Ketika kita membeli sesuatu di warung kelontong, lalu diniatkan sebagai sedekah, ia akan bernilai ibadah. Ada nominal harga yang tertera, kemudian kita mengambil barang dan membayar sesuai dengan harga yang tercantum. Bagi si penjual juga akan bermakna sedekah jika diniatkan sebagai ibadah. Karena itu, mengambil keuntungan jangan melampaui batas, sebab ia akan dinilai sebagai harta riba (keuntungan yang berlebihan).
Seandainya kita memberi uang tambahan di luar harga resmi, seperti menyerahkan kembalian untuk donasi, sudah jelas itu bernilai sedekah. Apalagi memberi uang tips untuk pelayan di warung atau restoran, dan kita tahu seorang pelayan itu memiliki kelas yang rendah dalam kedudukan ekonomi, sudah tentu itu merupakan sedekah.
Sebaliknya, kita tahu bahwa mencuri atau memukul orang adalah perbuatan buruk, yang bertolak-belakang dengan perbuatan baik. Bahkan, ketika kita menolak berbuat buruk, ketika ada kesempatan melakukannya, itu pun bisa dinilai sebagai kebaikan. Walaupun tidak mewujud sebagai “perbuatan”, tetapi ada upaya mengendalikan diri untuk menolak keburukan agar tak sampai dilakukan, hal itu juga bisa dinilai sebagai ibadah.
Lalu, kalau begitu, tidur juga bisa dinilai ibadah? Iya, benar. Daripada Anda marah-marah gak karuan, atau menulis sana-sini untuk memprovokasi orang agar berbuat serba instan, lebih baik Anda tidur saja. Bahkan, akan dinilai sebagai perbuatan baik jika disertai doa dan mengingat Tuhan (zikir) sebelum tidur. Bukankah tidurnya orang-orang saleh (ashabul kahfi) selama ratusan tahun di dalam gua dinilai sebagai kebaikan, daripada ikut-ikutan bekerjasama dan “berjudi” dengan penguasa korup di jalan kezaliman?
Jadi, memang sifat baik dan buruk itu bertentangan. Tetapi dalam Islam, ketika Anda menolak keburukan (saat kesempatan itu ada) maka Anda akan mendapatkan pahala, dan keuntungannya bagi diri Anda sendiri. Namun sebaliknya, jikalau Anda menolak berbuat baik (saat kesempatan itu ada), maka Anda tidak mendapatkan dosa, tetapi Anda akan mengalami kerugian karena kesempatan berbuat baik itu tidak dilakukan seoptimal mungkin.
Kita bisa memahami ketika ada reward bagi orang yang menemukan barang berharga kemudian dikembalikan kepada sang pemiliknya. Jelas itu perbuatan mulia, karena jika dia mau, kesempatan untuk mencuri dan melarikan barang berharga itu sangat dimungkinkan. Kita tak usah cemburu dan irihati ketika orang itu tiba-tiba menjadi terkenal, diundang ke acara amal dan banyak orang kagum kepadanya. Lalu, dia masuk teve dan dielu-elukan. Ah, enggak apa-apa. Sah-sah saja.
Bagaimana dengan seorang suami yang bertanggungjawab, menafkahi keluarga, mengasuh anak, dan tidak melakukan tindak kekerasan? Hal itu tentu menjadi kewajibannya, dan itu adalah perbuatan baik dan bernilai ibadah. Selain itu, tentu ada standar dan ukuran kebaikan yang dilakukan suami kepada istrinya, atau keluarga istrinya. Juga ada standar dan ukuran keburukan yang mungkin dia lakukan, disengaja atau tak disengaja. Apakah dia sanggup menahan diri untuk menolak keburukan yang standarnya kebangetan atau keterlaluan, ataukah kesalahan yang dilakukannya itu cukup wajar dan bisa ditoleransi?
Melindungi keluarga dan menafkahinya seharusnya menjadi kewajiban suami. Sama halnya dengan kewajiban negara (aparat) kepada rakyat yang dilayani dan dipimpinnya. Memberi pengajaran dan melimpahi murid dengan ilmu pengetahuan, merupakan kewajiban bagi seorang guru. Tetapi berhati-hatilah, karena memberi ilmu kepada murid, tidak lebih mulia ketimbang seorang tukang yang dibayar setelah membetulkan pipa air, jika ia melakukannya dengan cermat, ikhlas dan penuh rasa tanggungjawab.
Jika Anda peka dan peduli, akan mudah bagi Anda memberikan kursi kepada ibu hamil dalam kendaraan umum, dan Anda akan menganggap bahwa itu adalah kewajiban dan tugas mulia. Tetapi, bagi orang yang tumpul daya nalar dan kepekaannya, barangkali tidak kepikiran menolong orang hamil untuk mempersilakannya duduk. Jikapun dia melihat ibu hamil, barangkali tidak terketuk hatinya untuk mengulurkan bantuan. Jadi, standar kepekaan untuk berbuat baik nampaknya berbeda-beda, dan Anda perlu mengasah, melatih dan membiasakannya (riyadlah).
