ini akan mengancam kehidupan umat Islam. Oleh karena itu sebagian besar ulama ahli fiqh mengambil pilihan yang kedua yaitu memilih bekerja sama dengan penguasa baru dengan alasan bahwa yang paling utama adalah menyelamatkan Islam dan umat Islam.

Baca juga:  Corona dan Minuman Keras (Khamer): Apa Hubungannya?

Maka dalam dunia perpolitikan NU yang menganut politik Sunni dengan latar belakang sejarah di atas melahirkan tiga karakter yaitu luwes, bijaksana, dan moderat. Juga melahirkan sikap yang memilih damai, realitis dan akomodatif. Karakter-karakter tersebut tidak hanya terjadi di dunia politik melainkan juga diamalkan dalam kehidupan warga nahdliyyin sehari-hari atau setidaknya oleh santri Nahdlatul Ulama.

Kaidah Ushul Fiqh

Sebetulnya ada tiga kaidah ushul fiqh yang dipegang oleh warga nahdliyyin dalam dunia perpolitikan khususnya dalam meminimkan risiko: Pertama, dar al-mafasid muqaddam ala jalb al-mashalih, artinya menghindari bahaya diutamakan dari pada melaksanakan kebaikan. Kedua, bila dihadapkan oleh dua bahaya atau lebih maka pilihlah satu yang resikonya paling kecil (akhhaffud-dararain), ketiga, bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain atau memunculkan bahaya lain.

Tiga dasar ushul fiqh tersebut tidak hanya diaplikasikan di dunia politik praktis, tetapi juga di dalam politik kebangsaan atau bahkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Siyasah atau politik itu sebetulnya sifatnya luas, bahkan untuk memutuskan suatu permasalahan dalam urusan rumah tangga itu pun dengan siyasah, dilihat dulu mana yang paling banyak melahirkan madharat (bahaya) dan mana yang paling banyak melahirkan maslahat (kebaikan), atau jika kedua pilihan tersebut sama-sama melahirkan madharat pilih mana yang paling kecil madharat-nya, dan jangan sampai menghilangkan madharat tapi melahirkan madharat yang lain.

Baca juga:  Awas, Banyak yang Egois di Era New Normal!

Sebagai seorang santri yang merupakan penerus perjuangan para ulama, di masyarakat, kita dituntut untuk bisa memecahkan masalah dengan bijak, masalah yang terjadi di dalam masyarakat tersebut tidak hanya satu masalah tapi berbagai macam masalah baik yang terkait dengan masalah keagamaan, sosial-kemasyarakatan, ekonomi, dan lain-lain, nah untuk melahirkan keputusan yang bijak ketiga ushul fiqh tadi bisa diaplikasikan.

Santri juga adalah bagian dari masyarakat bahkan berbaur dan menyatu dengan masyarakat, oleh karena itu sebagai seorang santri nahdliyyin juga dituntut untuk bisa menyesuaikan diri dengan waktu dan peristiwa yang sedang terjadi (miindung ka waktu mibapa ka jaman). Sikap penyesuaian diri atau keluwesan ini adalah perwujudan dari penerapan kaidah ushul fiqh tadi.

Belajar dari Imam Syafi’i

Ada sebuah kisah yang sudah fenomenal di kalangan santri NU atau pada masyarakat nahdliyyin mengenai sikap keluwesan ini, yaitu kisah Imam Syafi’i dan Imam Hambali pada pengadilan mihnah di zaman khalifah Abbasiyyah Al-Ma’mun, pengadilan Al-Ma’mun ini diselenggarakan untuk mendoktrin ajaran Mu’tazilah yang dianutnya. Al-Ma’mun yang sebagai penguasa pada saat itu memberikan keputusan kepada pejabat dan ahli agama untuk mengakui bahwa Al-qur’an itu tidak kekal (hadits), dan ini adalah inti ajaran Mu’tazilah. Imam Syafi’i dan Imam Hambali tidak menyetujui padangan tersebut, oleh karena itu beliau berdua dibawa ke pengadilan.

Baca juga:  Menonton Rangkuman Novel Bumi Manusia

Ketika di pengadilan, Imam Hambali ditanya Al-qur’an hadits (tidak kekal) atau qodim (kekal), Imam Hambali dengan pendiriannya menjawab tegas bahwa Al-qur’an itu qodim (kekal), hal ini membuat Imam Hambali dipenjarakan. Sedangkan ketika Imam Syafi’i ditanya Al-qur’an hadist atau qodim, Imam Syafi’i menjawab dengan diplomatis, katanya: Al-qur’an, Taurat, Injil, Zabur dan Suhuf, yang lima ini (sambil berisyarat pada genggaman tangannya) adalah hadits. (Yang dimaksud Imam Syafi’i dan pada hakikat ucapannya adalah yang hadits bukan Al-qur’an, tetapi genggaman tangannya tersebut), dengan jawaban Imam Syafi’i tersebut membuatnya selamat dan tidak dipenjara, sehingga ilmu fiqihnya Imam Syafi’i menyebar ke seluruh pelosok dunia hingga sampai ke ufuk timur Nusantara.

Peristiwa tersebut adalah salah satu contoh sikap keluwesan dan kebijaksaan para ulama terdahulu dalam menghadapi masalah, keputusan yang diambil oleh Imam Syafi’i tadi adalah sesuai dengan apa yang dicontohkan dan yang dinasehatkan oleh Rasulullah saw mengenai imam sholat yang bijak, jika ada di antara jamaah sholat terdapat orang tua atau golongan yang lemah, tidak boleh membebani mereka dengan bacaan surat-surat yang panjang dan memakan waktu lama atau dengan jumlah rakaat yang banyak.

Maka seorang santri dalam meneruskan estapeta perjuangan KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, KH Idham Chalid, dan muasis-muasis Nahdlatul Ulama yang lain seyogianya memiliki karakter yang bijak dan luwes dalam memimpin atau mengayomi kehidupan di masyarakat agar tercipta kehidupan yang damai dan saling hormat-menghormati antar sesama. Wallahu a’lam.

https://alif.id/read/anj/siyasah-ala-nahdliyyah-tiga-kaidah-ushul-fiqh-yang-dipegang-warga-nu-dalam-berpolitik-b240520p/