Soekarno dan Problematika Kemunduran Umat Islam

Soekarno dikenal sebagai Bapak Proklamator Republik Indonesia dengan paham nasionalisme-nya. Namun, siapa sangka Soekarno juga pernah menyoroti dinamika perkembangan umat Islam di Hindia-Belanda pada tahun 1930–1940-an melalui majalah Pandji Islam. Dalam majalah tersebut, Soekarno menuangkan ide, saran dan kritiknya dalam rangka membangun paradigma umat Islam agar lebih baik lagi. Salah di antaranya ia menyinggung soal taqlid buta, sekat atau tabir, fiqih dan dinamika umat Islam Indonesia yang dihadapkan dengan Islam di berbagai negara.

Taqlid dan Matinya Api Islam

Ketika diasingkan di Endeh, Soekarno aktif berkabar melalui surat kepada A. Hassan, tokoh penggerak organisasi Persatuan Islam (Persis). Soekarno menyampaikan bahwa ia ingin membaca terjemahan hadits Bukhari-Muslim dan buku-buku keislaman karena di tempat pengasingannya terdapat seorang sayid yang hanya terpaku pada kitab fiqih belaka.

Soekarno menanggapi hal itu dengan mengistilahkan dengan “matinya api islam”, karena hanya kitab fiqih itulah yang dijadikan sebagai pedoman Islam yang mutlak, bukannya kalam Ilahi (al-Qur`an). Manusia yang seperti ini disebutnya layaknya bangkai karena manusia hanya bersandar pada undang-undang semata yang bersifat paten.

Kemudian problem umat Islam pada umumnya di Indonesia adalah taqlid. Taqlid menurut Soekarno sebagai sebab yang menjadikan kejeniusan terantai dan akal pikiran diterungku. Hal itu juga ditambahi anggapan bahwa mustahil ada mujtahid yang melebihi “imam yang empat” tersebut yang kemudian mengharuskan untuk men-taqlid kepada ulama-ulama, otoritas keagamaan atau imam yang empat tsb. Hal itu yang menjadikan umat Islam semakin “membangkai”.

Tabir sebagai Simbol Perbudakan

Baca juga:  Kuntowijoyo Memantik Geliat Politik Umat

Soekrano pernah meninggalkan rapat umum Muhammadiyah karena ada tabir antara laki-laki dan perempuan yang dianggapnya sebagai simbol dari perbudakan terhadap perempuan. Menurut Soekarno, Islam mengangkat derajat perempuan. Walaupun sebenarnya tujuan diadakannya sekat adalah untuk menjaga pandangan laki-laki terhadap perempuan dan juga dengan dalih memuliakan perempuan, akan tetapi pendapat tersebut dirasa ganjil bagi Soekarno.

Soekarno menganggap tabir adalah simbol dari perbudakan. Ia menganalogikannya dengan seorang yang mengurung seekor burung dalam sangkar emas, memberinya makan dan minum setiap hari, serta menempatkannya pada tempat yang indah. Maksudnya, apakah dengan cara-cara itu seseorang tersebut bisa dikatakan memuliakan burung. Tentunya tidak, karena justru malah menyiksa burung itu sendiri. Lantas itu pula jawaban atas pendapat tabir sebagai cara memuliakan perempuan. Ketidaksetujuannya terhadap tabir juga berdasarkan pada peristiwa ketika H. Agus Salim merobek-robek tabir di salah satu rapat umum.

Kemudian ia menjelaskan dengan analogi bahwa Tuhan melarang manusia untuk mencuri, tapi bukan berarti semua rumah ditutup rapat-rapat; Tuhan melarang manusia untuk berdusta, tapi bukan berarti mulut manusia harus dijahit; pun halnya masalah sekat. Menurutnya pandang-memandang memanglah dilarang apabila tidak perlu, tapi bukan berarti diperintahkan untuk bertabir.

Harusnya individulah yang menjaga hati dan matanya masing-masing. Sebagai alternatif dari peniadaan tabir, Soekarno menyarankan untuk menempatkan lelaki pada bagian depan dan perempuan pada bagian belakang sebagaimana dicontohkan nabi. “Saya anti pergaulan secara Barat,” tulisnya.