Percayalah, memberi bantuan dan pertolongan pada orang lain itu merupakan “kenikmatan” tersendiri. Prioritaskan orang yang terdekat dengan Anda, keluarga, saudara kerabat, tetangga di sebelah kiri dan kanan. Sebab, bagaimanapun, memberi bantuan itu adalah manifestasi dari rasa syukur yang kenikmatannya akan ditambah dan ditambah terus oleh Yang Maha Kaya. Bukankah nikmat Tuhan itu soal “rasa” yang dapat dibuktikan dengan ketenangan dan ketentraman batin? Termasuk ketenangan dan kelapangan hati dalam berkarya dan menggoreskan pena?
Ketika orang-orang sekitar merasa kagum dan hormat kepada kita yang memberi tumpangan kepada seorang kakek atau nenek, hal itu lumrah sekaligus menjadi “syiar” yang memberikan reward tersendiri. Efek kebaikan itu akan menjadi teladan yang mengingatkan banyak orang, bahkan mengetuk hati mereka: kenapa aku tidak sanggup melakukan hal yang sama dengan dia? Apakah kekurangpekaan pada kebaikan itu yang membuat hatiku selalu gundah-gulana selama ini? Bukankah perbuatan baik itu tak ubahnya dengan menanam pohon yang akan terus berbuah lebat. Semakin banyak pohon yang ditanam semakin berlipat-lipat buah yang akan dihasilkannya?
Kalau kehidupan kita galau dan nelangsa melulu (tak terkecuali penulis dan intelektual), jangan-jangan kita kurang peka pada nilai-nilai kebaikan. Atau, jangan-jangan sedikit sekali kebaikan yang ditanam, atau jangan-jangan kita kurang ikhlas dalam menanam benih-benih pohon kebaikan itu? Lalu, kenapa karya-karya kita kurang mendapat sorotan dan apresiasi publik, dan orang-orang malas membacanya? Jawaban ini saya kembalikan pada diri Anda sendiri.
Kalaupun ada preman pemeras di sekitar rumah kita (walaupun tidak banyak), apa salahnya kita dekati dia. Sehingga, kita memperlakukannya bukan dalam kacamata “musuh”, tetapi sebagai individu-individu dari keturunan Bani Adam yang perlu kita rangkul dan kita hargai pendapatnya. Apa keinginannya? Ada keperluan apa? Ayo, kita ngopi bareng-bareng.
Kenapa Anda tak mau sabar dan menghargai proses? Jika Anda seorang muslim, bukankah orang bengis yang berencana membunuh Muhammad, justru dimakamkan di samping kuburan Muhammad, yakni Umar bin Khattab? Bukankah pahlawan kafir yang membantai orang-orang muslim di medan pertempuran, pada akhirnya ia wafat sebagai syahid dan pejuang muslim sejati, yakni Khalid bin Walid?
Percayalah pada nilai-nilai kebaikan, yang impact-nya kembali kepada diri kita sendiri. Kebaikan yang kita perbuat, dampaknya takkan nyasar kepada orang lain, mesti untuk diri kita sendiri. Bersabarlah untuk menanyakan kapan saatnya buah itu akan kita petik. Karena ruang dan waktu dalam hitungan manusia tentu berbeda dengan ukuran Tuhan. Tenang saja, pasti buah kebaikan itu akan diperoleh. Sedikitnya, Anda pasti merasa puas dan bahagia, sesudah mengirim buah-buahan kepada tetangga di sebelah rumah.
Dari perspektif lain, boleh jadi Anda akan viral dan dianggap “pahlawan” karena rajin memberikan bantuan kepada orang lain. Tapi, mungkin juga tidak. Karena mengirim bantuan dan menjadi viral itu hanyalah nasib satu orang dari sepersekian juta orang. Tetapi, siapa yang tahu kalau ternyata, Anda sendiri yang tergolong satu dari sepersekian juta itu?
Kita tak punya kewenangan mutlak untuk memasuki hak prerogatif Tuhan. Yang diperintahkan pada kita hanyalah berbuat baik, apapun bentuk kebaikan itu. Dan itu adalah perintah, yang boleh disikapi secara bebas dan demokratis. Silakan Anda memilih yang baik atau yang buruk. Silakan Anda berkarya (sastra) dan mengajak pembaca di jalan kebaikan atau keburukan. Meski pada akhirnya, saya merasa perlu untuk meminjam adagium dari novel Pikiran Orang Indonesia, serta menganjurkan Anda dan kita semua, agar menjatuhkan pilihan yang berdampak positif untuk masa depan kita semua.
Sebab bagaimanapun, kalau kita tidak memupuk keimanan yang teguh pada jalan itu, berarti kita sedang terjebak dalam “kebuntuan ideologis”, yang senantiasa mengejawantah dalam karya-karya kita, dan dampaknya akan kembali pada diri kita sendiri. (*)
https://alif.id/read/muhamad-pauji/solusi-atas-kebuntuan-ideologis-b242288p/