Rethinking of Islam

Soekarno juga menyoroti dinamika kaum muda Islam pada saat itu yang kurang mempunyai semangat Islam. Hal itu dikarenakan memang ada yang salah dalam mengartikan apa itu agama, sehingga perlulah diadakannya “rethinking of Islam.” Menurut Farid Wadjdi, agama Islam benar-benar akan berkembang jika memperhatikan tiga sendinya: kemerdekan ruh, kemerdekaan akal dan kemerdekaan pengetahuan. Sehingga dengan kemerdekaan ini kita bisa melakukan penyelidikan kembali terhadap ajaran agama yang sekiranya sudah tidak layak, dalam artian tidak kompatibel dengan laju perkembangan zaman.

Baca juga:  Sabilus Salikin (31): Zikir (1)

Soekarno juga menjelaskan beberapa negara yang melakukan pembaharuan-pembaharuan terhadap khazanah pemikiran agama. Seperti yang disebutkannya ada lima: Turki, Mesir, Palestina, Arab dan India. Negara-negara tersebut telah melakukan rethinking of Islam yang kemudian menjadikan perubahan tersendiri. Sebagaimana Turki yang memisahkan agama dari negara, kemudian menjadikan rakyatnya merdeka dalam melaksanakan agama. Karena bagi Turki, Islam akan terbelenggu apabila terikat oleh campur tangan pemerintahan yang menjadi halangan bagi kesuburan Islam di Turki.

Adapun Mesir berusaha mengawinkan dikotomi-dikotomi Timur dan Barat, kolot dan modern, sistim yang lama dengan teknik yang baru. Dan di Palestina dengan cara menyamai kemasyarakatan lawannya; di India dengan dua cara, yaitu mendamaikan antara agama dengan kemodernan dan membuktikan kebenaran Islam di hadapan kritinya dunia Nasrani; dan di Arab semula terkenal dengan gerakan wahabisme yang keras, perlahan luntur seiring disekolahkannya kaum muda negara Arab ke Barat, yang kemudian membuka pintu bagi tanah Arab untuk menerima kemodernan.

Islam Sontoloyo

Soekarno mengkritik mengenai fiqih yang menurutnya malah menjadikan manusia mengelabuhi Tuhan. Ia mencontohkan di salah satu kota kecil di tanah Priangan bahwa ada ‘bidadari-bidadari Islam’ untuk digunakan sebagai pelepas nafsu. Maksudnya dalam rangka melakukan kegiatan pelepasan nafsu tersebut melalui cara yang sesuai syari`at Islam, yakni dengan cara menikahkan dahulu.

Baca juga:  Inilah Kitab Ziarah Makam Para Nabi dan Wali Karya Syaikh Abdul Ghani An-Nabulusi

Selanjutnya setelah persetubuhan itu selesai, maka si laki-laki akan menjatuhkan talak tiga kepada si perempuan. Hal demikian itu memang benarlah halal, tapi halalnya “Islam Sontoloyo,” yang mana ingin mengakali hukum Tuhan. Sehingga dengan ini, fiqih hanya dijadikan sebagai penghalalan kepentingan nafsu. Soekarno menjelaskan apabila umat Islam hanya berpijak pada fiqih belaka, maka umat Islam layaknya bangkai. Tiada ruh, tiada api, karena umat Islam tenggelam pada kitab fiqihnya.

Soekarno berkata bahwa memang tiada masyarakat Islam yang berdiri tanpa hukum-hukum fiqih. Namun yang ia benci bukanlah fiqih, melainkan membenci orang yang terlalu mendasarkan diri pada fiqih belaka, kepada hukum-hukum syariat saja. Maka dari itu, alangkah baiknya apabila di samping mempelajari fiqih, juga mempelajari etika-etika Al Quran, meninjau sejarah yang telah lampau, menyelidiki naik turunnya masyarakat Islam.

Analisis Soekarno terhadap dinamika umat Islam pada zamannya, masih relevan dengan zaman sekarang. Soekarno menyuguhkan problematika-problematika kemunduran umat Islam dan jalan-jalan yang ditempuh untuk keluar dari problematika tsb. Kemudian kritikan tajam Soekarno mampu membuat kita tertampar dan juga menjadikannya sebagai refleksi untuk kehidupan ber-Islam yang lebih baik lagi.

Judul Buku: Islam Sontoloyo

Penulis: Ir. Soekarno

Penerbit: Sega Arsy Bandung [2017]

Tebal: 200 halaman

ISBN: 978-6028635-19-6

https://alif.id/read/msa/soekarno-dan-problematika-kemunduran-umat-islam-b245920p/